Ceritanya seperti ini, pada suatu masa sang honorer telah bertahun-tahun menjalin kehidupan cinta dengan kehidupan dan segala kekurangan yang diterimanya, kemudian datanglah alumni PPG SM-3T yang punya kesempatan mendapat segala fasilitas yang diharapkan sang honorer, sehingga sang honorer akhirnya merasa tak dianggap
Cerita yang sedikit klise, tapi apakah benar seperti itu?
Yaah… Terlepas dari fasilitas yang dulu sempat saya nikmati ketika menjadi peserta SM-3T dan PPG, apakah saya nantinya harus menjadi honorer? Apakah itu akan cukup memenuhi kebutuhan zaman “now” untuk sekadar berselancar dalam dunia maya? Pikiran-pikiran itu selalu muncul menjelang masa berakhirnya PPG kala itu
Namun saya kembali berpikir, bukankah untuk bisa menjadi peserta SM-3T dan mengakhiri PPG banyak hal sulit yg sudah saya lewati? Dunia maya? Bukankah selama setahun mengabdi sebagai peserta SM-3T tidak ada dunia maya? Yang ada adalah kenyataan bahwa untuk memulai kehidupan yang berkualitas itu dari “nol”! Lalu apa sulitnya jika menjadi honorer? Haruskah jiwa pengabdian dan kepuasan ketika bisa berbagi ilmu dengan peserta didik hilang begitu saja karena profesi honorer kurang diperhatikan? Apakah perhatian dari 20-30 orang dalam kelas masih kurang?
Menjadi guru adalah kebanggaan, di satu sisi dengan wibawanya dapat berbagi ilmu dengan peserta didiknya, di satu sisi bisa sebagai teman walaupun sekadar mendengarkan kisah dunia zaman “now” mereka. Itu adalah salah satu poin kebahagiaan bagi saya dalam menjadi guru.
Apa harus ada lagi pikiran honorer itu kekasih yang tak dianggap? Bukankah di mata peserta didik dan di dunia pendidikan kita tetap seorang guru?
Guru honorer, guru PNS, guru GGD sekalipun tetaplah seorang guru. Status adalah nilai plus!
Dan saya masih percaya, ketulusan dalam usaha untuk berproses tidak akan mengkhianati hasil.
Menjadi kekasih tak dianggap pun tak apalah, tapi setidaknya masih ada mereka yang menungguku dan layak dapat perhatianku, peserta didikku!
Saya alumni dan saya mengabdi!
Saya honorer dan saya bangga!