Bengkulu adalah satu dari sekian tempat yang baru pertama kali saya kunjungi, setelah lulus kuliah Desember 2015 silam, saya memutuskan untuk meninggalkan Sulawesi, setelah beredar kabar bahwa tidak ada lagi penerimaan guru SM-3T angkatan VI. Semasa kuliah saya memang sudah bercita cita menjadi Guru SM-3T. Keinginan itu muncul akibat membaca deretan kisah-kisah inspiratif dari guru SM-3T, karena harapan itu telah sirna, saya pun mengambil inisiatif untuk mengunjungi Papua untuk pertama kalinya, tepatnya di kabupaten Biak Numfor. Di sana saya mengajar di SMPN 1 Biak Utara, setelah beberapa bulan di Papua, angin segar datang menghampiri, membawa kabar bahwa pendaftaran SM-3T sudah dibuka. Saya tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Saya kemudian mendaftar dan melengkapi seluruh persyaratan yang dibutuhkan. Saya pun dinyatakan lulus berkas dan harus mengikuti tes on line di Makassar. Saya kemudian pamit kepada kepala sekolah dan sepertinya dia berpihak kepada saya kala itu. Sedikit banyaknya beliau mengenal SM-3T karena sebelumnya ada guru SM-3T yang ditempatkan di sekolah tempat saya mengajar itu.
Sehari sebelum tes saya berangkat dari Papua menuju Makassar, setelah semua proses panjang dari seleksi saya lalui, saya kemudian dinyatakan akan ditempatkan di Kabupaten Mahakam Ulu, Kalimantan-Timur. Kemudian kami berangkat dari Makassar tepatnya 5 september 2016 menuju ke lokasi penempatan. Rute yang kami lalui adalah Makassar-Balikpapan-Melak-Tering-Ujoh Bilang, Menggunkan pesawat, mobil, dan speedboat secara bergantian. Kemudian tibalah kami di Ujoh Bilang. Oleh dinas pendidikan, saya mendapatkan tugas di SMP 4 Long Hubung. Ini adalah rumah baru saya yang ketiga setelah Makassar dan Papua. Di tempat ini saya menghabiskan dua belas purnama untuk memberikan apa yang saya miliki untuk pendidikan, sembari mengisi keseharian dengan banyak belajar tentang semangat juang mereka untuk hadir di ruang kelas setiap hari sekolah dan pada saat yang bersamaan mereka telah kehilangan kesempatan membantu orang tua berladang. Saya pun banyak belajar tentang keramahan Suku Dayak yang tidak diketahui banyak orang. Mereka sangat ramah terhadap para pendatang, hal unik yang mungkin tidak kita jumpai di tempat lain adalah kita akan diangkat menjadi bagian dari keluarga mereka yakni sebagai saudara dan anak angkat. Sebagai simbolnya adalah kita akan dipasangkan gelang pada pergelangan tangan.
“Kehidupan berpindah-pindah dari suatu tempat ke tempat lain, karena suatu kerinduan yakni pendidikan yang berkualitas yang sampai hari ini menjadi pertanyaan yang tak kunjung menuai jawaban tepat. Namun bukan berarti tidak akan pernah terjawab. Usaha-usaha hari ini kelak akan menemui jalan, (mungkin) bukan jalan pintas, namun yang pasti bahwa sekaligus bukanlah jalan buntu”.
Pendidikan setidak-tidaknya akan membuat orang yang tidak tahu menjadi tahu, meskipun yang dia tahu hanyalah ketidaktahuannya. Dan dari hal itu akan melahirkan suatu kesadaran baru untuk terus menjadi tahu. Pendidikan begitu kompleks mempengaruhi setiap sendi-sendi kehidupan, sehingga harus mendapat perhatian khusus dari semua elemen.
Belajar dari pengalaman menyambangi, berbaur, dan menghirup serta menikmati langsung kondisi pendidikan di daerah 3T. Sedikit banyaknya telah mengubah perspektif saya tentang Indonesia pada umumnya dan pendidikan pada khusunya, telah membangunkan kepekaan saya yang pernah tertidur bahwa mengenal indonesia tidak cukup dengan menonton tayangan televisi, saya telah menjumpainya dengan mengalaminya langsung
Semua elemen tadi harus membagi tugas secara adil, adil bukan berarti sama rata, tetapi proporsional. Sebagai seorang guru tidak boleh ala kadarnya, haruslah lahir dari dasar kesungguhan dan berada satu tangga di atas kemampuan. Siapa yang akan kita andalkan ketika kepada diri kita pun kita pun ragu? Sampai kapan kita mampu menutup mata dari pemandangan yang menggetarkan hati dalam perenungan itu? Sampai kapan kita menutup telinga dari jeritan dan teriakan akan kehausan ilmu itu? Ketika hanya mampu menyejukkan tenggorokan mereka, mereka akan lega, tetapi sesaat dan setelah itu kita pergi lalu dilupakan. Tetapi isilah kepalah mereka dengan ilmu pengetahuan dan motivasi, agar mereka tahu bagaimana membekali diri mereka untuk memanfaatkan peluang mereka.
Di atas kertas seharusnya Indonesia tidak kekurangan guru, karena begitu banyak alumni lahir dari lembaga pendidikan dan tenaga kependidikan setiap tahunnya. Yang terjadi adalah sentralisasi pendidikan, pembangunan pendidikan hanya berpusat di daerah perkotaan. Di sana kita akan menjumpai banyak sarjana pendidikan yang bekerja bukan sebagai guru, karena sekolah kelebihan guru. Namun pada waktu yang bersamaan kita akan menjumpai situasi yang kontradiktif dengan itu di daerah 3T. Mereka begitu merindukan sosok seorang guru yang akan menjumpai mereka di ruang kelasnya setiap hari sekolah dengan semangat yang berakar pada jiwa penuh pengabdian. Lalu apa yang salah? Banyak sarjana pendidikan belum terpanggil untuk mendidik di daerah 3T, mungkin karena persoalan kesejahterahan dan sebangsanya, tetapi izinkanlah saya menyampaikan bahwa mari kita kesampingkan dahulu, memang betul kita akan kehilangan berbagai situasi instan dan tak terbatasi itu. Namun kita akan mendapatkan imbalan yang tidak pernah kita pikirkan sebelumnya, bukan uang tetapi hal-hal baru yang tidak akan pernah kita inginkan ditukar dengan uang. Kita akan mendapatkan iklim yang memberi kepuasan tak terhingga pada tempat dalam ruang jiwa.
Permasalahan lain yang saya jumpai di daerah 3T adalah mereka bukan hanya tertinggal dari kualitas pendidikan, tetapi ketika anak-anakku itu kutanyai apa cita-cita kalian? Tidak ada yang menjawabku ingin jadi Pilot, Dokter, Menteri atau Ilmuwan misalnya atau mungkin Presiden. Artinya apa? Mereka pun takut bercita-cita tinggi. Ini harus diluruskan bahwa sebagai perserta didik yang berada di daerah 3T harus berani bermimpi dan bercita cita tinggi. Tidak menjalani hari-hari sekolah hanya sekadar untuk mampu membaca dan berhitung.
Dari pengalaman-pengalaman itu saya mendapatkan pelajaran baru bahwa di balik paras cantik kota Jakarta dan kota metropolitan lainnya yang selama ini menjadi refresentasi Indonesia tersembunyi suatu kondisi yang tak serupa. Di balik tawa prestasi-prestasi gemilang yang diraih perwakilan-perwakilan Indonesia dalam event olimpiade sampai tingkat Internasional tersimpan perih yang sekadar luka untuk anak Indonesia lainnya di daerah 3T. Pemerintah telah menempuh langkah-langkah strategis untuk permasalahan seperti di atas. Namun ujung tombak dari semua itu adalah Guru. Untuk dapat hadir secara langsung menginspirasi anak anak negeri, terus menjadi cahaya, cahaya yang tak segera akan redup terhirup angin pemasalahan.
Masih dengan kerinduan yang sama, kini saya berada di rumah baru yang kesekian kalinya yaitu Universitas Bengkulu, dan ribuan sahabat SM-3T lainnya yang tersebar di berbagai LPTK sedang berproses membekali diri dalam bingkai PPG SM-3T. Dengan harapan yang penuh kesungguhan, kelak akan mampu menjadi pelita untuk memberi secercah cahaya menerangi setiap mimpi anak-anak 3T. Walau dalam perjalanannya, saya masih sangat sering merindukan saat-saat yang melahirkan suasana keakraban dan kekeluargaan yang terjalin sangat erat di daerah 3T. Saya tahu untuk berjumpa tidak mungkin sekarang. Saya harus mampu menanggapinya dari sudut yang berbeda sehingga energi itu saya ubah menjadi semangat yang baru. Saya sedang mengumpulkan sejuta warna di Bengkulu yang akan kuberikan sebagai hadiah kepada anak-anak 3T ketika kami berjumpa nanti, yang akan mereka gunakan untuk melukis masa depannya. Saya selalu percaya bahwa Tuhan akan selalu memberikan cerita yang tidak biasa untuk setiap usaha yang lahir dari kesungguhan. “Tahu sesuatu akan banyak hal dan tahu banyak akan suatu hal.” Selamat ber-PPG