Permendikbud No. 30 Tahun 2017 terkait partisipasi masyarakat agar peduli terhadap pendidikan ternyata sudah terimplementasi baik di Desa M3, bahkan sebelum aturan tersebut dibuat. Gampong yang terletak di jantung hutan Kabupaten. Aceh Timur, Kecamatan Indra Makmur ini terdiri dari 50 KK yang semuanya menjadi aktivis pendidikan. Jauh sebelum Permendikbud no. 75 tahun 2016 lahir, Bang Be telah memimpin warga desa untuk menjalankan tugas dan fungsinya sebagai ketua komite sekolah di SDN 3 Blang Nisam. Sekolah ini merupakan satu-satunya fasilitas pendidikan yang dapat dijangkau oleh peserta didik dari Dusun M3. Hutan rimbun, binatang buas, dan sungai tanpa jembatan merupakan penghalang perdik untuk bersekolah ke kecamatan. Itulah sebabnya Bang Be, yang bernama asli Bachtiar itu bersikukuh untuk mempertahankan keberadaan sekolah ini.
Sekolah ini ditutup sementara ketika Presiden Megawati melancarkan operasi militer GAM pada puncaknya di tahun 2003. Kala itu terjadi pembakaran desa besar-besaran dan pemutusan aliran listrik sehingga menghanguskan sebagian besar rumah warga dan seluruh fasilitas publik termasuk SDN 3 Blang Nisam. Krisis ras juga terjadi kala itu, penduduk bersuku Jawa memilih untuk pindah dan tidak kembali lagi. Penduduk asli suku Aceh yang bertahan sampai saat ini menyebut diri sebagai “warga sisa konflik”. Mereka tidak akan pindah karena di hutan itulah mereka membuka lahan perkebunan, satu-satunya harta yang mereka miliki. Bang Be yang merupakan panglima GAM kala itu, bersama dengan seluruh penduduk asli yang juga tergabung dalam GAM, berkomitmen akan membangun kembali desa.
Kesadaran Masyarakat terhadap Pentingnya Pendidikan
Setelah adanya penandatanganan perjanjian perdamaian antara GAM dan Pemerintah RI pada 15 Agustus 2005, Bang Be menerima perintah untuk membubarkan diri sebagai GAM. Setahun kemudian Bang Be dan masyarakat bergotong royong membangun kembali sekolah. Usahanya membuahkan hasil. Pemerintah memberikan bantuan berupa pendanaan pembangunan gedung permanen. SDN 3 Blang Nisam memiliki 6 ruang kelas dan 2 toilet, meskipun hingga saat ini sekolah belum mendapatkan aliran listrik.
Perjuangan Bang Be dan warga belum selesai. Setelah bangunan sekolah rampung, tidak ada guru yang bertahan mengajar di tempat itu. Kepala sekolah dan 2 orang guru PNS yang ditugaskan di sana hanya bertahan selama sebulan. Pasalnya, akses jalan ke desa itu sangat jauh dari tempat tinggal mereka di kecamatan. Belum lagi dalam perjalanan menuju sekolah, mereka seringkali dihadang oleh babi hutan. Ketika hujan, akses terputus karena tanah berubah menjadi lumpur yang dalam.
Warga bermusyawarah dan memilih 2 orang warga dengan ijazah SMP dan SMA menjadi guru sukarelawan (sukwan). Bu Hamisah, Istri Bang Be adalah salah satu guru tersebut. Ia mengajar sambil melanjutkan sekolah keguruan. Selama 5 tahun Bu Hamisah dan satu rekannya menjadi tonggak terselenggaranya pendidikan. Sistem kelas rangkap diberlakukan agar guru dapat menjangkau semua perdik. Bu Hamisah mengajar kelas besar (kelas 4, 5, dan 6) sedangkan Bu May mengajar kelas kecil (kelas 1, 2, dan 3). Hingga kemudian datang dua guru sukwan lainnya yang berasal dari desa tetangga. Mereka biasa berangkat dengan berjalan kaki selama 1,5 jam dari tempat tinggal menuju sekolah.
Komitmen Bang Be sebagai Ketua komite dan anggota komite lain untuk mengembangkan sekolah tidak berhenti sampai di situ. Menghormati kesediaan para guru yang digaji seadanya, wali murid yang menjadi anggota komite membuat jadwal gilir untuk memberikan makan siang dan snack bagi guru sukwan. Tak lupa hasil panen memenuhi bekal guru di musim tertentu.
Masa Pencerahan
“Hari itu kami dengar ada sekolah yang dikirim guru dari Jawa, karena kami ketinggalan info jadi tidak dapat.” Bang Be becerita tentang kabar kedatangan guru muda melalui program Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (SM-3T) yang diselenggarakan oleh Kemendikbud. “Kubilang terus sama Pak Dzul Kepsek, supaya tahun depan kita dapat guru dari Jawa. Kalau tidak dikasih biar kudatangi Pak Kepala Dinas itu!” Demikian Bang Be bergurau diikuti gelak tawa. Setahun kemudian SDN Blang Nisam menerima seorang guru laki-laki muda melalui program SM-3T angkatan kedua. Seluruh warga menyambut kedatangannya dengan suka cita. Komite sekolah bergotong royong membangun sebuah pondok sebagai tempat tinggal bagi guru, lengkap dengan papan tulis di beranda depan untuk kegiatan belajar tambahan di luar jam sekolah. Masyarakat menjamin makanan dan keselamatan guru selama setahun ia bertugas. Kedatangannya membawa berkah. Terbukti pada tahun ajaran baru, SD Blang Nisam menerima pendaftaran lebih banyak dari tahun sebelumnya. Bahkan banyak juga yang berasal dari desa lain. Mereka menitipkan anaknya pada warga di desa M3 selama 6 hari efektif sekolah dan dijemput pulang pada akhir pekan. Kegembiraan berlanjut manakala kedatangan guru SM-3T angkatan ketiga datang menggantikan. Dengan antusias masyarakat dan dukungan penuh dari komite sekolah, peserta didik SDN 3 Blang Nisam dapat mengikuti Festival Seni Siswa Nasional (FLS2N) untuk pertama kalinya. Tak disangka, seorang peserta didik bahkan mendapatkan Juara 2 Kategori Lomba Cerita Bergambar Tingkat Provinsi. Ini adalah piala pertama sejak sekolah berdiri.
Tak Henti Berharap dan Berusaha
Program SM-3T dihentikan setelah 6 angkatan dan disusul dengan program Guru Garis Depan (GGD). Tentu saja, Bang Be sudah mencari tahu tentang kabar ini. Ia segera mendesak Kepala Sekolah untuk mengajukan permohonan agar SDN 3 Blang Nisam mendapatkan satu guru PNS GGD. Ia dan masyarakat terpencil di tengah hutan itu berharap, dengan adanya guru kompeten dari Jawa bisa mendatangkan banyak murid bersekolah di SD yang mereka bangun dengan peluh keringat itu. Jumlah murid yang banyak itu dapat membuka akses jalan desa sehingga dapat terhubung dengan kecamatan dan desa lainnya.
Bagi Bang Be dan masyarakat Desa M3, ilmu adalah pintu dunia dan akhirat. Tanpa akses pendidikan, roda nasib tidak akan berputar. Terpencilnya pengetahuan akan membuat mereka mudah diadu domba. “Anak-anak ini harus pintar, kalau mereka bodoh macam kami sejarah perpecahan nanti akan terulang.” Itulah pesan Bang Be, ketua komite sekolah SDN 3 Blang Nisam. Masyarakat M3 masih harus belajar tentang penghayatan nasionalisme, tapi pendidikan adalah kebutuhan dasar yang tidak dapat ditunda-tunda. Melalui pendidikan, nasionalisme akan tumbuh dalam diri anak-anak. Muatan pelajaran yang diajarkan di sekolah akan mengenalkan mereka pada negaranya, Indonesia. Perlu proses untuk menyadarkan bahwa Nangroe Aceh (Negeri Aceh) adalah bagian dari NKRI. Pendidikan adalah upaya nyata untuk mencegah tumbuhnya separatis ideologi di masa yang akan datang.
Permendikbud No. 30 Tahun 2017 tentang pelibatan keluarga pada penyelenggaraan pendidikan dan Permendikbud No. 75 Tahun 2016 tentang komite sekolah, membuka peluang lebih besar bagi masyarakat sebagai bagian dari lingkungan sosial pendidikan untuk memberikan kontribusi yang lebih besar terhadap pengembangan satuan pendidikan. Direktorat Pembinaan Pendidikan Keluarga perlu menyentuh lini terkecil masyarakat di desa terpencil yang jarang diketahui oleh publik. Agar masyarakat dengan dedikasi yang tinggi seperti Bang Be dan warga desa M3 dapat merasakan kehadiran Pemerintah dalam semangat perjuangan mereka.