Deru mesin ketinting yang memekakkan telinga. Percikan air yang menerjang pada sisi kanan kiri. Terik matahari yang menyengat, hingga debaran jantung yang tak karuan setiap saat. Kau tau rasanya berada dalam posisi itu selama satu jam? Kurang lebih satu jam kami harus menanggung hal itu sebelum sampai diperkampungan dayak yang akan menjadi tempat tugas kami selama setahun. Adalah SM-3T atau kepanjangan dari Sarjana Mendidik daerah Terdepan, Terluar dan Tertinggal yang membuat kami bisa mengenal tempat sejauh ini. Namanya long Suluy, sebuah perkampungan dayak yang terletak di tengah hutan kalimantan, tepatnya di Kabupaten Berau, Provinsi Kalimantan Timur. Tak ada akses darat kesana. Hanyalah akses sungai yang mengharuskan kita untuk naik perahu.
“Disana tidak ada mesjid, yang ada cuma gereja” Kata Bapak Kepala Sekolah. Sontak badanku lemas, jantung seakan ingin berhenti.
“Di sana juga tak ada pasar, jadi kita belanjanya di sini untuk keperluan beberapa bulan”. Celoteh si bapak menjelaskan panjang lebar.
Jika hal perut masih bisa kutampik, namun soal keyakinan membuatku gugup tak karuan. Sesegera kutampik dengan merapal doa sebanyak banyaknya. Dimana kaki dipijak di situ langit dijunjung. Pepatah kuno bugis yang menjadi pegangan ternyata mampu membuatku bertahan selama 12 purnama di Bumi Etam tanah Borneo. Kami memang berjarak dengan kampung halaman, tapi tidak dengan Tuhan. Rumah selalu kami jaga agar tak sepi dari doa. Meski nyanyian tetangga lebih sering diperdengarkan. Terkadang lalai menghampiri. Rindu membuncah. Hingga gundah coba untuk kami kubur. Namun, apalah daya air mata kadang menjadi satu-satunya obat untuk melarutkan semuanya. Tak perlu menunggu hujan untuk mengeluarkannya. Cukup nantikan Matahari berganti Bulan dan semuanya tumpah, menyeruak, menyatu dalam pekatnya malam.
Dua belas purnama kita tak boleh terlewati sia-sia. Kita harus mempersembahkan yang terbaik. Celotehku pada Fitri yang tengah asik membaca buku. Ada yang sangat miris terjadi disini. Masih banyak warga yang tak bisa baca, tulis dan hitung, celotehku tanpa henti. Bagaimana kalau kita membuka kelas buta aksara? Tanyaku pada Fitri. Ah, itu sudah kak, sambarnya dengan logat khas Dayak.
Perjalanan membuka kelas buta aksara ternyata tak semulus yang dibayangkan. Banyak lika-liku yang harus dilalui. Mulai dari persetujuan kepala kampung hingga ajakan pada orang tua yang masih ragu dengan para pendatang seperti kami. Hampir satu bulan kami harus menunggu kedatangan kepala kampung untuk mendapatkan izin. Namun, ia tak kunjung memunculkan batang hidungnya. Ada kesibukan yang sangat banyak yang ia lakukan di kota.
“Zaman sudah canggih, namun kita belum bisa memaksimalkan komunikasi” keluhku pada fitri.
“Mau mi diapa kak, di hutan ki ini tidak ada sinyal di sini” balasnya dengan nada pasrah.
Akhirnya penantian kami terbalas juga. Bapak kepala kampung akhirnya dapat ditemui. “Begini pak, kami ingin membuka kelas buta aksara di kampung ini” tanyaku pada Pak Jiu mengawali pembicaraan. Mereka ternyata sudah lama menantikan adanya kelas buta aksara, namun tak juga direspons oleh guru setempat. “Kami juga sudah lama ingin belajar” ungkap Pak Jiu. Bagaimana dengan tempat yang akan kami gunakan pak? Tanyaku menimpali keinginan Pak Jiu. “Pakailah saja balai kampung, tidak juga kita pakai” jawabnya pasti.
Hari minggu, hari dimana kami memulai kelas buta aksara di Kampung Long Suluy. Jarum jam kini menunjukkan pukul 15.00 Wita. Kami pun bergegas menuju kantor Kampung Long Suluy, tempat dimana kami akan belajar bersama orang tua yang belum melek aksara. Dengan langkah pasti dan semangat serta perasaan campur aduk kami pun menuju lokasi. Sesampainya di sana tak ada seorang pun yang kami lihat. Suasana kampung sangat sepi. Untungnya pada saat dalam perjalanan menuju Kampung Long Suluy, kami mengajak ibu-ibu yang sedang bergosip. “Ayolah Bu’, kita belajar membaca dan menulis serta berhitung” Ibu Mau kah? tanyaku dengan logat khas punan. Sudah ku duga, pasti jawaban mereka Ha in (Ndag Tau).
Satu persatu murid kami pun berdatangan. Menit demi menit murid kami bertambah hingga mencapai 8 orang. Kelas kami mulai dengan perkenalan Huruf A-Z. Mereka begitu antusias belajar. Bagaimana tidak, matahari pada saat itu cukup terik, tapi mereka tetap belajar. Dengan peralatan seadanya, kami memulai kelas buta aksara. Buku beserta pulpen telah kami persiapkan sebelumnya. Ternyata mereka tak membawa apapun. Namun tak apalah, hitung-hitung kita beramal, toh ini kebaikan juga, gumamku dalam hati. Tak kusangka ada sebagian dari mereka yang sudah mengetahui huruf A-Z. Tak lupa pula sebelum mengenalkan huruf, kami mengajarkan cara memegang pulpen serta menuliskan huruf satu persatu.
Salah satu cara memajukan pendidikan di daerah terpecil yaitu dengan cara menggalakkan pendidikan anak di rumah. Lalu, bagaimana seorang anak belajar di rumah bersama keluarga, jika keluarganya mereka pun tak tahu baca tulis. Beranjak dari hal itu, kami mencoba untuk menyentuh orang tua peserta didik kami dengan pendidikan. Melalui kelas buta aksara ada harapan yang ingin kami semai.