Menghukum bukanlah kegemaranku. Namun kondisi dan posisi meminta untuk mampu melakukannya. Hanya saja, aku butuh sebuah inovasi untuk menghukum. Inovasi dalam menghukum? Itu istilah darimana? Istilah itu kuciptakan sendiri seiring berjalannya waktu. Selanjutnya dari inovasi itu pula aku menghadirkan hukuman berbasis kasih sayang. Ah! Istilah dari dunia mana lagi itu? Aku memaknai hukuman berbasis kasih sayang ini adalah hukuman yang diberikan dengan pengharapan, melalui hukuman tersebut ada kesan baik yang tertinggal di dalam hati penerima hukuman.
Sebenarnya cara ini terinspirasi dari pernyataan Bupati Kepulauan Anambas saat suatu waktu memberikan sambutan dalam sebuah acara. Adanya sebuah peristiwa yang melibatkan profesiku di dalamnya, meminta pak Bupati untuk menyampaikan cara yang berbeda untuk memberi hukuman terhadap siswa. “Saya meminta supaya kalau menghukum anak-anak, jangan melukai fisiknya. Barangkali bisa dengan menyuruhnya mengaji, sehingga dengan itu nanti ada perubahan yang baik dalam dirinya,” kira-kira demikian paparan pak Bupati kala itu.
Aku menyimak serius penyampaian itu. Walau berada di ujung barisan yang jika ditatap dari depan, hanya kepala yang tampak, saking jauhnya jarak duduk. “Nasihat yang baik dan positif,” pikirku. Aku berniat untuk mencoba menerapkannya di tempatku mengajar. Karakter anak-anak yang sedemikian berbeda memang terkadang sulit dikendalikan. Entah hanya aku saja yang berpikir demikian. Semoga saja iya. Dengan demikian, itu artinya bahwa aku harus bekerja lebih keras lagi untuk menyelami karakter dan dunia mereka.
Satu hal yang sedang kuupayakan adalah menyadarkan anak-anak untuk menunaikan kewajibannya dalam menunaikan sholat lima waktu. Ini bukan suatu perkara yang mudah. Namun aku terus mencoba untuk mengajak mereka lewat nasihat, lewat ajakan secara langsung bersama-sama agar menunaikannya. Suatu ketika kusampaikan pada mereka “siapa yang tidak menunaikan sholat lima waktu, maka akan dapat hukuman “gula-gula” dari Ibu,” ujarku sambil menatapi mereka satu per satu.
“Gula-gula benda apa Bu?,” tanya mereka penasaran. Kulihat kening mereka mengkerut memikirkan istilah yang dulu bisa kupakai saat masih berada di Papua. Namun gula-gula yang kumaksud disini bermakna berbeda dari sebelumnya.
Esoknya, aku kembali memeriksa anak yang tidak melaksanakan sholat lima waktu. Sesuai dengan kesepakatan, yang tidak menunaikan sholat, akan diberi “gula-gula”. Aku meminta salah seorang siswa untuk mengambil Al-Qur’an. Dengan perintah itu, perlahan mereka memahami makna gula-gula tadi. “Disuruh mengaji,” bisikan mereka begitu jelas terdengar. Selanjutnya aku memadukan bentuk hukuman dengan cara yang lain, namun masih dalam ranah positif. Terkadang aku menyuruh mereka membaca surah-surah pendek, terkadang meminta mereka membaca doa-doa pendek. Dan itu kuberikan saat yang tidak menunaikan sholat nyaris keseluruhan. Pemberlakukan hukuman ini masih dalam ruang lingkup kelasku.
Jujur, aku sendiri terkadang bosan jika harus menghukum setiap hari. Namun ada rasa yang tidak bisa dibohongi. Ada yang menghantui. Kali ini, kembali aku menanyakan mereka yang tidak menunaikan sholat. Dan lagi, nyaris keseluruhan masih sama. Aku tidak memberikan hukuman yang sama dengan sebelumnya. “Hukuman untuk yang tidak sholat lima waktu, nanti pas istirahat semuanya sholat dhuha,” ucapku. Mereka tidak ada protes. Saat istirahat tiba, kembali mengingatkan mereka untuk menunaikan hukuman tadi. Mereka bergegas tanpa memberikan sebait ucapan protes.
Aku tidak tahu apakah cara ini nantinya mampu mengubah ketidakbiasaan mereka. Namun setidaknya, aku tidak dibebani oleh rasa bersalah saat memberikan hukuman Semoga dengan hukuman yang tersebut, bertambah keimanan, berubah karakter yang kurang baik menjadi lebih baik. Semoga! Pun, cara ini kupilih karena rasa sayangku pada mereka.