JURNALISME MSI – Perjalanan kurang lebih dua hari dari kota Daeng mengantarkan rombongan guru-guru SM-3T menunju Kab. Mahakam Ulu (Mahulu) di Kalimantan Timur, saya adalah salah satunya. Perjalanan melintasi selat Makassar hingga mengarungi sungai Mahakam sebagai jalur utama urat nadi masyarakat Mahulu dengan menumpangi Speedboat (kapal mini bermesin) atau Long Boat (perahu panjang bermesin) melewati arum jeram yang dikenal dengan nama riam (arus air sungai yang deras) menuju penempatan pengabdian mengajar adalah menjadi penguji tekat ber-SM3T ke tanah tapal batas, Long Apari Serawak, Malaysia.
Melewati riam
Perjalanan menuju Mahulu bukan hanya perkara medan tempuan, musim juga menjadi salah satu faktor penghambat. Jika air sungai sedang pasang karena hujan, menimbulkan banjir diikuti banyaknya batang kayu yang terseret arus yang sewaktu-waktu dapat menghantam perahu yang di tumpangi. Sementara jika surut saat kemarau, perahu susah berjalan sebab beresiko menabrak bebatuan sungai. terdapat cerita beberapa warga setempat kutemui tentang kebuasan riam sungai Mahakam sudah sering menelan korban, baik penduduk lokal maupun pendatang.
Ditambah dengan beberapa mitos kesukuan Dayak tentang sungai yang akan kulalui, benar menggoyahkan mental setiap penumpang perahu Nur Istiqamah yang kutumpangi itu. Berkat Speedboat bermesin 200 PK cukup menjadi andalan dalam merintang dua riam ganas yang akan dilalui, yaitu riam Panjang dan riam Udang.
Untuk mengarung riam tersebut harus dengan Speedboat atau Longboat stabil bermesin besar, di kemudikan oleh motoris yang sudah terpercaya kehandalannya mengemudikan kendaraan apung, dan yang terpenting banyak tahu tentang mahakam, sebab perjalanan ke hulu Mahakam beresiko dengan tingkat keamanan yang rendah.
Perjalanan terus berlanjut, hari menuju petang, matahari mulai menurun mengintip dari balik celah pepohonan. Penak dan panik silih berganti mewarnai ekspresi setiap penumpang. Namun perjalanan berelatif tersebut membayar menyuguhkan segala kepenak panikan oleh panorama alam tanah etam ini.
Beberapa relief bebatuan yang mendinding membenteng ditepi sungai, pesona air terjun dari dibalik bebatuan yang memukau, padi ladang tumbuh subur membentang, kicauan beburung berloncatan dari dahan ke dahan pepohonan, berterbangan tanpa menggendong beban di punggungnya. Semilir angin yang menggetarkan dedaunan terasa memberikan kesejukan jiwa dari hamparan rimba yang beraneka raya jenis pepohonan alami sebab belum terjabah oleh eksploitasi seperti di daerah asalku.
Long Apari
Hari sudah petang, Speedboat yang kutumpangi perlahan menepi di sebuah dermaga di Kampung Tiong Ohang menandakan bahwa kami sudah tiba. Perlahan satu persatu sejumlah guru SM3T, mereka adalah Muh. Suman, Irwan S, Masdi, Alexander, Nurlaelah, Nur Rhamadhani, Herfinah, Ida Royani, dan Hardianti Mahyuddin serta penumpang lainnya mulai memisahkan diri dari badan benda apung ini menuju sebuah kediaman, Mes Sekolah.
Tanpa menunggu lama Pak Markus Awang mengantarkan langsung ke tempat yang akan kami tinggali selama setahun kedepan. Beliau sebelumnya sengaja menjemput dan bersama kami dalam perjalanan dari Long bagun, kota Mahulu. Beliau adalah Kepsek di sekolah yang kutempati mengajar nantinnya.
Long Apari, sebuah wilayah kecamatan yang terdidiri dari 10 desa, salah satunya adalah kampung Tiong Ohang. Di kampung inilah Saya mengabdikan diri mengajar. Bagi orang-orang luar Mahulu mungkin sangat asing kedengaran wilayah kampung ini, sekali lagi sangat asing, ya benar. Jauhnya dari pusat kota, keterbatasn akses hanya mengandalkan sungai sebagai jalur utama, membuat daerah ini seolah-olah berada pada keterisolasian.
Bahkan selama ini tak satupun pejabat tinggi non mahulu menginjakkan kaki di tanah ini. seperti terlupakan, hingga menimbulkan kemirisan yang mengakar ditahun 2012 silam. Penduduk bersama tanah pijakannya itu telah dikabarkan akan berpindah kewarganegaraan ke negara Malaysia, bahkan siap memasang bendera negera tetangga tersebut, lantaran ketidakpedulian pemerintah terhadap tanah Long Apari. Ancaman itu langsung mengegerkan pemerintah hingga kebakaran jenggot segera turun tangan memberikan pusat perhatian dengan bala bantuan agar keberadaan belahan tanah negeri ini tetap di pertahankan.
SMAN 1 Long Apari
Pagi yang sejuk, sorak riang terdengar dari balik jendela rumah tinggalku, beriringan hentakan sepatu tak beraturan kian terdengar, dari balik pintu kualihkan pandanganku untuk segera melihatnya. Mereka adalah murid-murid sekolah dasar bersama siswa siswi sekolah lainnya sedang menuju sekolah yang tak jauh dari tempat tinggalku. Di tanah Dayak Penihing ini, kuawali kisah hari pertamaku guru asal Pangkep-Sulsel masuk di Sekolah.
Selang beberapa menit, terdengar bunyi nyaring pukulan lonceng besi tua beberapa kali oleh Pak Husin rahmat menandakan bahwa pelajaran segera di mulai. Dia seorang penjaga sekolah yang sangat rajin dan disiplin. Saya bersama ketiga rekan guru SM3T Angkatan ke-VI ini, Suman, Irwan, dan Laelah diarahkan menuju sebuah ruang kelas. disana guru-guru dan siswa sudah menunggu memberikan penyambutan hangat atas kedatangan kami sebelum aktifitas pembelajaran dijalankan.
Dari mereka si siswa-siswi yang berwajah yang cerah, mata keagakan sipit, dengan urai rambut tertata lurus rapi, senyum yang memukau mencirikan mereka kesukuan asli Dayak. Dari postur badan yang rata-rata tinggi besar, nampak begitu dewasa, menunjukkan bahwa mereka adalah pekerja keras ditanah ini.
Namun satu hal tersingkap dari skemataku, dibalik raut wajah dan sorot mata itu nampak sebuah gambaran mimpi yang megumam, simakan akan kepolosan itu menandakan ada segenggam titik pengharapan dari kami untuk mengungkap pertanyaan-pertanyaan tentang sebuah pencapaian impian yang masih bersemanyang. Inilah wajah SMAN 1 Long Apari, sebuah bangunan panggung berdiri kokoh dari kayu Ulin dan Meranti, tempatku berbagi ilmu kepada mereka si anak-anak perbatasan.
Mengajar tanpa batas
Hari berganti demi hari, suasana pengabdian begitu terasa tak kala di tengah-tengah padatnya berkegiatan. Berlatar jurusan Penjaskes tak membatasiku untuk berbagi dan mengajar disiplin ilmu lainnya, salah satunya dengan merangkap sebagai guru mapel Bahasa Indonesia. Guru SM3T sudah selayaknya mampu menjadi penengah mengisi celah keterbatasan yang ada.
Di sore hari, terketuk hendak beranjak untuk mengajar anak-anak yang masih lamban dalam pemebelajaran melalui Rumah Belajar yang kami fasilitasikan kepada mereka, sebab diantara mereka masih terdapat usia-usia SMP bahkan SMA masih pasif dalam perhitungan dan membaca.
Pikirku, permasalahan ini bukanlah akibat sekolah ataupun kelalaian guru, selama infrastruktur pembangunan khsususnya di bidang pendidikan belum berkeadilan, selama itu problem di tanah seperti ini akan bermunculan. Ada sebuah hal yang mesti di benahi dari atas sana sebagai pemangku kebijakan agar tak sekedar membuat aturan sebab acap akali terjadi pengaturan aturan. Namun bagiku hal itu tak mengurungkan niat dan semangatku mendedikasi anak-anak bangsa ini, mereka adalah semangat bagiku, dihadapannya mereka menaruh harapan agar berjiwa besar.
Anak petualang
Waktu bergulir menunjukkan pukul 14.00 pada handphone miniku ini, kembali pukulan lonceng menandakan pelajaran di sekolah telah berakhir. Sepulang sekolah mereka beraktifitas, mengais rezeki dengan berladang atau tangkap ikan di sungai. kedua kehidupan ini tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Mahulu pada umumnya.
Masih kuingat, salah satu siswa ajarku, Theopilus Luhan namanya. Oleh teman-temannya adalah Theo atau Luhan sapaan akrabnya. Bersama teman sekolahannya, Aku di ajaknya berpetualang ke hulu sungai Cihan, salah satu anak sungai Mahakam. Bersama ketinting (perahu sampan menggunakan mesin mini) miliknya membawaku untuk menjumpai ikan-ikan di hulu sungai tersebut.
Ketinting bagi orang Dayak menyebutnya dengan nama Cess, sedang pengemudinya disebut motoris. Nada ucap Theo yang cukup meninggi menggodaku bahwa disana benar terdapat kumpulan ikan-ikan besar nan segar. Ini kali pertama ber-ketinting, tak salah jika kusungguhkan rasa penasaranku ikut dengannya, lagipula aku senang berpelualang, bagiku ini adalah sebuah tamasya.
Diatas Ketinting yang cukup berumur miliknya itu, kulihatnya jaring jala, sebatang Mandau, tombak, dan seutas tali yang tak pernah ketinggalan setiap kemana Dia bersama perahunya. Tubuh tinggi dan berotot lebih dari bodiku, dengan santainya mengemudikan perahu. Dari tangannya mengenggam batangan besi bulat tersambung pada mesin penggerak berkekuatan 5 PK itu, ditambah sehelai lilitan tali dari nilon.
Sebagai pengontrol arah dan seutas tali itu mengatur laju kecepatan perahu, ucapnya. Perjalanan kurang lebih sejam diiringi terik matahari, ombang-ambing air yang riak seiring tiupan angin tak sedikitpun menurunkan keinginanku untuk ikut meraih untung di balik sungai.
Perahu menepi, Theo si anak andalan dalam keluarga perlahan menghempaskan jala pada titik yang dianggapnya terdapat kerumunan ikan. Hempasan pertamanya pun tak sia-sia menuai hasil, beberapa ikan beramai menyangkut pada mata jalanya yang berdiameter kurang lebih 6 cm itu. Berkali-kali Dia melebarkan jalanya, hanya sesekali saja nihil mengait ikan-ikan lainnya yang siap di bawah pulang. Darinya aku belajar tentang dunia air.
Beda waktu beda tempat, dari sungai kuberalih menyusur rimba di hari yang senggang. tak mau ketinggalan, kuputuskan untuk ikut menapak di hutan belantara di benua etam ini. Berlembah dan berbukit merupakan relief yang merintang demi binatang beburuan untuk kemudian dijadikan lauk disamping terjual kepada orang-orang.
Di rimba di Long Apari inilah, menjadikanku flashback kembali kepada Pak Pius, seorang guru rekan mengajarku di SMA yang hobby berburu, geram dan seolah gatal kedua tangannya jika dalam sepekan tak menyalurkan hobby berbakatnya, meski hanya berdua beranjak jalan tak menjadikannya ragu untuk berangkat.
Kuakui Dia tangkas dalam segala medan, kuat menapak bukit dan lembah, keterampilannya mahir memainkan tombak dan senapan, bahkan langkah kakinya seperti rusa begitu cepat menguasai jejak tempuan yang membuatku kesulitan mengikut arah kemana Dia beranjak saat bersamanya.
Dari beliau aku banyak belajar tentang dunia rimba. Dari seringnya berpetualang dalam rimba menguatkan ingatanku bahwa betapa besar Maha karya ciptaan Sang Tuhan atas gelimangan kekayaan yang ditebarkan di muka bumi berlimpah ruah dalam batas tiada terkira.
Tak terasa detik-detik merangkak melintasi titik-titik setiap menitnya hingga berlalu dalam kurung waktu setahun.
Kini Aku kembali di tanah lahirnku di Desa Bulu Tellue di Pangkep-Makassar meninggalkan kepingan kerinduan yang masih tersisa di tanah Long Apari. Canda tawa dan rantai kehidupan dalam bingkai kebersamaan dengan sang anak-anak perbatasan yang senangtiasa melingkar dalam benak, bahkan isak di hati ini mengalung di ruang dengarku saat melantun lagu-lagu khas Dayak seolah tak mau lekan bersama berlalunya masa pengabdian ber-SM3T. Kiranya sebingkis cerita ber-SM3T diatas mewakili sekumpulan kisah cerita lain dariku yang ingin kuceritakan pada kesempatan lain.