Cahaya temaram dari pelita perlahan mulai meredup terganti cahaya mentari yang mulai percaya diri menampilkan wajahnya di pagi hari di Kampung Muara Lesan, Kecamatan Kelay Kabupaten Berau. Seperti biasanya pada hari ahad, suasana kampung cukup sejuk menyapa kami para penghuninya. Suara kokok ayam, kicau burung dan suara aliran air dari sungai Kelay yang tepat berada di belakang rumah kami seakan tak pernah lelah menyambut kami di pagi hari, sang tupai yang sesibuk hari biasanya pun tak luput memamerkan kesibukannya mondar mandir dari dahan satu ke dahan yang lain sambil beberapa kali mampir di jendela rumah kami.
Aktivitas rutin yang telah saya jalani selama kurang lebih dua pekan di tempat baru ini masih berjalan dengan gontai dan penuh keseruan. Suasana interaksi di lingkungan sekolah tempat kami bertugas melayani dan membimbing putra-putri penerus bangsa menjadi misi utama yang kami emban yang tak akan kami sia-siakan selama setahun masa pengabdian ke depan. Banyak hal baru yang ditemui yang selalu membuat saya dan ketiga rekan saya merasa takjub tiada hentinya. Di lain sisi masa perkenalan dan adaptasi dengan suasana kehidupan di kampung beserta orang orangnya yang ramah pun berjalan penuh hikmat seolah dekapan hangat yang mengisyaratkan bahwa kami diterima dengan baik. Perlahan tapi pasti rasa rindu dengan kehidupan saya sebelumnya tentang keluarga, rekan-rekan dan beberapa orang spesial pun mulai terobati.
Pagi ini terdengar suara langkah kaki yang cukup jelas dari arah halaman rumah yang kami tinggali yang kemudian berhenti tepat di depan pintu rumah kami. Seseorang mengetuk pintu dan dengan cekatan Pardin yang memang dari tadi telah siap di balik pintu membuka dan menyapa tamu tersebut, terdengar pembicaraan hangat sembari diselingi canda tawa diantara mereka. Ternyata beliau adalah Pak Solehan atau kami mulai sapa dengan panggilan Pakde, sosok pria setengah baya yang uniknya ternyata berasal dari Jawa setelah bertahun-tahun lalu berkelana kebanyak daerah dan akhirnya berlabuh dan menetap di kampung ini. Kedatangannya sepagi ini ternyata untuk memperjelas informasinya semalam tentang agenda dari salah satu tokoh masyarakat yang akan mengadakan sebuah hajatan yang disebut ‘Nugal’.
Tak lama setelah Pakde Solehan pamit dan perlahan menghilang di balik langkah cepatnya, saya, Pardin, Nirwan dan Ahmad sontak mulai bergegas mempersiapkan diri untuk ikut bergabung daam hajatan ini, meski baru pertama kali akan ikut namun kami sudah sangat siap setelah sebelumnya kami telah mengumpulkan berbagai informasi tata cara dalam kegiatan Nugal ini. Semangat antusias kami tunjukkan sebagai balasan atas penghargaan dari masyarakat Muara Lesan yang turut mengundang kami secara khusus sebagai adaptasi kami berbaur dalam proses kehidupan bermasyarakat. Berbekal pakaian olahraga disertai topi identitas SM-3T kami serasa sangat siap berjalan beriringan dengan beberapa warga yang juga akan ikut menugal di ladang yang sama.
Jalanan yang kami susuri adalah jalanan setapak yang berlawanan arah dengan wilayah kampung hulu yang kami tinggali. Perlahan kami memasuki wilayah hutan yang masih rindang dan dipenuhi dengan pemandangan jejeran pohon-pohon yang seolah menyapa kami dengan lembut. Suasana riuh sesekali terdengar dari rombongan warga yang saling bercanda membuat perjalanan kami yang cukup jauh mulai tak terasa hingga di sebuah penghujung jalan deretan pohon-pohon mulai menghilang dari pandangan mata yang selanjutnya membawa kami ke sebuah tepi tebing yang dipisahkan oleh alur aliran sungai kecil di bawahnya. Hamparan pemandangan kontras sangat jelas tepat di hadapan kami, di sepanjang jalan yang kami lalui tadi kami dimanjakan oleh formasi pohon-pohon serta tumbuhan yang tumbuh bebas namun kini yang kami temui adalah hal kebalikannya yakni sebuah tanah lapang dengan pohon-pohon mati akibat ganasnya api yang tentu dengan sengaja disulut oleh pemilik ladang demi terbukanya ladang baru yang akan kami tanami benih, dari sini prosesi Nugal dimulai.
Nugal adalah salah aktivitas khas dari daerah Berau khususnya wilayah Kecamatan Kelay yang secara geografis adalah wilayah hutan tropis. Nugal adalah bentuk kearifan lokal dari proses dasar manusia secara umum untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Jika hampir di sebagian besar wilayah indonesia yang dikenal sebagai negara agraria memperoleh bahan makanan pokok yakni beras melalui proses konservatif dengan menanam benih padi di sawah, maka untuk wilayah wilayah seperti di Kecamatan Kelay ini, karena tidak tersedianya lahan sawah maka cara yang ditempuh adalah menanam padi di lahan kering setelah sebelumnya membabat habis dan membakar pohon-pohon di area yang akan dijadikan ladang. Meski ironis namun inilah fakta yang terkuak dari wilayah yang dikenal sebagai paru-paru dunia ini. Benih padi yang nantinya akan tumbuh menjadi beras pun adalah benih padi khusus yang memang bisa hidup di daerah kering dan tanpa perawatan, walau proses tumbuhnya sehingga bisa dipanen memerlukan waktu yang lebih lama.
Pelaksanaan hajatan Nugal sejatinya adalah proses manusia dalam memanfaatkan kemampuan dasarnya untuk bertahan hidup sembari tetap menunjukkan sisi kemanusiaannya dalam aspek sosial yakni bergotong-royong. Bekerja bahu-membahu antar anggota masyarakat yang secara bergiliran melaksanakan Nugal menjadi sesuatu sangat indah bila dibandingkan dengan fenomena kehidupan modern di perkotaan yang condong lebih individualisme. Kehidupan bermasyarakat yang salah satunya ditunjukkan dalam hajatan ini cukup memberi arti mendalam bagi saya dan ketiga rekan saya yang bertugas sebagai guru SM-3T di daerah ini. Kami bagaikan menemukan harta karun berbentuk sistem nilai kemanusiaan yang seolah mengisi ruang pemikiran kami yang masih kosong
Langkah demi langkah saya jalani untuk menabur benih padi di lubang yang lebih dulu dibuat oleh barisan para pria bersenjata tombak ini seolah menjadi candu yang membuat saya mengabaikan terik dan hembusan udara gersang di tanah lapang yang sebelumnya adalah rerimbunan pohon yang telah habis terbakar. Di setiap benih yang saya jatuhkan ke dalam lubang berisi harapan untuk terus tumbuh meski dalam keadaan sulit sekalipun. Sama halnya dengan misi pendidikan yang kami emban sejak memilih jalan menjadi pendidik didaerah 3T ini, meski tak mudah namun niat tulus pengabdian untuk menjadi pelita penerang bagi para tunas bangsa yang seolah berada pada sisi gelap dunia pendidikan ini menjadi pilar harapan untuk masa depan mereka yang lebih cerah. Saya dan ketiga rekan saya selalu percaya benih-benih ilmu yang kami tanam dalam pikiran peserta didik yang kami ajar tak akan pernah mati dan berhenti untuk tumbuh yang kelak akan membawa mereka bergerak menapaki dunia yang lebih baik. Proses kehidupan yang kami dan mereka jalani mungkin berbeda secara latar belakang, namun kami disatukan oleh mahakarya Tuhan yang disebut pendidikan. Karena pendidikan, kami menemukan dan memilih jalan ini dan karena pendidikan mereka para peserta didik akan menjadi manusia-manusia terbaik bagi negeri ini….
Salam cinta dan rindu dari kami Guru SM-3T Angkatan 4