Pada suatu rindu, saya teringat akan Pak Firman. Guru sejarah saya semasa sekolah di Pacitan dahulu. Di antara guru-guru SMP, Pak Firman termasuk yang paling berbekas di hati ini selain menyenangkan, ia juga membuat saya bisa mencintai sejarah. Tidak ada yang salah jika saya dan anda memiliki guru yang bisa dikatakan “kesayangan”.
Saya dan Anda tahu bahwa sejarah tersebut sangat membosankan karena membicarakan peristiwa masa lalu. Pernah saya bertanya ke Pak Firman mengapa perlu mempelajari peristiwa masa lalu? Bukankah hidup ini tentang masa depan dan pembicaraan mestinya mengarah ke sana. Entah mengapa, Pak Firman tersenyum mendapati pertanyaan saya tadi. “Pertanyaanmu itu lho nang, kaya sing diwasa aee,” kelakar Pak Firman. Siswa yang lain ketawa mendengar Pak Firman menjawab seperti itu. Lanjut Pak Firman memberi respons “masa datang tidak terlepas dari masa lalu, dan masa lalu itu ibarat cermin yang ada pada kendaraan bermotor di mana fungsinya melihat ke belakang untuk kehati-hatian dalam berkendara di jalanan. Begitu juga dengan hidup, melihat ke belakang (peristiwa) agar berhati-hati meniti jalan menuju masa depan.” Pak Firman melihat ke arah saya “Gimana nang, ngerti ora?” Pak Firman ya begitu itu, selalu menjelaskan dengan memberikan suatu analogi dan saya mengangguk paham apa yang dimaksudkannya.
Pelajaran sejarah menjadi tidak rumit dan membosankan jika Pak Firman yang menjelaskan peristiwa masa lalu. Sejarah bukan sekadar menghafal tahun-tahun dan mengingat deretan nama pahlawan. Saya paling suka bila Pak Firman menjelaskan sejarah kota kecil kami, dan peristiwa sejarah di dalamnya. Saya masih ingat dengan jelas ketika saya dan siswa lainnya diajak bersepeda mengunjungi Patung Jenderal Sudirman yang baru saja diresmikan Presiden RI-6, Susilo Bambang Yudhoyono pada 15 Desember 2008. Yang tak terlupakan oleh saya waktu itu ketika Pak Firman menjelaskan sosok Jenderal Sudirman. “Jenderal Sudirman adalah seorang pahlawan nasional Indonesia,” ucap Pak Firman dengan tegas sembari menunjuk patung yang ada di depan kami. “Jenderal yang besar, mempertahankan Indonesia dari serangan Belanda yang ingin kembali menguasai Indonesia,” nadanya bergetar memendarkan rasa patriotik “pada tanggal 1 Maret 1949, terjadi peristiwa serangan besar-besaran di Yogyakarta sebagai Ibu Kota Indonesia saat itu dan daerah di sekitarnya. Peristiwa itu dikenal sebagai Serangan Umum 1 Maret 1949. Saat itu, militer Indonesia di bawah kepemimpinan Panglima Besar Jenderal Sudirman melakukan serangan ke Yogyakarta untuk membuka mata dunia bahwa Indonesia masih ada. Perjuangan Jenderal Sudirman dan pasukannya yang saat itu melakukan gerilya dari satu daerah ke daerah lainnya untuk melawan Belanda.”
Usai Pak Firman menceritakan perjuangan Jenderal Sudirman saya merasakan getaran makna darinya. Getaran gelombang patriotik tersebut berhasil menyangkut di hati semua siswa. Semangat Pak Firman jelas terasa bergelora hadir di tengah-tengah kami. Pelajaran kala itu sungguh masih membekas di hati saya. Epik Jenderal Sudirman hadir tidak hanya di buku pelajaran, namun juga melalui media bangunan (patung) yang dikenal monumen dan dibungkus penjelasan heroik dari Pak Firman.
Bila Pak Sudirman adalah seorang jenderal besar, maka pak Firman adalah guru yang besar bagi saya.
Pekanbaru, 12 Mei 2019