Beberapa hari yang lalu saat membaca berita tentang Guru Budi pertama kalinya di instagram, yang ada di dalam pikiran penulis adalah; saat pemerintah telah menggemborkan program pengembangan karakter siswa, juga membiayai sejumlah kegiatan untuk mengembangkan kemampuan guru lewat program latihan dan pengembangan profesi, lalu mengapa kita masih saja disuguhi berita menyedihkan semacam ini?
Kejadian tersebut, menurut berita, bermula ketika Guru Budi sedang mengajar melukis di luar kelas. Salah seorang murid tidak mematuhi arahan beliau. Anak tersebut malah menganggu teman lain yang sedang mengerjakan tugas. Sekali dua kali ditegur, tapi tetap saja dia mengulangi perbuatannya. Hingga akhirnya Guru Budi mewanti-wantinya dengan ucapan akan mencoret mukanya bila masih mengulangi perbuatannya. Namun, anak itu kembali menganggu temannya. Jujur saja seandainya saya berada di posisi Guru Budi waktu itu, saya juga akan melakukan hal yang sama barangkali; mencoret muka anak itu. Sebab, yang dilakukannya sudah jelas melanggar batas kesabaran.
Mendapati mukanya dicoret dengan kuas, anak itu berdiri lalu mencekik leher gurunya. Dia dengan sangat tega melayangkan tinju pula tepat di kepala bagian belakang dari orangtua keduanya itu. Guru Budi jatuh tersungkur. Sepulang ke rumah, beliau tidak sadarkan diri dan akhirnya meninggal di rumah sakit.
Pendidikan yang terintegrasi
Tugas mendidik bukanlah beban guru di sekolah semata. Sekolah hanyalah dunia pendidikan ketiga bila ditilik dari jenjangnnya. Sebab, sebelum memasuki dunia sekolah, anak-anak kita telah lebih dulu menerima pendidikan dalam keluarga juga dari lingkungan tempat tinggalnya.
Menyalahkan pendidikan di sekolah dalam hal ini bukanlah pemikiran yang bijak, sebab waktu anak-anak kita jauh lebih banyak dihabiskan di luar sekolah. Meskipun, setahun belakangan marak isu terkait aturan full day school, tapi hanya beberapa sekolah saja yang melaksanakannya. Aturan itu juga banyak ditentang oleh berbagai pihak dan presiden pun mengeluarkan instruksi pembatalan program sekolah lima hari penuh tersebut. Presiden menggantinya dengan peraturan presiden tentang penguatan karakter anak. Pihak istana mengatakan bahwa peraturan presiden tidak mewajibkan full day school kecuali sekolah memang benar-benar siap melaksanakannya.
Mengingat kejadian pemukulan guru bukan lagi hal yang pertama kalinya kita ketahui dalam beberapa waktu terakhir ini, barangkali sudah seharusnya kita menyadari bahwa pendidikan adalah sesuatu yang seharusnya terintegrasi. Bahwa pendidikan sepatutnya melibatkan kerjasama banyak pihak. Bukan hanya sekolah, tapi juga keluarga dan lingkungan masyarakat tempat tinggalnya.
Sebagaimana cita-cita pendidikan negara yang salah satu poinnya ialah membuat peserta didik memiliki budi pekerti yang luhur, barangkali dengan kerjasama yang baik seperti itu, kita bisa meminimalisir hal-hal yang berpeluang menghambat tujuan pendidikan anak-anak kita. Hal tersebut mungkin bisa kita capai sebab akan tercipta pengawasan yang menyeluruh oleh semua pihak di mana pun anak kita berada.
Kerjasama yang terjalin baik akan dengan sendirinya menimbulkan dampak pada komitmen dan tanggung jawab. Tanggung jawab inilah yang akan menghilangkan perasaan bermasa bodoh dan acuh dalam diri kita masing-masing. Ketika mendapati anak-anak yang telah melakukan hal yang sudah di luar batas, kita tidak akan merasa segan dan takut menegurnya. Toh selama ini, diakui atau tidak, kita takut memberikan peringatan karena merasa segan pada orangtua dari anak tersebut.
Peran Pemerintah
Pemerintah telah memberikan petunjuk kepada kita tentang bagaimana pendidikan nasional yang harus kita jalankan lewat kurikulum. Apalagi beberapa tahun belakangan telah dikembangkan kurikulum 2013 yang memberikan perhatian lebih pada segi pengembangan karakter. Meskipun, pada kenyataannya di lapangan, belum berjalan sepenuhnya seperti yang diinginkan. Di tingkat SD bahkan guru masih dipusingkan pada buku panduan ajar yang hampir tiap tahunnya direvisi. Hal itu diperparah dengan berubahnya pula urutan kompetensi dasar. Sehingga tiap tahun, guru harus mengubah kembali perangkat pembelajarannya.
Namun sekali lagi bahwa pendidikan adalah perihal yang harusnya terintegrasi dengan baik. Dan, barangkali akan lebih massif lagi jika dibungkus dengan program yang mendukung dari pemerintah setempat.
Pemerintah setempat yang penulis maksud dalam hal ini ialah kepala desa atau lurah beserta jajarannya. Apalagi saat ini tengah digalakkan otonomi desa di mana pemerintah desa punya kewenangan untuk menyusun program sendiri yang sumber dananya sudah ada. Paling tidak, salah satu program bisa membentuk kesadaran warganya tentang pendidikan.
Barangkali dengan pendidikan yang melibatkan semua kalangan, kasus seperti yang dialami Guru Budi tidak lagi terulang di negara tercinta kita ini. Sebab pada akhirnya kita akan sadar bahwa pendidikan sepatutnya tidak hanya menjadikan anak-anak cerdas dalam pelajaran, tetapi juga baik dalam beretika. Menjadi beradab. Bukan biadab.