“Bu guru su mau pulang ke Makassar kah?”, tanya Reflans dengan nada serius.
Reflans adalah anak yang paling komunikatif menurutku. Dia bisa berbicara sebanyak apapun yang dia mau. Mengungkapkan apapun yang ada di kepalanya. Mengomentari sesuatu yang menurutnya tidak masuk akal dalam logikanya. Juga menanyakan hal-hal yang baru saja dia dengar tanpa sengaja.
“Iya Nak”, jawabku sembari melemparkan senyum yang kupaksakan.
Sepertinya Reflans baru saja mendengar percakapan akan selesainya masa tugas pengabdian kami sebagai guru SM-3T. Memang aku tak pernah ingin mendramatisir perihal “kepergian” kepada siapapun. Juga terhadap mereka, siswa-siswi yang membersamaiku selama hampir setahun di kampung yang letaknya mungkin saja tak akan bisa kita temui di peta.
Kutatap teman-temannya yang mulai menampakkan wajah sedih. Namun tak ada yang berani berkomentar maupun bertanya.
“Oke adakah di antara kalian yang mau sampaikan sesuatu ke ibu guru?”
Aku terpaksa mulai membuka pembicaraan. Reflans terlanjur melemparkan pertanyaan pamungkas yang dengan sekejap mampu mengubah suasana menjadi mencekam.
Senyap, tak ada satupun suara yang menyambung pertanyaanku saat itu. Ah aku tahu suasana dan perasaan apa ini. Rasanya ada yang mengalir deras di ubun-ubunku. Ada yang berdesir di dalam dada. Pun ada yang terasa perih di bagian bola mata. Sejak dulu aku memang tak suka dengan namanya perpisahan. Apalagi mendengar seseorang mengucapkan selamat tinggal.
“Bu guru saya ikut kah”, mintanya polos. Reflans tiba-tiba membuat suasana yang kupikir akan berderai air mata menjadi batal. Duh anak ini.
“Eh? Kenapa Reflans mau ikut?”, tanyaku heran.
“Saya mau lihat Makassar bu guru”, ucapnya.
“Tapi nak makassar itu jauh, kita akan menyeberang pulau. Harus naik pesawat”, jelasku.
“Tidak apa-apa bu guru. Saya bisa naik pesawat” jawabnya dengan wajah serius.
Reflans masih duduk di sekolah dasar. Dia belum paham rute yang harus ditempuh dari Papua ke Makassar. Ia belum memikirkan di tempat yang jauh dengan usianya yang masih kecil, harus berbuat apa. Ia pun masih belum paham perihal perihnya perpisahan.
“Saya ikut nah bu guru”, Reflans kembali membujuk.
“Reflans, ko pikir naik pesawat itu murah kah?”, ucap Aya protes.
“Iya Reflans ini, dia pikir ke Makasar itu dekat sa. Macam naik perahu su sampai” Lora menambahkan.
“Kalian kenapa? Iri kah? Kalau kalian iri ikut sudah to”, Reflans rupanya tak mau kalah.
“Eh Reflans ko dengar ee, kalo ko ke makassar. Mamak bapak ko bagaimana. Kamu mau tinggal mereka kah”, anak lain mulai angkat bicara.
“Iya Reflans, kalau ko su terlanjur di sana. Bagaimana cara ko pulang lagi”, teman yang lainnya ikut memberi nasehat.
“Iya ehh. Sa tidak jadi ikut sama bu guru”, Reflans kemudian berubah pikiran setelah berpikir beberapa saat.
Kupikir pertanyaan Reflans di awal tadi akan mengiring suasana pada kesedihan. Namun tidak, mereka malah membuatnya menjadi lucu. Sangat menggemaskan. Percakapan polos anak-anak saat itu, membuatku berpikir perihal perpisahan tak selamanya mesti diiringi dengan kesedihan.
Anak-anak memang tak memikirkan hal-hal rumit seperti kebanyakan orang dewasa. Yang mereka pahami bahwa kepergian memang selalu ada. Seperti guru-guru SM-3T angkatan sebelum kami yang juga meninggalkan mereka pasca habisnya masa pengabdian. Kami adalah angkatan kelima, artinya telah lima kali mereka merasakan perpisahan yang sama di setiap tahunnya. Maaf Nak, pengabdian setahun kami membuat kalian merasakan perpisahan yang berulang kali.
Akupun perlu belajar dari mereka bahwa sebanyak apapun perpisahan yang dialami, yang terpenting ialah ada berapa banyak senyuman yang telah terukir bersama.
Kelas terakhir pengajian sore itu ditutup dengan gelak canda tawa anak-anak. Langkah kaki mereka menuju rumah digiring pula oleh cahaya jingga senja yang turut melambaikan tangan pada bumi. Tersenyum.