Namanya Fitri Afridayanti. Gadis kelahiran Palembang ini adalah rekanku sebagai sesama peserta SM-3T angkatan IV asal Riau di Distrik Walesi, Kab. Jayawijaya, Prov. Papua. Kami memang ditempatkan di sekolah yang berbeda, tetapi oleh kepala sekolah kami masing-masing ditempatkan satu rumah, dekat sekolahku MI Merasugun Asso dan Pesantren Al-Istiqomah.
Sebelumnya aku tak dekat dengan Fitri, karena kami berbeda program studi dan selama prakondisi kami berbeda kelompok. Aku mulai dekat dan memahami karakter Fitri sejak kami satu penugasan di Distrik Walesi bersama dua orang peserta SM-3T asal Kalimantan Timur, yaitu Fatma dan Erna.
Bagi yang tak mengenal Fitri, pasti selalu menggambarkan dia adalah gadis yang pendiam. Tapi di mataku dia tak sependiam itu. Di saat berdua, dia selalu menceritakan mimpi-mimpi dan harapannya. Dia selalu mengulang-ulang kalimat yang sama, dia senang ikut SM-3T dan mengajar di Papua, karna dia merasa menjadi seorang guru seutuhnya, dia bahagia sekali ketika dipanggil “Ibu Guru”. Baginya itu adalah penghargaan terbesar dalam hidupnya. Dia juga adalah sosok guru yang berdedikasi sangat tinggi. Semua warga Walesi yang mengenalnya sangat tahu dedikasinya yang luar biasa untuk sekolah. Dia lebih banyak menghabiskan waktu di sekolah daripada di rumah. Dia tak malu bertanya dan mau belajar banyak hal demi anak-anak muridnya di SD YPPK Sinatma Walesi. Karena maklum saja, kami sebelumnya tak memiliki basic mengajar anak-anak SD.
Fitri juga adalah sosok yang rela berkorban demi orang lain. Padahal hampir semua gajinya telah dia transfer untuk keperluan keluarga dan sekolah adik-adiknya di Riau, tetapi dia masih mau menyisihkan sedikit uang pribadinya untuk sekolah dan murid-muridnya. Ada murid yang tak sanggup beli seragam sekolah dibelikannya, ada murid yang tak bersepatu ke sekolah dibelikannya. Setiap anak-anak yang berhasil atau memiliki prestasi pasti selalu diberi penghargaan. Bahkan saat libur semester, Fitri bela-belain pergi ke Jayapura hanya untuk membeli buku-buku bacaan sekolah untuk perpustakaan Sekolah. Karena di Wamena, memang sulit mencari buku-buku penunjang sekolah. Fitri rela makan seadanya dan tidak jajan hanya demi anak-anak didiknya.
Di sekolah Fitri pernah berusaha membuat kegiatan ekstrakurikuler kesenian. Kalau biasanya orang membuat ekskul menari atau menyanyi, Fitri malah membuat kelas suling. Fitri bela-belain beli suling yang harganya tidak murah itu beberapa buah untuk anak-anaknya belajar. Hampir setiap sore dia melatih anak-anak belajar suling di lapangan sekolah. Dengan tekun dia melatih anak-anak mempelajari lagu-lagu nasional sampai bisa. Juga saat dia melatih anak-anak membaca puisi untuk mengikuti lomba Pekan Generasi Emas Jayawijaya yang ditaja oleh SM-3T Jayawijaya. Usahanya dalam membujuk sekolah dan anak-anak patut diacungi jempol.
Dedikasi Fitri di sekolah membawa keberuntungan untuk kami. Malam itu selepas maghrib, setelah rapat di kota Wamena, kami bela-belain pulang ke Walesi karena harus ke sekolah esok harinya. Ojek yang biasanya mangkal di simpang Wouma-Walesi ternyata sudah pulang semua. Karena menjelang malam mereka tidak berani lagi narik, takut kena palang di jalan. Kami bingung bagaimana mau pulang. Mau telepon ke rumah minta jemput, kasian juga sama Fatma dan Erna. Sambil memikirkan jalan keluar, kami jalan ke warung dekat simpang tersebut. Tiba-tiba ada seorang bapak berhenti belanja di warung. Kemudian menyapa kami.
“Ibu guru, mau kemana?”.
Ah, hanya dengan mengenakan jaket SM-3T saja, semua orang tau profesi kami. Lalu kami jawab, “Kami mau pulang ke Walesi Bapa”.
“Saya orang tuanya … (maaf saya lupa nama murid bu Fitri). Ikut saya saja sudah. Saya juga mau pulang ini”.
Akhirnya kami pulang dengan Bapak itu tarik tiga dengan motornya. Alhamdulillah dapat tumpangan gratis. Di tengah jalan ada orang-orang pasang palang, minta uang. Tapi mungkin karna Bapak ini cukup dikenal, kami dibiarkan saja lewat. Di perjalanan Bapak itu bilang, anaknya selalu cerita tentang ibu guru Fitri. Ah, Fitri, kebaikan dan ketulusanmu membawa berkah. Kami pulang dengan selamat malam itu.
Setelah menyelesaikan pengabdian di Walesi dan PPG di UPI, Fitri sempat mengikuti tes untuk kembali mengajar ke Papua. Dia selalu bilang rindu mengajar di sana, dia ingin kembali ke Papua, karena dia merasa dibutuhkan di sana. Tapi sebaik-baiknya rencana manusia, memang lebih indah rencana Allah.
Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama. Mungkin itulah peribahasa yang tepat untuk menggambarkan keadaan Fitri. Tepat pada tanggal 17 Maret 2018, beliau telah dipanggil ke rahmatullah, karena sakit yang telah lama dideritanya. Allah menyayangi beliau, sehingga lebih dulu memanggilnya. Kenangan tentangnya dan jasa-jasanya untuk dunia pendidikan ini takkan pernah terlupakan. Siapapun kalian yang membaca kisah ini, luangkan waktu semenit dua menit untuk mendoakan Ibu Guru Fitri Afridayanti ya.