Hampir sebulan nelayan di Pulau Maratua tak melaut, khususnya di Kampung Payung-Payung, lokasi pengabdianku. Angin bertiup begitu kencang. Angin yang memaksa ombak menerjang pagar-pagar karang, batas aman rumah-rumah warga dari tepi pantai.
Hari itu, Kamis, 20 Agustus 2015. Sejak pagi, mentari seolah tak mau lagi tersenyum padaku. Dermaga panjang yang senantiasa menemani malam-malamku pun diam membisu. Sebuah koper, 2 ransel, dan beberapa kardus terbujur kaku di sampingku. Pikiranku saat itu tak dapat kukendalikan.
Perpisahan itu benar terjadi. Perpisahan yang mengundang sedih sekaligus kagumku pada Pulau Maratua, pulau yang kurang lebih setahun lamanya bernostalgia bersama ragaku. Alam, masyarakat, dan budayanya menjelma bak gadis idaman yang memesona. Memikat hatiku.
Mungkinkah program SM-3T dapat diperpanjang atau waktu yang dapat diulur sementara? Pertanyaan itu menggerogoti akal sehatku sebagai respons penolakan atas perpisahan kala itu. Berat melangkah. Pada satu sisi, ragaku telah damai bercanda bersama karang di pulau surga itu, sedangkan pada sisi lain jiwaku telah menyeberangi samudera kerinduan pada kampung halaman di bagian Selatan Pulau Sulawesi.
Saya tak dapat lagi bernegosiasi dengan situasi perasaanku kala itu. Lagi dan lagi, pikiranku semakin tak terkendali. Saya mencoba menguasai imajinasiku. Menatap langit-langit kamarku yang berdinding kayu khas Kalimantan. Setiap mata ini terpejam, kurasakan belaian angin melerai jiwaku. Tenang dan damai. Tak peduli siapa yang memanggilku kala itu.
“Barangkali inilah yang dinamakan over love”, pikirku konyol. Cinta yang membuatku takut akan hadirnya perpisahan. Semakin takut. Padahal, rasa cinta ini tidak seperti yang kerap kali melanda sepasang insan yang telah cukup umur. Sungguh, ini bukanlah cinta biasa.
Hingga saat itu kian mendekat. Dhito, rekan seperjuangan dan sekaligus seatap denganku di rumah pengabdian, memanggil sambil menaiki tangga rumah dengan langkah tertatih. “Adi, speedboat telah menanti di dermaga”, ucapnya dengan sedikit ngos-ngosan. Saya bergegas keluar kamar. Membasuh muka agar jejak sedih tak nampak di pelupuk mataku.
Satu demi satu barang bawaanku pun dibawa oleh rekan pengajar dan staf SMP tempat saya mengabdi selama setahun itu. Mereka menuju dermaga dimana aku dan ketiga rekan seperjuanganku harus menelan pil pahit perpisahan. Perpisahan yang tak kuinginkan. Namun, harus kuterima sebagai bagian dari program pengabdian ini. Mau tidak mau. Saya harus kembali melanjutkan PPG sebagai rangkaian dari program SM-3T ini.
Sebelum sampai di speedboat yang akan saya tumpangi, dari jauh nampak ratusan orang berjejer memenuhi dermaga Kampung Payung-Payung (lebih dikenal sebagai Dermaga Pelepas Rindu). Dermaga yang tiang-tiangnya nampak mulai rapuh oleh terjangan ombak akibat badai Selatan yaang mengkhawatirkan setiap tahunnya. Kebanyakan dari mereka adalah anak didikku di SMP Negeri 27 Berau, generasi penerus bangsa. Mereka adalah anak pulau, anak yang lahir jauh dari ibukota negara. Mereka meluangkan waktu belajar demi melepas kepergian kami. Sungguh, perhatian yang luar biasa yang tak pernah aku jumpai sebelumnya.
Satu persatu menyalamiku dengan mata berkaca-kaca. Nampak kesedihan di wajah mereka. Sesekali diselingi dengan senyuman kecil. “Jangan lupakan kami, kak”, pinta salah seorang anak didik padaku.
Memang, setahun bersama mereka, kedekatan yang terjalin melebihi kedekatan seorang guru dengan anak didik di sekolah pada umumnya. Mereka seperti adik kandung sendiri. Panggilan “Bapak” di sekolah disempurnakan dengan panggilan “kakak” di luar sekolah.
Realita yang tak terbantahkan bahwa saya dan ketiga rekanku yang mengabdi di pulau ini, hadir dalam hidup mereka tak sekadar menjadi guru di sekolah. Lebih jauh, kami adalah teman main, teman canda, dan teman curhat mereka diluar jam sekolah, kala sendu menguasai diri mereka, peralihan dari seorang anak kecil yang tumbuh menjadi seorang remaja.
Jujur, kesedihan tak dapat kusembunyikan saat itu. Airmataku bergelinang sembari menyalami dan merangkul mereka, orang-orang yang telah kuanggap sebagai keluarga sendiri. Semua mengalir apa adanya demi akhir petualangan seorang guru muda pada salah satu pulau berpenduduk terluar di negeri ini.
Haru, cemas, dan belas kasih pengharapan melepas kepergianku. Awalnya, semua orang yang ada di dermaga sangsi dengan waktu dan situasi keberangkatan kami yang kurang bersahabat. Lagi dan lagi, perpisahan itu nyata terjadi.
Saya dan ketiga rekan seperjuangan pergi dalam diam. Lambaian tangan menghiasi setiap sisi dermaga. Ombak pun mengiringi dengan tarian erotis di sisi kiri dan kanan speedboat yang aku tumpangi. Pulau Maratua yang membentang hijau dengan pasir putihnya, lautnya yang biru, semua nampak kelabu. Langit mulai mengalihkan perhatianku. Semakin jauh hingga laut pun membutakan penglihatanku dari pulau itu. Saya seperti “Penyu Hijau” yang lari dari habitatnya karena takut penangkapan liar.
Kini… tiada lagi pelangi yang dapat saya jumpai di dermaga menjelang senja hari. Tiada lagi senyum ria anak-anak dan warga pulau yang menyejukkan hatiku. Penyu Hijau sebagai fauna asli dari pulau itu, hanya aksi mereka yang dapat kupandangi saat ini, saat malam mulai bercerita tentang kerinduan selama pengabdian. Itupun hanya lewat video record pemberian seorang sahabat di pulau surga itu.
Petualanganku di pulau terluar Kalimantan Timur itu memang telah berakhir, namun itu bukanlah petualangan biasa. Itu adalah sebuah pengabdian dan pembelajaran berharga yang dapat kupersembahkan untuk negeri tercinta, Indonesia. Pengabdian setahun bersama anak-anak dan masyarakat di pulau perbatasan. Mengembang misi pendidikan, kebangsaan, sosial, budaya, dan agama.
Setahun di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur memang tak terekam dalam ensiklopedia sejarah nasional, namun kisah yang terukir didalamnya kan terkenang dalam hidupku sebagai sebuah peradaban. Terkadang saya berpikir, andai saja program SM-3T yang pernah kuikuti itu dilanjutkan kembali, maka itu akan menjadi alasan terkuatku agar tetap bisa bersamanya, bersama Maratua dan segala pesonanya.
*****
Makassar, 24 Oktober 2017