Kuatnya angin dari Kurima menuju Wamena terasa dingin menusuk tulang jika sudah sore hari. Bunyi aliran Kali Baliem deras terdengar jika berada di jembatan gantung Sogokmo. Badan kali yang lebar dari hulu terlihat menyempit menuju ke hilir. Airnya berwarna kuning coklat. Kata masyarakat asli aliran airnya sampai menuju Merauke. Kali Baliem dan angin Kurima satu dari banyak hal yang saya rindu dari tanah Baliem. Begitu banyak hal saya alami dan temui di tanah Baliem. Beberapa cerita yang mengesankan saya coba rangkum dan hadirkan di tulisan ini.
Lembah Baliem kota kecil geliat pembangunan menjadikan saya belajar banyak hal yang kurang saya temui di daerah asal sebelumnya. Sederhana, gotong royong, tulus memberi, toleransi, menjaga lingkungan, penegur, dan kekeluargaan menjadi identitas masyarakat Lembah Baliem.
Tulus memberi belajarlah pada masyarakat suku Dani. Hari ini habis ya habis, besok akan ada berkat tersendiri. Tidak peduli sedikit atau banyak sesuatu untuk diberi, jika ada maka apa yang ada akan diberi. Karena mereka yakin Tuhan akan menggantinya esok dikemudian hari.
Alam lestari belajarlah pada masyarakat suku Dani. Alam memberi mereka segalanya untuk kebutuhan hidup. Air kali untuk minum, mandi, dan mencuci. Hutan memberikan mereka kayu untuk rumah dan kayu bakar. Hewan dalam hutan memenuhi dapur tengah. Masyarakat Dani meyakini alam adalah “mama”. Mama memberikan segalanya untuk keperluan mereka. Maka jangan sekali-kali merusak alam. Tong tra segan-segan memberi denda. Mengotori sungai ada dendanya. Tebang pohon sembarangan ada dendanya. Bisa-bisa dapat koleksi panah dibadan. Mau?
Bangsa kita kuat toleransi. Tapi itu perlu dikaji. Karena tiap perayaan hari besar agama berita pasukan pengamanan selalu heboh di media. Lain cerita jika di Lembah Baliem. Perayaan Natal dan Idul Fitri begitu mengikat kebersamaan. Tidak tampak ada pasukan pengamanan di gereja maupun masjid jika perayaan keaagaman dirayakan. Natal tiba warga muslim turut ikut merayakannya dengan berkunjung ke rumah warga beragama Kristiani. Begitu pula sebaliknya. Idul Fitri tiba, berbondong-bondong umat Kristiani berkunjung ke rumah saudaranya Muslim.
Identitas bangsa Indonesia gotong royong. Pekerjaan berat terasa ringan dan cepat dikerjakan bila dikerjakan bersama-sama. Itu cerita orang tua lalu. Kini tiada terasa tuah gotong royong tersebut jika berada di kota-kota besar. Apakah benar? Tidakkah kita juga rasakan hal seperti itu. Cerita berbeda akan kita dapati dari masyarakat suku Dani yang tinggal di Lembah Baliem. Mereka senang bekerja bersama dalam kelompok kecil maupun besar. Membuat pagar baik itu dari kayu atau batu mereka bahu membahu bekerja sama. Berkebun, berperang, berduka, dan berpesta mereka masih menunjukan semangat gotong royong dalam sendi kehidupan mereka.
Masyarakat suku Dani suka menegur. Jika bertemu di jalan maka mereka akan menegur dengan bahasa Dani. Nayak & lauk begitu sering terdengar kata teguran atau sapaan mereka jika berpas-pasan di jalan. Teguran kasar pun mereka juga lontarkan bila mereka tidak suka kepada seseorang. Marah adalah hal biasa dalam keseharian mereka. Mereka beranggapan bahwa marah itu adalah sifat asli mereka. “Bertemanlah dengan orang yang pemarah dan penegur, jangan berteman dengan orang yang diam dan hanya ketawa saja”. Begitu bunyi pepatah orang tua suku Dani.
Sederhanya masyarakat suku Dani digambarkan dalam lirik lagu band Slank yang berjudul Lembah Baliem seperti berikut;
Asal ada babi untuk dipanggang,
Asal ada ubi untuk dimakan
Aku cukup senang, aku cukup senang, dan aku pun tenang
Sangat sederhana memang. Begitulah adanya masyarakat suku Dani di Lembah Baliem.
Apakah berlebih bila rasanya saya katakan “An Wamena Meke”. Saya orang Wamena? Akhir tulisan saya coba hadirkan sajak berikut untuk melukiskan perasaan saya saat ini; merindu Baliem.
Kita berdua lihat mama-mama pulang berjualan.
Noken di kepala jadi simbol perekonomian.
Wamena kota geliat pembangunan,
sungguh Lembah Baliem tempat yang kita rindukan.