Pagi menjelang, jam dinding yang sejak subuh tadi selalu kupandangi agar menandakan di luar tak lagi gelap akhirnya telah menunjukkan pukul 5.30 WIT. Aku membangunkan Ibu Damaris dan Ibu Lin yang masih sibuk dengan mimpi panjangnya. Mereka adalah rekan guru yang mengajar di SMP Negeri Kaitaro. Pagi-pagi sekali kami mesti bergegas untuk berangkat ke Kampung Suga. Kampung yang katanya surga.
Setelah beberapa bulan di Kampung Sara bertugas sebagai guru, akhirnya aku bisa jalan-jalan ke kampung lain juga. Kami menyebutnya liburan, meski sebenarnya keberangkatan ke sana tak bisa dikatakan liburan karena tujuan utama kami adalah menjadi asisten perawat untuk membantu kegiatan puskesmas keliling dan pemberian imunisasi di kampung itu. Sambil menyelam minum air, istilahnya. Selain kekurangan tenaga pendidik, di sini pun kekurangan tenaga perawat. Maka tak salah jika kami para guru membantu tugas mereka. Mumpung ini hari libur sekolah.
Setelah di luar cukup terang, kami berjalan menuju Puskesmas yang letaknya di tengah kampung. Jaraknya dari tempat tinggal kami sekitar satu kilometer, menelusuri jalan di tengah hutan seperti biasanya.
“Ibu Guru, dingin sekali ehh,” keluhku.
“Iya, karena masih banyak kabut. Masih terlalu pagi untuk kita menelusuri hutan ini,” Ibu Lin menjelaskan.
“Ibu Uni pake jaket sa,” Ibu Damaris menyarankan sembari menyodorkn jaket miliknya.
Kabut menutup hutan masih tampak, udara tentu masih dingin. Namun semangat kami tak menyurutkan langkah menerobos hutan di pagi-pagi buta.
Sesampainya di kampung, kami segera menuju rumah Suster Ati. Wanita separuh baya itu sementara mempersiapkan beberapa kotak obat dan vaksin untuk balita-balita. Memasukkannya ke dalam kotak biru yang terlihat seperti tas. Tak lupa Suster Ati juga menyiapkan bungkusan makanan untuk dimakan saat di tengah perjalanan nanti menyisir laut yang katanya memakan waktu berjam-jam.
Pukul 08.00 WIT, Pak Mantri dan Ibu Distrik kaitaro bergegas menuju jeti. Kami mengikutinya dari belakang. Untuk perjalanan dinas seperti ini, biasanya mereka menggunakan speedboat milik puskesmas. Speedboat puskesmas juga digunakan saat-saat genting saja, misalnya ada pasien yang harus dilarikan ke rumah sakit di Kota. Sebab perjalanan melintasi lautan kaitaro hingga ke Kota Bintuni menggunakan speedboat itu bisa ditempuh hanya dengan waktu dua jam saja. Tidak mesti memakan waktu enam jam seperti jika menggunakan longboat kecil. Perbedannya kedua transportasi itu ialah di kecepatan mesin dan kapasitas solar yang diperlukan mesin.
”Bapa Mantri, dong sudah tidak bisa bawa speedboat ini. Air su surut, tara bisa didorong ke air lagi,” kata motoris cemas.
Rupanya terjadi miskomunikasi antara motoris dan kepala puskesmas sehingga subuh tadi speedboat tidak dikeluarkan dari penyimpanannya. Jika sudah pagi begini, air sudah surut. Akan sangat kesulitan mendorong Speedboat ke air karena bagian bawah speedboat akan tertanam di lumpur.
“Ya sudah kalau begitu, kitorang naik longboat kecil saja. Ibu Suster dan Ibu Guru ini tara papa toh?” Pak Mantri memberi solusi.
“Iya tara papa Pak, kami su terbiasa juga mo” Ibu damaris menyetujui.
***
Sungguh mempesona, laut tampak biru terbentang. Riaknya menari-nari indah. Langit pun tak mau kalah beradu keindahan dengan laut. Laut dan langit seolah bersekongkol membuatku berdecak kagum, sseolah membuatku berada di sebuah ruang semu berwarna biru merasakan bulatnya bumi, dan aku adalah titik kecil yang terdampar di bentangan biru itu.
Longboat itu hanya mampu ditumpangi 8 sampai 10 orang berbaris ke belakang. Panjangnya sekitar 5 meter sedangkan lebarnya tak cukup 1\satu meter. Di tengah laut yang entah kedalamannya berapa meter itu, aku tak pernah luput dari mengingat Tuhan. Bagaimana tidak, perahu kecil ini berada di atas lautan seluas itu, memberiku pelajaran bahwa betapa kecilnya manusia di hadapan Sang pencipta.
Setelah tiga jam di lautan, akhirnya longboat yang kami tumpangi memasuki muara Kampung Suga. Di sisi kanan kiri sepanjang jalan muara dari Kampung Sara, melewati Kampung Tugurama, hingga akhirnya memasuki muara Kampung Suga yang ku lihat hanyalah hutan bakau, indah sekali. Kampung-kampung ini merupakan bagian dari Distrik Kaitaro yang merupakan salah satu kecamatan dari Kabupaten Teluk Bituni, Papua Barat. Sebuah gugusan sabuk hijau yang melingkar di sepanjang pesisir Bintuni ini merupakan ciri khas tersendiri di banding kawasan lain di Papua. Wajar saja menjadi ciri khas, gugusan mangrove ini merupakan formasi terluas di Asia Tenggara serta terbesar kedua di dunia setelah Brazil.
***
Sesampainya di jeti Kampung Suga, kami masih harus berjalan beberapa kilometer lagi untuk bisa sampai di pemukiman warga. Sebab tempat tinggal mereka terletak di ketinggian hingga kami harus berjalan di jalan yang mendaki. Tentu saja aku berada pada barisan depan, sebab aku paling muda diantara mereka yang sesekali perlu beristirahat sebentar.
“Suster Ati, ini pasir, kah, atau sagu tertumpah?” tanyaku heran.
“Ibu Uni tes sudah ini asli pasir, warnanya memang putih begini seperti sagu,” Suster Ati mengambil segenggam pasir dan menyodorkannya padaku.
“Kenapa bisa eh?” tanyaku tak percaya.
Bagaimana tidak, kampung ini terletak di pegunungan bukan di pinggir pantai. Pasir putih di daerah pegunungan merupakan hal yang baru bagiku. Suster Ati menyarankan untukku bertanya kepada warga penghuni kampung tersebut. Sayang sekali, para warga tak ada yang bisa menjawab pertanyaanku. Meskipun demikian aku sungguh kagum dengan tawaran alam di kampung ini. Pemandangan pasir putih yang memenuhi jalan kampung sungguh memanjakkan mata.
Seorang anak berlari menghampiri kami terlihat dari kejauhan. Seolah tahu akan kedatangan kami hari ini. Namanya Ferat. Siswa kelas VIII SMP Kaitaro. Anak-anak memang sedang berlibur di kampung halaman masing-masing.
“Masih jauh, kah, Ferat?” tanyaku dengan napas yang kuatur sedemikian rupa sebab kelelahan.
“Sedikit lagi, Ibu Guru” jawabnya memberi harapan.
“Iyakah sedikit lagi? sejak tadi kamu bilang sudah dekat, sudah dekat tapi belum sampai-sampai ini” protes Ibu Lin pada Ferat.
“Tenang saja, Ibu Guru, sedikit lagi. Itu sana di depan.”
Percakapan seperti itu terus berulang hingga kami benar-benar sampai di tujuan. Aku tak mengeluh hanya bertanya saja dan ingin mendengar harapan-harapan yang dapat diberikan anak itu. Karena aku tahu bahwa mengeluh selama perjalanan itu takkan membuahkan hasil apa-apa. Bahkan hanya membuat langkah semakin berat. Maka kami beri harapan-harapan di setiap langkah selama perjalanan. Itu akan sangat membantu, sama halnya dengan kehidupan.
Sesampainya di pemukiman warga, aku dan rekan guru yang lain langsung ingin mengunjungi sungai. Maklum di kampung Sara tak ada sungai. Aku terpesona melihat air bersih yang melimpah. Kurentangkan tanganku sambil memejamkan mata. Terdengar aliran sungai memecah kesunyian, bau tanah basah, bisikan tetesan air yang jatuh dari dedaunan, pun hawa air yang dingin nan menyegarkan. Seseorang yang berasal dari tempat yang memiliki keterbasan air seperti kami pasti akan merasakan kebahagiaan yang tak terkira. Nikmat Tuhan mana lagi yang kamu dustakan? semua sentuhan alam itu menambah rasa syukurku telah dan bisa sampai ke sini. Mungkin keindahan pasir putih dan keberadaan sungai ini adalah alasan mengapa kampung ini dikatakan surga.
Warga kampung ini pastinya tidak pernah kesulitan air bersih karena keberadaan sungai tersebut. Sungguh sangat berbeda dengan kampung sara tempatku mengajar. Sumber air di sana hanyalah mengandalkan air hujan yang ditampung di bak penampungan, kami sebut profil tank. Hujan hanya datang sesekali. Setelah air penampungan benar-benar habis dan tak terisi air hujan lagi, kami hanya mengandalkan rawa-rawa di dekat sekolah untuk mencuci. Airnya berwarna cokelat, bahkan agak kehijau-hijauan jika airnya sudah terkuras. Sedangkan untuk keperluan minum dan memasak, kami perlu berjalan ke tengah hutan sekitar tiga puluh menit menuju sumber air di bawah pohon-pohon besar. Untuk mandi kami menggunakan air laut, lalu dibilas sedikit dengan air tawar.
***
Hari telah petang, bapa mantri dan suster ati telah menyelesaikan tugasnya di kampung itu. Mereka terlihat begitu lelah. Kelelahanku tak seberapa jika dibandingkan dengan mereka, sebab tugasku tadi hanya membungkus obat-obatan sesuai resep yang telah bapa mantri tuliskan dan memberikannya kepada pasien-pasien.
Di tengah jalan pulang, Feronika membawa dua buah karung sebagai oleh-oleh untuk kami. Feronika adalah salah satu siswa kami di sekolah, namun dia sedang pulang kampung karena libur sekolah. Kutengok isi karung tersebut, ada berbagai buah seperti langsat, rambutan dan durian di dalam.
Rupanya tak hanya keindahan hiasan pasir putih yang memanjakkan mata dan keberadaan air bersih yang melimpah, melainkan kampung ini pun kaya akan buah-buahan.
“Bu guru, …” Feronika seolah ingin menyampaikan sesuatu.
“Iya Nak, ada apa?” tanya Ibu Damaris penasaran.
“Sebenarnya sejak kemarin saya dan Dolpina berencana menemui Ibu Guru hari ini,” Feronika menggaruk-garuk kepalanya.
“Lantas Dolpina mana?” aku semakin bingung dibuatnya.
“Dia dibawa ke kota bu sama mamanya. Dolpina meminta saya untuk sampaikan ke Ibu Guru bahwa dia tidak bisa sekolah lagi,” jelasnya.
Aku terbelalak. Napas kutahan untuk segera mengeluarkan pertanyaan-pertanyaan yang ingin dimuntahkan dari kepalaku. Mengapa dia berkata seperti itu? mengapa mamanya membawanya ke kota? apa gerangan yang akan dilakukannya di sana? dia adalah anak yang memiliki semangat tinggi untuk tetap bersekolah, mengapa tiba-tiba mengundurkan diri seperti ini? semua pertanyaan itu berlomba untuk segera kulontarkan. Namun aku masih terbelalak tak percaya.
“Dia masih sangat ingin bersekolah Ibu guru. Tetapi mamanya tidak mengijinkannya ke sara lagi. Dia pu mama piara di sara baku marah sama dia pu mama kandung. Dolpina diusir dari rumahnya di sara. Tidak ada tempat tinggal lagi di sana untuk tetap melanjutkan sekolah,” Feronika menyambung penjelasannya.
“Dolpina bisa tinggal di barak distrik. Nanti Ibu Guru yang minta izin sama Ibu distrik. Atau Dolpina bisa tinggal di rumahnya Ibu Guru saja.” Aku menawarkan solusi dengan suara penuh harap.
Feronika meremas-remas jari-jarinya seolah tawaranku bukan solusi yang bisa saja menyelesaikan masalah Dolpina. Sepertinya ada masalah lain selain hal yang baru Feronika sampaikan.
“Sebenarnya begini bu guru,” Feronika melanjutkan penjelasannya dengan terbata-bata.
“Tak apa Feronika. Silahkan katakan pada Ibu,” bujukku padanya.
“Sebenarnya Dolpina pu mama paksa dia untuk menikah dengan saudagar kaya di kota. Makanya dia pu mama sengaja bikin masalah sama dia pu mama piara di sara supaya Dolpina diusir,” Feronika menahan tangis yang ingin keluar dari bola matanya.
Aku paham dengan perasaan Feronika saat ini. Feronika merasa sangat sedih atas keputusan sahabatnya itu. Sebab mereka telah lama berjuang bersama. Memberanikan diri jauh-jauh ke sara hanya untuk melanjutkan sekolah di SMP. Sebab semua teman-teman seumurannya di kampung ini bahkan telah menikah setelah mereka tamat SD. Dari semua anak seumuran mereka yang ada di kampung ini hanya mereka bertiga saja yang melanjutkan sekolah ke jenjang SMP. Feronika, Dolpina dan Ferat adalah sosok anak tangguh dan bertekad kuat. Mereka punya mimpi-mimpi besar, untuk itu mereka tidak ingin putus sekolah.
Malam telah larut, kami segera beranjak dari kampung itu. Suasana kampung terasa menjadi mencekam sejak kabar yang dibawa Feronika tadi. Di perjalanan pulang, udara begitu terasa menusuk hingga ke pori-pori. Jaket tebal yang menyelimuti tubuhku di atas logboat sama sekali tak mengurangi hawa dingin malam itu. Malam menjadi lebih pekat. Hanya cahaya bulan yang menerangi. Embusan angin berbisik di telingaku bersama ilusi suara Dolpina “Ibu Guru, aku ingin sekolah”.
Keindahan alam yang begitu mempesona dan bisikan anak-anak yang haus pendidikan. Apa Suga dapat dikatakan seperti Surga?
Nb: Kisah ini telah dimuat dalam buku Menganyam Asa Di Tapal Batas, karya PPG SM-3T UNM 2017