Padamu kuceritakan sebuah kisah. Tentang temanku yang menitip mimpinya di atas langit. Tentang beberapa perjalanan hidup yang tersendat pada kesukaran hidup. Di atas langit, temanku pernah menggantungkan mimpi-mimpinya, mimpi sebening air sungai dengan tekad sekuat bebatuan yang mendiami dasar sungai.
Padanya kutanyakan tentang mimpi, padaku dia ceritakan semua tentang perjalanannya. Pada angin ia pernah merayu waktu diputar kembali, pada pepohonan ia pernah bertutur soal penyesalan-penyesalannya. Ia memang pernah bermimpi, pernah ia begitu bahagia karena menggantungkan mimpinya di atas langit dan pada semesta ia memohon kemudahan untuk menuju ke sana. Pada jemarinya ia pernah melambai memanggil takdir membaikinya, pada dasar hatinya ia pernah membatin; ia masih ingin menjadi pemimpi yang tak takut pada kesukaran hidup.
Temanku bernama Maria. Ia duduk di kelas enam tahun ini. Setelah ada Guru Garis Depan yang datang ke Kampung Towe Hitam, ia menemui kepala sekolah dan mengatakan akan melanjutkan lagi pendidikannya yang tertunda. Ia tinggal dan menghabiskan masa kecilnya di Kampung Towe Hitam, Distrik Towe, Kabupaten Keerom Provinsi Papua. Sebuah Distrik yang paling terisolir di Kabupaten Keerom. Sementara perjalanan menuju ibukota kabupaten pun harus dengan pesawat carteran dan siapakah Maria dan kawan-kawan seusianya saat itu sehingga bisa menjangkau kehidupan di kota? Maria bersama dengan kehidupannya terkunci di sini, di antara pagar-pagar gunung, batas-batas bukit, terkekang pada jejeran pepohonan lebat dan terbatas pada derasnya aliran air sungai yang membelah hutan. Maria dan teman-temannya hanya tersenyum dan tertawa bebas bersama alam menikmati segarnya buah semangka, berenang bersama ikan yang memenuhi dasar sungai dan bermain bersama pepohonan sebatas pandangan mata.
Maria mengatakan telah kehilangan mimpi-mimpinya enam tahun yang lalu saat memutuskan untuk menikah dan menjadi seorang ibu. Tapi aku selalu menamainya sebagai mimpi yang tertunda dan kami setuju menyebutnya begitu. Sebenarnya aku melihat mimpinya tetap di atas sana, di atas langit Towe. Mimpinya tetap ia titipkan pada kehidupan meski waktu membawanya pergi dari jangkauannya terlampau cepat.
Waktu mengambil kesempatannya terlalu cepat hingga ia merelakannya berada di atas langit, ia titipkan pada awan, ia biarkan berada di situ saat musim berlalu dan waktu membiarkannya tak tersentuh sementara jemarinya makin menjauh dari langit. Saat musim dingin tiba, ia membiarkan mimpinya membeku bersama waktu. Saat musim panas menyapa, ia membiarkannya tergantung di atas langit dan perlahan mengering. Namun mimpi itu tetap dipikirannya, meskipun ia tahu bahwa sulit baginya untuk kembali mendekapnya dalam angan.
Kini Maria telah menikah dan mempunyai tiga orang anak; Dimison, Andreas, dan Fransina. Putra tertuanya Dimison telah duduk di kelas satu. Maria dan Dimison menyusuri halaman sekolah dengan seragam merah putih. Maria menuju kelas enam sementara Dimison ke kelas satu setelah diturunkan dari gendongan ibunya.
“Maria, apa cita-citamu dahulu?” Aku bertanya suatu hari. Ia tersenyum malu dan menunduk. Berkomat-kamit dan tersenyum lagi.
“Dulu saya ingin jadi ibu perawat” Jawabnya sembari tetap tersenyum. Aku tersenyum membayangkan mimpi yang ia gantungkan di atas langit Towe.
“Sekarang saya tidak punya mimpi apa-apa, saya hanya ingin jadi ibu rumah tangga yang pandai membaca dan menulis biar Dimison, Andreas, dan Fransina punya ibu yang bisa mengajari mereka di rumah” Sambungnya dengan suara pelan.
Pada langit aku ingin memberitahu apa lagi? Pada awan apa lagi yang akan kurayu? Segalanya terhenti pada gerimis dan hujan perlahan-lahan menjelaskan. Ilalang menceramahiku. Aku diam, dingin, dan terpaku menatapnya yang sedang asyik mengerjakan latihan yang aku berikan. Ia tetap belajar berhitung, membaca, dan menulis meskipun sesekali Andreas dan Fransina berlari menghampirinya dalam ruangan kelas.
Awan bergerombol berlari, berkejaran tanpa peduli pada kehidupan yang sering tersendat pada kesukaran. Mereka menari tanpa peduli mendung di hatiku. Aku melihat seutas senyum di wajah Maria. Ia tetap tersenyum meski mimpi-mimpinya tetap ia titipkan pada langit Towe. Pada langit aku mendongak dan memastikan, mimpi-mimpi itu terlihat di atas sana, melambai-lambai padanya yang menggendong Dimison meninggalkan halaman sekolah.
Aku terpekur pada kesendirianku menatapnya berlalu. Aku terdiam pada beberapa pemahamanku. Aku menanti waktu untuk menjawabi mimpinya. Membiarkan ia menceritakan pada Dimison dan adik-adiknya bahwa meskipun ia telah menunda mimpi-mimpinya, tetapi Tuhan telah menitipkan padanya tiga kehidupan dengan mimpi yang lebih tinggi.
*sherlygoran (GGD Kabupaten Keerom-Penempatan di SD Inpres Towe).