Aku tidak tahu harus memulai tulisan ini dari mana, hingga kuawali dengan kalimat ini. Banyak sekali bahan di kepalaku untuk kutumpahkan dalam tulisan, tetapi aku tak mampu merangkainya menjadi narasi indah. Jadi, biarlah tulisan ini mengalir apa adanya. Tanpa kejelasan judul dan ide pokok tiap paragraf, dan tanpa mengikuti kaidah penulisan yang baku. Aku hanya dapat memastikan, bahwa tulisan ini murni dari apa yang aku dapatkan di sini, tempat ini, perasaan ini; pengabdian menjadi GGD di Buru
Perkenalkan namaku Kaharman (kaharmanibo.blogspot.com), satu dari 126 GGD yang ditempatkan di Kabupaten Buru. Dipercayakan sebagai koordinator GGD Kabupaten Buru, mewakili pelepasan simbolis di Jakarta, menjadi perwakilan penyerahan SK secara simbolis, dan berbagai hal yang kuanggap sebagai prestasi dalam karirku beberapa minggu terakhir. Di sisi lain, aku mendapatkan begitu banyak hujatan hingga tuduhan “di mana-mana membuat kekacauan” oleh beberapa oknum dalam mengkoordinasi teman. But, life must go on. Selama itu niat baik, maka akan selalu ada hikmah positif di dalamnya, begitu nasihat ayahku. “inna mal a’malu binniat” hadits itu selalu didengung-dengungkan olehnya. Bahkan beliau berpesan, sebelum mengerjakan sesuatu pastikan dahulu pekerjaan itu selesai dalam pikiranmu kemudian kau bisa memulainya. Dalam buku The Secret karangan Ronda Byrne hal tersebut dinamakan afirmasi atau positif feeling yang disebutkan dalam Quantum Ikhlas karangan Erbe Sentanu.
SMPN 44 Buru adalah sekolah tempatku bertugas, tepatnya di desa Wasi, kecamatan Fena Leisela. Selama 2 minggu aku mencari informasi sekolah tersebut, dari tukang ojek, teman nongkrong di depan rumah Bibi Jai hingga pegawai dinas. Semua yang aku tanya mengernyitkan dahi, ekspresi wajah berubah atau malah balik bertanya, “Wasi itu daerah mana? Sedikit informasi yang aku dapatkan bahwa desa tersebut berada di dataran tinggi sekitar danau rana, aksesnya ekstrim, dan masyarakat masih banyak yang berpaham animisme.
4 oktober 2017, aku menerima pesan singkat (SMS) bahwa jalur Silewa, Waelana-lana dan Wasi “naik” ke tempat tugas. (Naik merupakan istilah yang sering digunakan oleh penduduk setempat untuk menyatakan menuju ke). Sorenya aku berangkat ke Lamahang, kecamatan Waplau untuk menunggu mobil strada 4WD yang akan mengangkut GGD ke tempat tersebut. Aku menyempatkan shalat Maghrib di Masjid Kampung Lamahang, bertemu dengan bapak Kades Lamahang (Bapak Bahrim Tasijawa) dan kepala Sekolah SD Miskoko. Kami menghabiskan waktu hingga Isya berdiskusi mengenai kondisi geografis dan demografi daerah tersebut. Hingga pak Kades memesankan “jika boleh, perempuan ditahan hanya sampai Silewa, jangan dulu naik ke Wasi, kasian” pesannya.
Ba’da Dhuhur, 5 Oktober 2017. Perjalanan dimulai peserta GGD, aku dan 9 teman sepenempatan serta beberapa guru lain berangkat dengan menggunakan dua Strada 4WD. Perjalanan ditempuh selama 5 jam dari Lamahang, melewati beberapa lembah, sungai dan tanjakan yang cukup ekstrim. Terkadang, dalam perjalanan kami takjub dengan keindahan alam, tertawa dengan candaan kepala sekolah SMP N 44 Buru (Frangki Waimese), atau tahan nafas karena jalanan sempit dan terjal hingga kami tiba di rumah Kepala desa Wasi. Tapi, bukan di situ intinya. SMP N 44 Buru, dibangun tahun 2008 oleh tokoh masyarakat dan toko adat. Sejak dibangunnya sekolah tersebut tak pernah ada aktivitas, bukan tak ada guru di kampung ini, tapi guru yang ada hanya untuk Sekolah Dasar. Jika mereka mengelolah SMP, maka sebagian kelas rangkap di SD akan terbengkalai. Setelah tamat SD, solusi bagi siswa hanya dua, lanjut sekolah di kota atau putus sekolah. Mereka harus mencari keluarga di kota untuk tempat tinggal karena tak mungkin untuk pulang pergi dari kampung.
Tahun 2014, tokoh masyarakat dan adat memanggil putra kampung yang telah menyelesaikan studi S1nya untuk mengaktifkan sekolah tersebut. Sekolah sudah tertutup rumput menjalar, kayu-kayu di sekitar sekolah sudah menjulang. Akses jalan setapak ke sekolah sudah tidak ada lagi tertutup ilalang yang tingginya melewati kepala. Sepanjang tahun 2014 sekolah tersebut direnovasi, gedung diperbaiki, dinding yang berjatuhan di ganti papannya, atap bocor diganti, rumput, dan pohon di sekitar sekolah dibersihkan, belum ada biaya dari pemerintah hanya menggunakan kebun adat yang digadai.
Tahun 2015, 9 guru muda memulai karirnya di sekolah ini, berbekal ijin operasional dari Dinas Pendidikan dan Kebudayan. Namun hanya 8 yang bertahan, sebut mereka adalah (1). Frangki Waimese, S.Pd (Kepala Sekolah), (2). Kartika Eka prasetiani, S.Pd, (3). Aningsiana Tomhisa, S.Pd, (4). Yesi Fiona Tomhisa, S.Pd, (5). Windia Hemvin Tasijawa, S.Pd, (6). Kasparina Amdasa, S.Sos, (7). Nikson Leslessi, S.Pd, (8). Matius Batuwael, S.Pak. tugas awal bukan mengajar di kelas, berlomba-lomba menggenapkan 24 jam tatap muka perminggu dan memperbaiki administari GTK seperti guru pada umumnya, tapi mencari anak tamatan Sekolah Dasar (SD) 3 tahun terakhir yang telah putus sekolah di empat kampung sekitar. Menyusuri kampung-kampung dengan berjalan kaki, menjemput siswa di kebun, melobi orang tua agar mau menyekolahkan anaknya adalah tugas utama mereka. Di tahun 2015, siswa tak wajib memakai seragam, tak ada sepatu untuk mereka, tak ada buku pelajaran di tas, bahkan tas sekolah pun tak ada. Syarat menjadi siswa di sekolah ini hanya satu “datang ke sekolah”. Pun demikian dengan guru, mereka datang tanpa menuntut gaji. Sepanjang tahun 2015 hanya mengandalkan hasil gadai kebun adat.
Tahun 2017, untuk pertama kalinya sekolah ini mengikuti Ujian Nasional (UN). Sebanyak 30-an siswa melalui masa-masa sulit selama 3 tahun di sekolah ini, belajar tanpa bangku. Tanpa buku bacaan, hanya buku catatan dari guru yang ulet dan ikhlas mengajar. Selama 3 tahun, mereka belajar formal di pagi hari dan belajar aksara dan berhitung di sore hari. Malamnya siswa berkumpul di rumah Kepala Desa, sekadar untuk mendengar cerita, motivasi dari guru-guru muda, atau menonton sinetron jika genset ada minyak.
Aku salut dengan masyarakat dan tokoh adat kampung Wasi yang mengikhlaskan kebun adat digadai untuk biaya perbaikan dan operasional sekolah. Aku juga merasa iri kepada guru-guru muda yang siap menyusuri kampung-kampung dan kebun masyarakat untuk mencari dan mengajak anak-anak ke sekolah. Selain itu, aku juga takjub dengan siswa-siswa yang mau belajar di kelas tanpa meja kursi, belajar aksara, dan berhitung pada saat sore di rumah kepala desa. Walau dengan segala keterbatasan, mereka tetap lakukan dengan senang hati dan tidak menjadikannya penghalang untuk tetap menuntut ilmu.
Aku malu sebagai GGD yang telah dilabeli “Guru Hebat”, karena menurutku sesungguhnya aku belajar banyak dari guru-guru hebat di sini dan kita harus saling mengisi dan melengkapi untuk memberikan yang terbaik bagi pendidikan negeri ini