Di median malam, kutatapi lembaran-lembaran ilmu yang akan ditransfer di keesokan harinya. Tak jarang, dari sekian jeda waktu yang tersedia, separuhnya terpakai untuk merenung sebagai bagian dari pemantasan diri sembari tetap menatapi madah demi madah
Di kebuntuan yang sering bertengger, kukemas tanya pada rekan kerja se-visi dan misi, tanpa rasa gengsi, di kamar tumpangan yang penuh cerita dan masih jarang tersiram air mata, kecuali air mata muhasabah akan amanah yang telah disahkan.
Di sepagi, seba’da tunai simpuh kewajiban pada pemilik diri, kembali kubuka lembaran-lembaran itu. “Semoga jilid-an ilmu yang telah dipesan sampai di tepat waktu,” bisikku seorang diri. Agar lembaran yang kubuka tak lagi selamanya lembaran layar, namun juga lembaran buku. “Waktu bukan untuk ditunggu, namun ditaklukkan,” demikian kata para motivator. Terkadang aku merasa belumlah pantas menjadi motivator handal bagi mereka, sebab kadang juga masih tertatih memotivasi diri sendiri. Namun, tetap harus terus diikhtiari. Biarlah waktu menjadi salah satu saksi, di hari akhir nanti. Sebab mencaci maki waktu pun, bukan membuat waktu yang telah pergi itu datang kembali.
Menyusuri pagi, menghafal kelokan-kelokan indah dengan sanjungan angin dan suguhan pemandangan pesisir laut. Bersama kendaraan hibah sementara, aku memutilasi waktu. Kendaraan tanpa sepasang kaca spion, yang dengan kehadirannya sebenarnya aku terbantu untuk bisa menatapi keadaan kiri kanan saat melaju. Tapi, mungkin ke-tiada-an sepasang kaca spion itu sebagai suatu makna, bahwa aku harus merasakan secara langsung sebuah kenyataan, tanpa harus melalui perantara sebuah kaca.
Di sepulang siangnya, kukemas cerita tentang kebersamaan di ‘ladang’. ‘Ladang’ yang tak begitu hijau, yang kadang riuh, kadang sepi dan penuh tanya karena kadang belum memahami. Dan keadaan itu menambah muhasabah diri. Terus kuikhtiari, dan mengerahkan kapasitas diri.
Jalan masih panjang, jika Allah memperkenankan. Ini masih permulaan, belum akhiran. Dengan segala daya dan upaya serta restu dari pemilik alam, maka kutambah bait-bait doa sembari terus mengikhtiari untuk mengokohkan langkah kaki ke depan. Menyadarkan ‘statis diri’ menjadi keresahan agar lebih dinamis.
Potongan-potongan waktu menjadi bagian dari muhasabah diri sembari terus memantaskan diri. Hingga nanti ketika diri telah kembali padaNya, masih ada doa-doa yang tertinggal, dari seluruh pelakon di sudut-sudut negeri yang Allah ciptakan sebegitu luas ini.
Candi, Kepulauan Anambas, 05 Oktober 2017
Wa ila rabbika farghob
Keep Tawadhu