Kisah ini berawal dari rasa penasaran seorang sarjana muda mengenai program SM-3T. Rasa penasaran itu kian bertambah tatkala mendengar cerita pengalaman para alumni yang telah bertugas didaerah 3T. Rasa penasaran itu jugalah yang mendorongku mendaftarkan diri dalam program tersebut dan akhirnya membawaku menapak jejak di Tanah Borneo. Tanah yang sebelumnya tidak sekalipun pernah hadir dalam benak bahkan dalam mimpi sekalipun.
Kala itu, 8 September 2016 adalah pertama kalinya kakiku berpijak di Tanah Borneo. Pandanganku tertuju pada deretan gubuk yang berjejer rapi di atas sungai berair keruh. Deretan gubuk yang nampak rapuh dari jauh ternyata begitu kokoh. Setelah kutanyakan pada salah satu penumpang di speed, ternyata itu bukanlah gubuk melainkan jamban tempat warga kampung melakukan segala aktivitas mulai dari mandi, mencuci bahkan buang air. Sungguh itu adalah WC terpanjang yang pernah ada pikirku. Sebuah pemandangan yang jelas tak biasa bagi kami yang saat itu berjumlah 6 orang. Diam dan saling menatap adalah satu-satunya hal yang kami lakukan. Larut dalam pemikirannya masing-masing sedang aku kembali memutar alunan cerita indah masa-masa pengabdian para alumni. Bahagia campur khawatir tentu saja menjadi sesuatu yang padu kurasakan saat itu. Bahagia karena bisa merasakan nikmatnya kehidupan di daerah 3T, bahagia karena bisa menuntaskan rasa penasaran yang mengendap dalam diri dan bahagia bisa menjadi bagian dari SM-3T yang mengedukasi mutiara-mutiara negeri di pelosok. Namun, di tengah bahagia, tetap saja terselip khawatir. Sanggupkah aku bertahan di tengah beragam keterbatasan? Atau sanggupkah aku menjadi guru yang baik bagi mutiara-mutiara itu? Lamunan kami buyar ketika speed boat yang kami tumpangi berhenti pada salah satu jamban yang masih saja kusebut gubuk. Aku kembali takjub menyaksikan hanya ada hutan dan sungai, tak ada bangunan beton, tak ada aspal yang mulus, dan tentunya tak ada jaringan yang tumpah ruah.
Aku menjadi semakin takjub ketika keesokan harinya kembali kulangkahkan kaki menuju tempat tugas. Kusaksikan puluhan pasang mata yang nampaknya tak kalah takjub menatap kearahku dengan wajah sentimental memperhatikan dari ujung kaki smpai kepala. Hari itu adalah hari pertamaku. Samar-samar dari jauh terdengar suara gaduh, teriakan melengking menerobos gendang telinga dan suara hentakan sepatu yang kocar kacir kesana kemari. Suara terdengar jelas ketika aku semakin dekat dengan kelas yang mendapat julukan “Kelas Setan”. Suasana tiba-tiba menjadi hening ketika aku memasuki ruang kelas lalu duduk dan terdiam menatap mereka satu persatu tanpa sepatah kata pun. Kudapati mereka membalas tatapanku dengan sinar mata penuh harapan, kubuka suara memecah keheningan lalu tersenyum mencairkan suasana. Tak berselang begitu lama kelas kembali gaduh, suara bising kembali melayang di udara dan sepertinya aku mulai paham kenapa kelas itu dijuluki “Kelas Setan”.
Perbincangan panjang yang kerap kulakukan di luar jam sekolah mengungkap fakta yang membuatku begitu miris. Sebagian dari siswa di kelas itu sudah tak lagi berusia SD, namun karena tak kunjung pandai membaca terpaksa mereka tetap tinggal. Tak heran mereka menjadi anak yang susah diatur, kerap membuat onar, dan menjadikan belajar bukan prioritas utama mereka ke sekolah. Bahkan menurut informasi terkadang mereka ijin keluar kelas dan tak kembali hingga jam pelajaran berakhir. Aku tak habis pikir, lalu kemana sorot mata penuh pengharapan hari itu? Kemana sorot mata yang sepertinya butuh seorang guru? Kuputar otak mencoba mencari solusi. Sulit rasanya menjadi satu-satunya guru SM-3T yang ditempatkan di sekolah itu namun satu-satunya tidak menjadikan aku lantas berdiam diri menyaksikan mereka terus tidak mampu. Les membaca adalah salah satu pilihan agar mereka dapat mengenal huruf hingga akhirnya bisa membaca. Belajar di luar kelas dan belajar sambil bermain adalah senjata paling ampuh menumbuhkan semangat mereka. Bahkan tak jarang air mata menetes tatkala aku berceloteh panjang lebar di hadapan mereka. Dan apa yang kembali kudapati adalah sorot mata penuh penyesalan dari wajah-wajah mutiara negeri itu. Kini perlahan satu persatu di antara mereka mulai bangkit, menoreh cita-cita setinggi langit dengan harapan mereka akan menjadi generasi emas bangsa di masa depan.
Kebersamaan kami terjalin begitu harmonis. Kerap kali kami menghabiskan waktu di sore hari hanya untuk sekadar berbincang dan berbagi kisah. Kami bukan hanya guru dan siswa tapi kami adalah sahabat karib tempat berbagi keluh. Kini pengabdian telah berakhir. Satu tahun begitu singkat. Sangat singkat hingga tak banyak jejak yang kutinggalkan di tanah itu. Kusaksikan wajah-wajah murung ketika kabar kepulanganku segera sampai di telinga mereka. Kusaksikan tetesan air mata yang mengalir deras dari mata binar itu ketika perpisahan semakin dekat. Ada bisikan “Ibu jangan pergi”, ada teriakan “Ibu kembali lagi”. Dadaku rasanya sesak, dadaku rasanya tertusuk berkali-kali kembali menyaksikan tatapan penuh pengharapan dari mereka yang akan segera kutinggal pergi. Air mata tumpah tak terbendung.
Senyum mereka adalah bahagia bagiku, canda mereka adalah kekuatan bagiku dan tangis mereka adalah piluku. Mereka benar-benar mutiara terpendam di pelosok negeri. Anak-anak yang diciptakan dengan karakter dan talenta beragam. Mereka bukan tidak bisa, hanya saja mereka butuh perhatian lebih dan sedikit sentuhan lembut agar bisa terus berkarya.