Di tengah terik siang itu ‘oto’ yang kutumpangi melaju dengan kecepatan sedang. Sesekali sopir menghentikan ‘oto’ untuk singgah mengambil barang di kios besar. Kulihat di bangku belakang mulai kosong, hanya tersisa lima orang penumpang. Bukan tidak banyak penumpang hari ini, tapi ‘oto’ itu hampir sampai di tujuan akhir di Kampung Sirimese. Bak belakang ‘oto’ ini sudah cukup memuat barang kios titipan pedagang di kampung.
Naik ‘oto’ adalah pengalaman baru yang kuperoleh ketika menjadi guru SM-3T yang ditempatkan di Kampung terpencil di Pulau Flores, Kabupaten Manggarai Barat, NTT. ‘Oto’ adalah moda transportasi yang paling cocok digunakan di daerah perbukitan yang penuh kelok dan jalan berbatu. Suatu kenikmatan tersendiri ketika menikmati pemandangan di sepanjang jalan perbukitan menuju kampung tempat bertugas. Hamparan pepohonan hijau nan menyejukkan mata, sawah yang menguning, dan aliran sungai yang tenang. Sesekali kulihat geliat penduduk yang bekerja di sawah, ada pula yang berjalan sambil membawa kayu api.
Iringan lagu Manggarai yang diputar keras-keras menambah khas suasana perjalanan dengan ‘oto’ . Sambil menikmati suasana alam, aku biasa merenung sendiri. Aku tak henti bersyukur atas semua nikmat yang telah diberikan kepadaku. Sebuah nikmat kesempatan untuk bisa merasakan kehidupan di luar kenyamanan dan kemudahan kota. Semakin kagum dengan lukisan alam yang membuat mulut tak bisa berkata-kata. Sampai saat ini aku masih merasa tidak percaya dengan apa yang telah kulewati dan sedang kujalani. Aku disini, menjejakkan kaki di tanah Flores, menghirup aroma udara khas Flobamora, menikmati keindahan alam yang luar biasa dan berbagi cerita sambil meneguk secangkir kopi Manggarai. Sunguh bagian paling berkesan dalam hidupku.
“Ibu mengajar di Kakor kah?”, suara lelaki di belakangku tiba-tiba memecah lamunanku.
“Iya, benar Pak. Ada apa?”, tanyaku sambil menoleh ke arahnya.
“Itu kah, Ibu. Ada anak SMP yang datang ke kebun kami di Kampung War. Dua anak dari Kakor, ada juga anak Raca yang datang. Mereka curi timun kami di kebun.”
“Curi timun?”, tanyaku memperjelas. Sebenarnya cerita pergi ke kebun orang War sudah beberapa hari ini kudengar dari siswa SMP di sekolah. Aku mencurigai gerak-gerik beberapa anak yang akhir-akhir ini tidak hadir belajar sore.
“Kalau mengambil timun saja tidak apa-apa, tapi mereka juga merusak kebun kami”, sambung Bapak paruh baya itu dengan nada agak tinggi.
“Masih baik orang-orang tidak melempari mereka dengan batu”, tukasnya kepadaku dengan alis hampir berdempet.
“Itu ada anak Step, anak de Nober yang datang ke kebun. Tolong beritahu mereka Ibu, Ibu kan guru mereka”, tambahnya membungkam mulutku yang sempat akan berkata.
“Iya Pak nanti saya sampaikan kepada mereka.”
“Itu benar, Ibu. Tidak perlu ragu-ragu menegur mereka. Beri memang hukuman yang berat. Anak di sini jangan dikasih lembut, harus keras biar mereka kapok”, bela Bapak itu sembari berargumen sendiri.
“Biar nanti saya bicara dengan anak-anak yang Pak maksud. Memang saatnya anak-anak itu dipanggil karena ketidakhadiran mereka study sore di sekolah”, jelasku padanya. Pria itu mengangguk tanda setuju, tak lama ia berpamitan padaku untuk turun terlebiih dulu di kampung Lareng untuk selanjutnya menuju kampung War.
Mendengar aduan itu rasa sedih tiba-tiba menggelayuti hatiku. Sedih melihat kelakuan anak-anak itu. Mereka anak kelas IX dan sebentar lagi ujian. Namun nampaknya mereka tidak risau jika mereka tidak lulus. Di pikiran mereka, sekolah tidak mungkin tidak meluluskan semua siswanya. Kecuali jika sekolah ingin menanggung malu dan mendapat protes dari orangtua siswa yang seringnya mencampuri urusan sekolah terlalu jauh. Dan inilah dilema yang dihadapi sekolah di kampung.
Banyak tantangan yang dihadapi guru di daerah seperti aku dan beberapa teman guru lain. Tanggung jawab kami tak hanya terhadap anak didik, masyarakat juga menjadi bagian yang diprioritaskan. Pesan yang kuperoleh di atas ‘oto’ membuatku kembali tersadar bahwa tugas guru untuk mendidik siswa berperilaku terpuji tak boleh terlewatkan. Ketegasan dan teladan yang baik adalah modal untuk mengajarkan mereka pendidikan karakter dan moral. Pesan di atas ‘oto’ menyadarkanku bahwa guru di daerah tak hanya berperan sebagai pentransfer ilmu pengetahuan saja, tapi mengantarkan anak didik meraih kesuksesan menjadi orang yang berkarakter dan berperilaku terpuji.