Sejak lahir, bayi-bayi Indonsia itu dibelenggu oleh generasi diatasnya, yaitu dibedong (konon katanya agar tidak bengkok tangannya). Dalam perjalanan seorang anak itu tidak lepas dari kesalahan, namun disaat anak melakukan kesalahan maka orang yang ada di atasanya dalam hal ini orang tua melakukan kesalahan seperti dicubit, dibentak atau dijewer, sehingga anak merasa takut melakukan kesalahan dan penakut.
Dari cerita diatas, saya akan mencoba melihat suatu fenomena yang terjadi pada anak didik di sekolah dimana tempat saya mengajar, terkhusus disaat saya selama 5 bulan menjalankan tugas sebagai sarjana mendidik di Biak Numfor. Fenomena yang saya maksudkan adalah panggilan siswa terhadap gurunya. Guru adalah orang tua siswa yang bukan sekedar menyampaikan materi sesuai bidang keilmuannya, tapi guru juga adalah harus menjadi orang tua yang baik dan kakak yang baik untuk membentuk karakter anak agar anak itu menjadi pemberani dan percayaan diri.
Membentuk keperibadian siswa menjadi pemberani dan percaya diri, itu butuh sebuah proses, mulai dari bagaimana menetapkan tujuan, mengubah julukan diri kita, dan mengubah pemahaman atas diri kita. Sebagai guru SM-3T yang mengajarkan bidang studi sejarah pada SMP, SMA Sup Byaki Fyadi Biak, dan MTS DDI Babussalam Biak berkeinginan untuk membentuk keperibadian siswa menjadi seorang pemberani dan percaya diri, karena saya sadar setelah saya mengajar siswa di Papua secara umum berbeda dengan siswa yang ada di daerah lain, seperti disaat siswa bertemu dengan guru maka kita akan dengarkan kata dari siswa “Pak Guru”.
Kebiasaan siswa dalam menyapa seorang guru dengan kata pak guru bukan saja di dalam kelas namun di jalan, di pasar, dan ditempat-tempat yang lain kata-kata Pak guru selalu dilontarkan oleh siswa disaat ketemu gurunya, namun panggilan pak guru tidak membuat siswa untuk lebih berani dan percaya diri, kenyataan yang saya temukan di lapangan disaat mengajar di kelas siswa merasa takut, tidak berani dan tidak pecaya diri untuk naik di depan temannya, baik sekedar membacakan pengertian sejarah.
Berangkat dari fenomena ini, saya sebagai guru berpikir, apa yang harus saya perbuat agar siswaku yang 99% orang papua bisa lebih berani dan percaya diri. Sebagai guru, saya tidak lepas dari bagaimana konsep untuk merubah anak didik untuk menjadi pemberani dan percaya diri, konsep yang saya maksud adalah merubah julukan diri atau bentuk panggilan terhadap guru.
Kalau diawal-awal mengajar, siswa saya memanggilku pak guru, namun sekarang panggilan itu sudah berubah, karena setiap saya mengajar saya menganggap bahwa siswa yang saya hadapi ini adalah adek saya, sehingga setiap saya mengajar tidak mengatakan anak- anakku sekalian, namun saya mencoba untuk mengucapkan adek-adeku yang saya cintai hari ini kita akan belajar tentang “kebudayaan dan peradaban yang berpengaruh terhadap peradaban awal masyarakat Indonesia.
Hal ini saya lakukan, karena saya sadar bahwa sebagai guru SM-3T, maka misi utama saya adalah bukan sekedar mengajarkan siswa pelajaran sesuai bidang keilmuan dan siswa bisa memahami pelajaran yang saya ajarkan, namun bagaimana dalam proses pengajaran itu dapat menumbuhkan rasa kebangsaan dan Nasionalisme sebagai anak bangsa yang akan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Bagi saya, sebagai guru yang berambut lurus dan bukan orang pribumi Papua, maka dengan tidak mengurangi wibawa saya seorang guru dan demi untuk menumbuhkan rasa nasionalisme dikalangan siswa Papua maka sepantasnyalah siswa memanggilaku “Kakak”, sehingga saya sebagai seorang guru dan muridku sebagai seorang siswa tumbuh rasa persaudaraan dalam hatinya bahwa guruku ini ternyata menganggapku adalah saudara dan walaupun rambut dan budaya yang berbeda guruku ini telah menganggapku adeknya.
Hal yang saya lakukan ini, Alhamdulillah mendapatkan perubahan dalam diri siswa, siswa diawal-awal saya mengajar di sekolah penempatan sebagai guru SM-3T, siswa malas-malas masuk sekolah, apalagi sebagian orang tua siswa di Biak kurang memberikan perhatian khusus untuk memberikan dorongan kepada anaknya untuk bersekolah, namun setelah saya anggap siswaku ini adalah saudarku maka sebagai guru yang dipanggil kakak selalu merindukan siswa ada dikelas dan secara bertahap siswa pun merindukan guru selalu hadir bersamanya.
Persaudaraan yang terjadi antara saya sebagai guru, terus saya lakukan kepada anak didik, disaat jam-jam istrahat saya menempatkan diri untuk bersama siswa bercerita, sehinngga siswa menceritakan berbagai permasalahan yang diya hadapi baik di rumah, di sekolah, dan di masyarakat, karena pada dasarnya cita-cita siswa yang saya ajar begitu beragam, ada mau jadi TNI, pemain bola, guru, dan suster. Dari cerita siswa tersebut mulailah untuk memberikan motivasi bahwa sekarang kita sudah berada pada zaman modern yang mana Indonesia telah merdeka, agar kita dapat merasakan kemerdekaan maka harus menikmati yang namanya belajar dibangku sekolah.
Persaudaraan yang terjadi antara saya sebagai guru dan siswa, membuat saya lebih percaya diri untuk setiap pengajaran sejarah yang saya lakukan di kelas dan dalam mengahiri PBM dikelas siswa harus menyanyikan lagu Indonesia raya, lagu kemerdekaan dan menghafalkan teks pancasila setiap kali pertemuan jam pelajaran saya, sehinnga siswa semakin percaya diri dan tidak merasa takut untuk berbuat khususnya diasaat guru memberikan penugasan kepada siswa.
Akhir dari tulisan ini, panggilaan kakak kepada guru, adalah salah satu jalan yang saya lakukan untuk mengubah pola pikir anak didik bahwa Papua juga adalah Indonesia dan makin memperkuat rasa nasionalisme anak-anak Papua, karna di Papua secara umum dan khususnya di Biak perlu pertahanan pendidikan agar keutuhan negara Indonesia tetap terjaga.
(Muh Ilyas, S.Pd – Sejarah)