Setiap pagi di lingkungan sekolah, siswa berbondong-bondong datang dengan mengenakan seragam bersih, atribut lengkap, lingkungan sekolah asri, ruang kelas bersih, papan putih yang selalu mengkilap hanya selalu menjadi dambaan bagi seluruh warga sekolah. Namun tidak demikian dengan kondisi sekolah yang jauh terselubung dalam lebatnya rimba pedalaman Kalimantan.
Di tanah ini siswa datang satu demi satu dengan baju yang katanya putih, tapi mata lebih menerjemahkannya sebagai abu-abu. Keadaan itu bukan karena jenis kain dan warna yang memang tidak sesuai, melainkan karena jamur yang berkembang biak dengan penuh kemakmuran menjadikan kain yang dulunya putih bersih menjadi perkampungan jamur yang padat penduduk. Bukan hanya baju, celana yang mereka gunakan pun layaknya kain yang dipergunakan sehari-hari di rumah kita sebagai kain pel. Kaki kecil mereka pun yang lebih sering menapaki langkah demi langkah menuju sekolah hanya dengan kondisi telanjang tanpa alas, namun itu bukan karena mereka tidak memiliki sepatu sekolah, melainkan adanya alih fungsi dari yang seharusnya digunakan untuk bersekolah menjadi sepatu olah raga, bahkan digunakan untuk berladang, dan berburu.
Alangkah kagetnya ketika awal penugasanku di sekolah ini, aku dan rekan tugasku sama sekali tidak menjumpai kondisi kelas yang bersih dan papan putih yang mengkilap, melainkan kelas yang usang, bangku yang hampir dipenuhi oleh paku untuk menopangnya agar tetap dapat tegak berdiri, dan yang lebih mengagetkan lagi adalah papan yang digunakan untuk menulis adalah papan hitam yang dipenuhi oleh lukisan dari alam lain mungkin dilukis oleh ‘iblis’ atau yang sejenis dengan itu.
Kala aku duduk di bangku sekolah dasar yang sering kujumpai adalah gambar persawahan, jalan raya yang latarnya adalah pegunungan, dan matahari berada di tengah-tengah gunung tersebut serta gerombolan bangau yang terbang ke arah barat. Tak pernah terpikir olehku bahwa papan tulis yang akan kujumpai di tanah ini adalah papan tulis dengan gambar yang jauh berbeda dengan aliran seni lukis yang dijumpai masa kanak-kanakku. Landscape begitu mungkin caraku menyebutkan jenis lukisanku dulu, namun kini aku tidak mampu mendapatkan satu kata sederhana yang sopan untuk menggambarkan aliran seni yang kusaksikan dalam ruangan yang kumuh itu.
Jika saja adegan ketika maestro lukisan itu sedang mengayunkan kapur putihnya pada papan hitam disiarkan di layar kaca maka akan muncul tulisan “jangan tiru adegan ini”, suara senimannya akan disamarkan, wajah dan karya seninya pun akan diburamkan, dan jika ini adalah bagian dari film, maka ini khusus untuk konsumsi di atas 17 tahun. Betapa tidak, papan yang menjadi bidang gambar berukuran 220 cm X 110 cm tersebut terisi penuh dengan gambar-gambar dewasa versi anak-anak. Seluruh sisi hanya berisi gambar pria dan wanita dewasa tanpa busana dengan alat vital yang ukurannya hampir setengah bagian tubuh dari gambar bahkan tak jarang di antara gambar tersebut menunjukkan sepasang orang dewasa yang sedang melakukan adegan yang tidak selayaknya disaksikan apalagi didokumentasikan.
Waktu terus berganti anak-anak pun memasuki ruangan kelas dengan aku dan maha karya sang maestro yang tak diketahui identitasnya telah menunggu kedatangan mereka. Mereka duduk di bangku masing-masing dan bersiap memulai pelajaran dengan ritual keagamaan yang terbiasa mereka lakukan. Seorang anak kemudian maju ke depan untuk menghapus gambar dari alam lain itu selepas doa mereka usai. “berhenti! tidak usah dihapus!” tegurku dengan nada agak tinggi. Ini hal yang memprihatinkan bagiku, terlihat dari ekspresi raut wajah mereka seperti tidak pernah terjadi apa-apa.
Teguran dan motivasi sederhana mulai mengawali pagi yang cerah di pelosok nusantara dengan anak-anak pedalaman yang masih membutuhkan perhatian khusus, meskipun mereka sebenarnya bukan anak yang terlahir dengan kebutuhan khusus. Namun entah kedewasaan yang terlalu cepat merenggut masa kanak-kanak mereka atau orang dewasa di sekitar merekalah yang mencekoki otak polos mereka dengan sampah perusak moral.
Sekitar 15 menit telah berlalu, kalimat-kalimat pencerahan kepada mereka pun telah kusampaikan hingga akhirnya seisi kelas menjadi gaduh karena aksi saling melempar tuduhan di antara mereka, bahkan tuduhan itu pun melayang sampai kelas-kelas tetangganya, dan tak satu pun di antara mereka yang mengaku bertanggung jawab atas maha karya tersebut.
Sebuah pekerjaan rumah yang begitu berat bagi pemuda yang masih minim pengalaman tentang pendidikan karakter pada jenjang pendidikan dasar sepertiku, namun pekerjaan rumah itu ibaratkan salah satu puncak gunung impian yang harus kutaklukkan. Dengan demikian aku terus belajar bagaimana meniti tiap meter pendakianku dalam tantangan ini hingga dapat kutaklukkan mimpi itu.
Hari demi hari berlalu dengan kegiatan motivasi yang cenderung memakan seperempat waktu kegiatan inti pembelajaran dengan ceramah dan ceramah. Harapku kata-kata bijak itu dapat merasuk ke dalam hati mereka. Namun lain anak lain pula karakternya dan satu hal mutlak bahwa cara yang harus ditempuh untuk mengatasi masalahnya harus pula dengan cara yang sesuai dengan kepribadian mereka masing-masing. Mungkin sebagian dari mereka dapat menyimak motivasi tersebut, tapi sebagian lagi hanya membiarkannya berlalu begitu saja.
***
Di suatu sore yang begitu terik pada beberapa minggu berikutnya, aku serta kawanku Saddang Husain (Saddang) dan Adi Nugroho (Adi) merencanakan pembuatan fasilitas olahraga memanfaatkan halaman sekolah yang seadanya. Dua buah gawang sederhana yang terbuat dari balok kayu bekas, sisa pembangunan gedung kelas baru. Sesuai rencana, sore itu kami ditemani beberapa orang siswa yang juga menggilai olahraga yang baru mereka kenal membuat tiang gawang. Paku bekas, mistar, spidol, gergaji dan palu yang semuanya hasil meminjam, minta dan mengais-ngais dari sampah sisa pembangunan sekolah serta sebuah gambar sederhana telah tersedia dan siap untuk proses pembuatan.
Balok kayu diukur dengan mistar plastik kemudian ditandai dengan spidol untuk di potong. Singkat cerita peralatan untuk pembuatan tahap awal telah diterlantarkan dan material telah siap dengan ukuran yang sesuai. Perakitan kami mulai, satu demi satu bahan disambungkan sesuai gambar yang telah dirancang. Anak-anak begitu antusias membantu proses pembuatannya hingga hasil kerja sama kami selesai.
Suatu kebahagiaan bagi kami karena telah menyelesaikan sedikit penopang keceriaan anak-anak di kampung ini. Namun sebuah keterkejutan, karena sang pelukis yang telah lama tidak mempublikasikan hasil lukisannya kini kembali beraksi bersama kami. Dua buah tiang gawang telah selesai dan kami menyadari bahwa ternyata sang maestro ada bersama kami, melukis dalam diamnya dan melukiskan karyanya pada sebuah sepatu karet berwarna putih seputih kanvas lukis, namun kami tidak mengetahui siapa ia sebenarnya.
Piraun, seorang bocah kelas 4 yang menangis tersedu-sedu, ia adalah orang pertama yang menyaksikan karya abstrak dari maestro anonym itu, ia menangis bukan karena haru oleh efek dramatis yang ditampilkan sang pelukis, melainkan karena karya yang menjijikkan itu berada di seluruh sisi permukaan sepatu olahraga kesayangannya.
Sambil mengucurkan air mata, sang bocah mengeluarkan kata-kata sumpah serapah kepada sang maestro dengan bahasa daerah yang tak sepenuhnya kumengerti. Namun bukan hanya dia, tapi seluruh teman yang membujuk Piraun pun ikut menyumpahi, bahkan jika sang maestro itu ternyata adalah salah satu dari kami, maka dia termasuk orang yang menyumpahi dirinya sendiri.
Dengan kemampuan menggambar seadanya, aku berusaha menenangkan sang bocah sembari memodifikasi gambar di sepatunya, agar gambar amoral itu disamarkan, walhasil sepatu itu kini menjadi sepatu dengan motif terkeren di antara sepatu sekelasnya. Sebuah peristiwa kecil itu menjadi pameran lukisan terakhir bagi sang maestro. Mungkin setelah beberapa rangkaian kalimat tidak menyenangkan yang terucap sore itu menjadikan sang pelukis memutuskan untuk pensiun dari seni yang telah lama digelutinya.
Hingga akhir masa baktiku di pedalaman Kalimantan, lukisan semacam itu tidak lagi kujumpai. Namun tentang siapa dan kapan sang pelukis menciptakan karyanya masih menjadi misteri, bahkan hingga saat ini. Namun rasa syukur yang luar biasa, karena momen yang singkat itu memberi pengaruh yang besar terhadap kebiasaan aneh dari orang yang tak diketahui itu.
“Sometimes to make an important decision in your life, all it takes is one event, just one” begitulah kira-kira kata yang tepat untuk permasalahan lukisan amoral dari pelukis anonym, meskipun itu hanya sekadar kutipan dari sebuah film yang diadaptasi dari novel best seller, tapi itu cukup mewakili untuk menceritakan akhir kisah sang maestro.