Tiada terasa telah berlalu 12 purnama sejak pakta integritas kuikrarkan untuk turut memberi andil dalam sinergi dedikasi alumni menikmati gelisah pada nasib pendidikan mereka di pelosok negeri. Ketika itu merupakan awal mula keakraban dengan tokoh-tokoh yang sedari dulu menghabiskan masa mudanya untuk saudara tak sedarah yang tergolong fakir dalam hal pendidikan, terutama sosok yang membimbing selama lebih kurang setahun dalam mengabarkan serangkaian ikhtiar baik yang dilakukan oleh alumni dalam memberantas kesenjangan pendidikan yang terjadi di tubuh nusantara.
Sabang sampai Merauke, Miangas sampai Rote adalah hamparan bumi pertiwi tempat ribuan semangat MBMI (Maju Bersama Mencerdaskan Indonesia) berkobar menyalakan api dedikasi membakar semangat anak bangsa di pelosok untuk berprestasi hingga tak lagi dipandang sebelah mata. “Sarana dan prasarana boleh terbatas tapi harapan untuk menjadi lebih baik setiap harinya bukanlah sebuah nilai yang dapat ditawar, melainkan untuk disebarluaskan hingga menjangkiti seluruh kalangan yang berada di sekitar kita” kurang lebih demikian prinsip yang para alumni tumbuh suburkan dalam nurani kemanusiaannya, dan bagiku itu merupakan hal yang sangat pantas beroleh apresiasi dari kita semua.
“Hey anak, coba kobantu saya duluka!” ucap Rahman dengan nada serupa cara bertutur orang Papua
“Kenapa bosku” jawabku santai
“Bagaimana menurutmu dengan desain ini?” ucapnya sembari menunjukkan desain untuk publikasi maslahat alumni PPG SM-3T
Aku yang juga merupakan penikmat sekaligus pelaku desain grafis memberi tanggapan sesuai dengan kemampuanku. Terkadang aku menyatakan kekagumanku dan terkadang memberi masukan yang membangun.
“ini sudah beberapa yang saya selesaikan sisanya coba ko lanjutkan, sa mau keluar dulu sebentar, ingat harus itu segera di Publish, jadi usahakanki maksimal” ucapnya dengan dialek sehari-hari muda mudi di Makassar.
“Siap bosku” jawabku
Kurang lebih demikian dialog yang terjadi selama kebersamaanku dengannya di hadapan komputer. Dan dialog yang serupa terus terjadi berulang-ulang. Namun kusadari itu adalah cara yang ia tempuh untuk semakin mengakrabkanku dengan tanggung jawab sebagai anggota tim publikasi, serta syukurku atas segala proses yang telah terlalui bersamanya meski kini kebersamaan itu hanya kisah dalam bingkai kenangan.
Penghujung tahun adalah momentum yang umumnya orang-orang gunakan untuk mengintrospeksi diri dengan harapan tahun berikutnya dapat menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Begitu pula dengan kami, para alumni yang terhimpun dalam Masyarakat SM-3T Institute melakukan kegiatan refleksi dan proyeksi tahunan kala itu di Tanjung Pallette Kabupaten Bone. Pada agenda tersebut kami melaporkan segala program yang diproyeksikan tahun sebelumnya, mengoreksi, hingga merumuskan kembali proyeksi kerja maslahat yang akan di amini bersama sebagai target capaian di tahun berikutnya. Dalam pelaksanaannya, kegiatan tersebut tidak dapat dihadiri oleh seluruh anggota dikarenakan berbagai sebab yang tidak memungkinkan untuk turut hadir. Sebagian besar tidak dapat hadir karena kesibukan mendidik di daerah tertinggal, dan sebagian lagi terkendala sehat yang tidak membersamai.
Perkara rencana Tuhan memang tiada yang bisa menebak, kita hanya mampu mengusahakan, namun keputusan tetap ada pada kehendak-Nya. Perkara saudara-saudara yang menjalankan tugas pengabdian mendidik di daerah, kami hanya menghaturkan doa semoga sehat senantiasa Tuhan curahkan bagi mereka, bagi yang tidak dalam keadaan sehat kami senantiasa mendoakan semoga sehat Tuhan segerakan baginya, terkhusus bagi sahabat, saudara dan pembimbing selama setahun terakhir yang kala itu terbaring tak sadarkan diri di ruang isolasi Rumah Sakit Bhayangkara Makassar, tak luput dalam doa kami yang kala itu berkegiatan ditanah kelahirannya.
Singkat cerita kegiatan dimaksud berjalan sebagaimana mestinya hingga malam kedua, datang kabar dari saudara yang sementara menjenguk kak Ammang (sapaan akrabku pada pria bernama lengkap Surahman Rasyid) bahwa ketika itu kondisinya semakin kritis. Sontak diskusi berubah hening hingga kami secara bersama menundukkan kepala memohonkan agar saudara kami itu segera di angkat penyakitnya, serta dapat kembali bersua dalam semangat dan keceriaan yang sama saat sebelum meningitis (istilah medis untuk penyakit radang selaput otak) menimpanya.
Kegiatan kembali dilanjutkan dengan pembahasan proyeksi kegiatan oleh deputi kedua. Namun ditengah pembahasan, layar telepon seluler Bang Haru (Direktur msi) tampak panggilan dari saudara yang sebelumnya mengabarkan kondisi terakhir kak Ammang.
“Halo, waalaikumussalam” jawab Bang Haru, tidak lama berselang kemudian ia menatap pada kami
“Rahman” ucapnya singkat dengan pandangan mata yang mulai berkaca-kaca.
Sontak tangis pecah di aula yang cukup luas itu, satu kata yang keluar dari bibir bang Haru dengan raut wajah yang diselubungi kesedihan telah memberikan gambaran yang jelas pada kami bahwa hal yang sama-sama tidak kami ingini telah terjadi. Surahman Rasyid, pria kelahiran Bone 27 tahun silam telah tutup usia malam itu (21 Desember 2018). Tak ada lagi pembahasan tentang program, semua hanya bersisa isak dan tangis kesedihan yang menyelimuti forum diskusi.
Tangis mulai mereda dan Bang Aprisal mulai memimpin kami untuk mendoakan almarhum agar mendapatkan ampunan Tuhan dan kelapangan alam kubur baginya, serta memberi nasihat kepada kami untuk mengikhlaskan kepergiannya serta senantiasa mengirimkan doa terbaik teruntuk almarhum Surahman. “kegiatan ini kita tunda dulu, setelah ini silakan berkemas kemudian kita berangkat” tutur bang Haru setelah doa bersama usai, kemudian meninggalkan ruangan sambil menyalami kami satu persatu.
***
“Bismillah pemprov bosku” ucap Surahman dengan senyum yang merekah sejak bergulirnya penerimaan SCNS 2018. Aku yang mendengar kalimat itu hanya menjawab dengan kalimat yang sama. Kalimat itu menjadi kalimat penyemangat yang populer dalam komunitas kami setidaknya selama beberapa bulan hingga penghujung 2018.
Semangat dan kesungguhan kami semua dalam mengupayakan memenuhi sayembara cinta pertiwi begitu besar, bergerilya mencari informasi mengenai segala syarat dalam memenuhi tuntutan tersebut, bahkan merelakan diri bertebaran di berbagai daerah di tanah air mengikuti daerah yang akan menerima formasi sesuai spesifikasi kami.
Masih dalam ikhtiar beroleh cinta aku menetapkan Kalimantan Tengah sebagai tujuan lamaran kulayangkan, kak Ammang memantapkan hati kembali ke tanah kelahirannya (Kabupaten Bone). Singkat cerita tahap demi tahap seleksi tela kami lalui namun sesalku karena kepantasan tidak menyertaiku. Namun disisi lain saya sangat bersyukur karena banyak dari kami yang berhasil menggugah Tuhan merestui untuk lanjut pada tahapan pinangan yang selanjutnya termasuk saudaraku Rahman.
Masih dalam penantian tahap lanjutan dari ikhtiar kami, tersiar kabar bahwa pemilik senyuman paling syahdu di BaseCare itu sedang terbaring lemah di Rumah Sakit Bhayangkara pasca melakoni tugas dalam rangka dedikasi untuk negeri di luar kota. Segenap simpati dan doa dilangitkan dari segenap penjuru negeri demi kesembuhannya. Kami yang kala itu terpisah jarak yang cukup jauh hanya senantiasa menyelipkan bujukan pada Tuhan di setiap kesempatan perjumpaan dengan-Nya di atas sajadah agar senyuman dari saudara seperjuanganku itu akan tetap sama kala perjumpaan pasca ikhtiar jangka pendek yang kami lakoni saat kembali bersua di Tanah Daeng (Makassar).
***
Tanah Makassar telah kembali kupijak setelah serangkaian proses uji kemampuan dan kesabaran selama beberapa pekan di daerah orang, dan tempat yang paling kurindukan adalah BaseCare Makassar. Agenda pertama yang kusepakati bersama beberapa orang rekan setibanya di rumah segala resah untuk pendidikan di daerah tertinggal itu adalah menjenguk ke rumah sakit. Singkat cerita tibalah waktu yang disepakati, kamipun beriringan menggunakan sepeda motor menyambangi tempat rahman terbaring lemah. Ya benar-benar terbaring lemah seperti berulang-ulang kusebutkan sebelumnya, begitulah kondisi yang kusaksikan pada tubuh yang terbalut pakaian pasien dengan berbagai selang yang terpaut di badannya. Dengan kesedihan dan keprihatinan yang menyelubungi benakku, kududuk di samping kanannya, mengelus tangannya dan sekali lagi kurayu Tuhan untuk menyegerakan kesembuhan bagi sesosok pejuang yang menurut pandanganku begitu tersiksa dengan penyakit yang dirangkulnya.
“Salama’ki’ deng, lampe’ sunge’ta (bahasa bugis yang bermakna semoga diberikan keselamatan dan diberikan umur panjang) kalimat terakhir yang ingin kuperdengarkan padanya setelah doa kucukupkan untuk saat itu kemudian hendak meninggalkan ruangan Isolasi ICU (bergantian dengan rekan lain yang juga ingin membesuk). Kuelus kembali tangannya dan hendak berdiri meninggalkan ruangan, kulihat tubuh yang kian lemah dengan alat bantu pernapasan yang membungkamnya sedikit menggelengkan kepalanya dan melirik ke arahku diiringi setetes kristal bening yang mengalir dari sudut kanan matanya. Seketika kesedihanku semakin memuncak menyaksikannya yang tak mampu berkata selayaknya kami yang masih sehat, ia tak lagi mampu menampakkan senyuman yang kuharapkan ketika kembali jumpa dan tidak pula dapat berucap “bismillah pemprov bosku”.
30 Januari 2019, tepat 40 hari sudah kepergiannya saat kisah ini kutuliskan, segala tawa keceriaan dari sosoknya hanya bersisa kenangan dan sekeping kristal di pelupuk matanya kumaknai sebagai salam karena akhirnya dapat kembali berjumpa meski tidak pada takaran senyum yang sebahagia sedia kala, serta sekumpulan amanah yang ia titipkan bagi langkah perjuangan kita bersama dalam mencerdaskan Indonesia. Meskipun kini ia tidak lagi bersama dengan kita, semoga semangat kebahagiaan menjalani tugas yang ia tunjukkan selama ini dapat kita teladani.
“Jalan juang ini adalah siklus hidup yang telah kita amini sebagai ibadah yang dilakoni raga dalam beroleh kasih sayang-Nya, berjuang dan terus berjuang sampai ketetapan terakhir yang mulia telah Tuhan cukupkan bagi kita, hingga napas benar-benar terhenti, hingga kita kembali pada cinta sejati yang menciptakan kita, pada saat itulah perjuangan benar-benar berakhir”