“Kenapa kemarin tak datang studi sore? Kau pergi main?”
Teriakan itu diiringi suara “Plakk” sebuah tamparan mendarat di wajah siswa. Tampak membekas merah di wajahnya. Terlihat mereka meringis kesakitan sembari menggosok-gosokkan tangan ke pipi mereka.
Sebuah pemandangan yang tak biasa saat pertama kali aku datang mengajar di daerah dalam kategori 3T, di sebuah kampung kecil yang terletak di Manggarai Barat, Flores. Tak tega rasanya melihat mereka diberi hukuman fisik seperti itu. Apa tidak ada pilihan hukuman lain untuk mereka. Tidak ada pilihan lain selain bersikap keras kepada siswa, ungkap salah seorang guru di sana. Guru di sini sudah terbiasa main tangan dan hukuman fisik saat siswa melakukan kesalahan. Jika tidak keras, siswa tidak akan takut. Siswa sudah tidak bisa ditegur dengan lisan lagi, sudah terlalu lelah juga para guru di sini menasihati.
Tanpa berpikir panjang guru, ringan tangan memukul siswa baik dengan tangan kosong maupun dengan kayu. Tidak menghiraukan besar atau kecilnya kesalahan, memukul adalah cara terbaik untuk menyelesaikan pelanggaran. Terkadang siswa yang ternyata tidak bersalah harus rela kena pukulan akibat tidak adanya komunikasi terlebih dahulu.
Siswa di sini memang bandel dan sulit diatur. Ada beberapa siswa yang tak jera melakukan kesalahan meski dengan konsekuensi hukuman fisik tersebut. Jadi seolah siswa sudah kebal dengan hukuman fisik seperti itu. Guru-guru di sini juga sudah terlalu ringan tangan untuk memberi hukuman fisik, walau terkadang mereka menyadari bahwa hukuman yang mereka berikan tidak mengubah perilaku siswa.
Guru-guru di sini memberi saran agar tidak ragu untuk memukul siswa yang melakukan kesalahan. Namun, aku harus berpikir seribu kali untuk melakukan hukuman fisik. Aku lebih memilih untuk mengajaknya berbicara mengenai kesalahan yang dilakukan. Berdiskusi dengan mereka mengenai hukuman apa yang pantas untuknya. Dengan cara ini kita bisa memahami akar permasalahan siswa. Kita dapat memberikan kesempatan kepada siswa untuk berbagi cerita. Interaksi semacam ini diperlukan agar kita dapat mengenal siswa lebih dekat dan dapat mencari solusi terbaik untuk permasalahan.
Sebagai seorang guru, kita mempunyai tanggung jawab untuk memberikan contoh yang baik kepada siswa dalam segala hal. Memberi hukuman fisik kepada siswa belum tentu memberikan efek jera, yang ada kita sebagai seorang guru justru memberikan contoh kekerasan kepada siswa. Sebenarnya hukuman fisik yang dilakukan di depan semua siswa dilakukan agar siswa yang lain takut dan jera. Tapi hal ini tidak menunjukkan sikap wibawa seorang guru.
Kewibawaan seorang guru tercermin dari ketegasan bertindak. Ketegasan tidak pula ditunjukkan dengan memberikan sanksi fisik kepada siswa yang melakukan pelanggaran. Ketegasan ditunjukkan dengan sikap terbuka dan memandang masalah siswa lebih dari satu sudut pandang. Masih banyak cara lain yang dapat dilakukan untuk menyelesaikan permasalahan siswa yang memang begitu kompleksnya