GGD Turun Bersama Mengedukasi Anak Negeri di Distrik Manokwari Utara


Sore hari Isrin yang biasa dipanggil “Icing” telah meluncur dengan Avanza putih ke sekolahku menjemput layar proyektor. Kebetulan sekolahku (SMPN 20 Satap Mupi) memiliki layar proyektor yang rencananya akan dipakai dalam pemutaran film nanti malam. Sementara Infokus disiapkan oleh Rizki Marsel Nampe. Ia membawa Infokus tersebut dari sekolahnya. Gotong royong seperti ini memang sering kami lakukan saat kegiatan Mengedukasi Anak Negeri (MeAN) kami adakan. MeAN juga menjadi kesempatan kami untuk berkumpul bersama, maklum kami tersebar di distrik-distrik yang berjauhan di Manokwari.

Rekan-rekan guru perempuan ternyata telah lebih dulu standby di lokasi, mereka menyiapkan makanan untuk kosumsi acara MeAN. Suasana dapur seperti acara nikahan. Semua sibuk dengan job masing-masing. Ada yang memasak nasi, memotong daging, dan menyiapkan minuman. Suhanda bertindak sebagai tuan rumah, ia seperti kepala chef sore itu. Mereka bersemangat untuk mengsukseskan agenda MeAN, suasana seperti ini selalu tercipta saat MeAN diselenggarakan. Saking semangatnya sampai-sampai Agnes tidak menyangka kalau lantai di dapur yang ia pijak ternyata sudah lapuk. “Prakkk..!”, tiba-tiba kaki Agnes terperosot, kakinya terperosot sampai ke paha. Buru-buru kami mengangkat Agnes ke atas. Untung, ternyata Agnes tidak apa-apa. Beranjak malam di Kampung Nuni, Rizki dan “Ucok” Raja Inal Sihotang menyiapkan layar. Mereka memasang layar tersebut di halaman sekolah. Sementara siswa ikut membantu mengangkat kursi dari dalam kelas. “Bioskop” pun segera di mulai.

Dokter Anwar (Ringgo Agus) menjelaskan tentang lagu negara Indonesia di depan kelas. Anak-anak memperhatikan dengan serius apa yang disampaikan Dokter Anwar. Kelas tersebut sangat sempit, karena keterbatasan kelas, maka 2 kelas harus digabung, pembatasnya adalah tripleks. Jadi, 1 guru mengajar 2 kelas sekaligus dalam kelas. Dokter Anwar adalah seorang guru “dadakan”, ia baru sampai di perbatasan Indonesia dengan Malaysia itu. Ia mengabdi sebagai dokter di perbatasan Kalimantan Barat tersebut. Sedang berbicara di depan kelas, tiba-tiba,..”prakkkk”, kaki Dokter Anwar terperosot ke bawah, lantai dari kayu yang ia injak ternyata sudah lapuk. Kejadian itu sontak membuat siswa tidak mampu menahan tawa, sesaat kelas pun jadi heboh. Adegan dalam film berjudul “Tanah Surga…Katanya” besutan sutradara Herwin Novinato yang kami putar malam itu membuat sekitar 50 anak-anak di Kampung Nuni ikut tertawa terpingkal-pingkal.

MeAN memang telah menjadi agenda rutin kami setiap semester. Ada beberapa rangkain MeAN kali ini, dari Pemutaran Film Edukatif, Mendongeng, Go Green, dan Kebersihan Gigi dan Mulut. Semua pembiayaan dan fasilitator ditanggung oleh GGD Manokwari. Memang untuk pembiayaan kegiatan seperti ini kami melakukan secara gotong royong. Setiap kegiatan MeAN diadakan kami bersama-sama mengumpulkan uang. Untuk acara pemutaran film kami memilih di Kampung Nuni. Kampung Nuni ini berada cukup jauh dari pusat Kota Manokwari. Di Kampung ini berdiri sebuah sekolah dasar. Dua orang guru GGD, Surahman dan Alprinayanti mengajar di sekolah tersebut. Cukup berat juga perjuangan Surahman dan Alprinayanti di sekolah tersebut, apalagi ia berada di lingkungan yang jauh dari akses kota. Sinyal pun susah. Sehingga saat harus mengurus pendataan sekolah mereka harus keluar kampung, sekali se pekan mereka turun ke kota, sekedar menelpon keluarga dan mencari informasi terbaru. Sebagai muslim Surahman sedikit kewalahan. Tidak ada masjid di kampung tersebut, ia harus turun ke kota untuk menunaikan kewajiban Shalat Jum’at.

Kehadiran 2 guru ini sejak dua tahun lalu menambah energi dan harapan baru bagi sekolah tersebut. Apalagi Surahman dan Alprinayanti adalah lulusan program studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar. Keterbatasan guru PGSD merupakan dilema banyak sekolah pedalaman. Tidak terkecuali di Kampung Nuni. Apalagi untuk sekolah dasar, kemampuan membaca, menulis, dan berhitung tidak bisa diajarkan oleh sembarangan guru. Kondisi seperti ini sering dipaksakan di banyak sekolah yang belum memiliki guru PGSD, banyak guru yang mengajar tidak sesuai bidang yang diampu. Sehingga, kadang miris sekali ada siswa yang telah duduk di bangku SMP belum lancar membaca, realitas ini hampir ditemukan di sekolah pedalaman yang tidak memiliki guru PGSD.

Film “Tanah Surga..Katanya” adalah sebuah film fiksi yang memperlihatkan realitas pendidikan di daerah 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal). Saat pemutaran film tersebut saya berpikir bahwa ini adalah gambaran cerminan di daerah pengabdian saya sendiri. Tidak sedikit scrip-scrip dalam film tersebut saya temukan sendiri di lokasi pengabdian saya. Misal, tokoh lain dalam fiksi ini adalah Astuti (Astri Nurdin) seorang guru yang ditempatkan di desa tersebut mendapatkan sekolah yang tidak layak. Sebuah ruangan yang dibagi dua dengan sekat menjadi kelas tiga dan kelas empat SD. Kondisi seperti ini bukan hal baru bagi guru pengbdi di daerah 3T, termasuk sekolah saya sendiri.

Salah seorang rekan saya, Serefianus Maxim Asalang kadang memborong beberapa kelas untuk mengajar seorang diri. Serefianus mengajar di sebuah sekolah SD di Distrik Tanah Rubuh. Distrik ini merupakan salah satu distrik yang sulit dijangkau. Ia sering mengeluh kepada saya dengan kondisi sekolah yang harus ia hadapi. Apalagi sebagai guru GGD ia ditempatkan di sana seorang diri. “Harus bagaimana lagi bang, saya sendiri, kadang guru-guru lain tidak datang, saya harus memborong semua kelas, beberapa kelas saya gabung dan saya berpindah-pindah kelas,”ujar guru GGD Manokwari asal Kupang NTT tersebut.

Serefianus tinggal di sebuah kamar di kantor distrik. Di sana ia memasak dan melepas lelah setelah pulang mengajar. Tidak ada sinyal dan hiruk pikuk keramaian di kampung tersebut, sekali-kali hanya teriakan orang sedang mabuk di jalanan yang ia dengar. Mabuk memang masih menjadi penyakit di Manokwari. Guru dan suster adalah 2 profesi mulia di mata masyarakat, bagaimanapun mabuknya, dua orang ini tidak pernah mereka ganggu. “Kalau ada orang teler-teler di tengah jalan, saat saya lewat dong langsung berjalan tegap,”kelakar Serefianus kepada saya. Saya jadi ingat cerita seorang teman saat masih dalam asrama PPG SM-3T, ia baru pulang dari pengabdian di pedalaman Papua.

Pengalaman-pengalaman beliau selama mengajar di pedalaman Papua membuat saya takjub, satu hal yang paling ia tekankan adalah bagaimana penerimaan orang Papua terhadap guru yang datang dari luar ke tanah mereka. “Saya sering diberi ayam, buah-buahan, dan sayur saat masyarakat panen, dapur saya penuh, saya tidak pernah membeli kebutuhan makan dari luar, masyarakat memberi saya kebutuhan makan, bagi mereka guru adalah ‘malaikat’ yang dikasih Tuhan, guru diterima, dilindungi, dijaga oleh masyarakat,”ujar salah seorang teman saya yang akrab saya panggil “Daeng” itu. Suatu pagi motor saya dihentikan oleh seseorang laki-laki, tepat dekat rumah kepala kampung. Ia bicara meracau keras dan memalak saya, sepertinya ia mabuk. Ternyata kejadian itu didengar oleh kepala kampung, ia keluar menunjuk-nunjuk laki-laki tersebut. “Hei..apa itu, kau jangan ganggu dia !,”kepala kampung mengusir laki-laki tersebut.

Film merupakan cara kami mengedukasi. Malam itu sebenarnya ada 2 film yang kami putar. Raja Inal Sihotang yang memilih film yang akan diputar tersebut, ia mengunduhnya di internet. Satu lagi film yang kami putar adalah “Sokola Rimba”, film yang diangkat dari buku “Sokola Rimba” karya Butet Manurung itu “membius” anak-anak Papua malam itu. Mereka menonton realitas kehidupan dan perjuangan seorang anak perempuan (Butet Manurung) mengangkat Orang Rimba untuk keluar dari keterbelakangan pendidikan. Perjuangan Butet Manurung sungguh berat, ia dihadapan pada kondisi yang nyaris tidak ada celah memberikan pendidikan untuk suku di pedalaman Jambi itu. Pendidikan “ditolak” oleh Orang Rimba.

Tentu saja, lewat film ini kami berharap bisa “mendoktrin” anak-anak, setidaknya di Kampung Nuni malam itu. Menyampaikan pentingnya pendidikan, nilai-nilai nasionalisme juga kental dalam pesan film “Tanah Sorga….Katanya” yang juga diputar malam itu. Hari makin larut malam, pemutaran film selesai. Rekan-rekan kami yang perempuan sudah beristirahat, mereka kelelahan di dapur setelah menyiapkan kosumsi untuk kegiatan yang masih dilanjutkan esok hari di Kampung Saubeba. Ada beberapa rangkaian kegiatan lagi esok hari, yakni; Mendongeng, Go Green, dan Kebersihan Gigi dan Mulut.
Malam ini bulan purnama. Secangkir kopi dihidangkan Mewy Tangkulung untuk kami yang tengah berjaga di depan rumah dinas sekolah tersebut. Kopi tersebut terasa begitu nikmat menemani obrolan malam kami para lelaki, ada Raja Inal Sihotang, Rizki Marsel Nampe, Mulyadi, Berlin, dan saya sendiri. Kami bercerita tentang cerita masa lalu, sekarang, dan masa depan, semua dalam suasana keakraban sebagai “Guru Nusantara”, saya dari Padang, Rizki dari Manado, Raja Inal Sihotang dari Medan, Berlin dan Mulyadi dari Makassar.***

(Dikunjungi : 180 Kali)

.

Apa Reaksi Anda?

Terganggu Terganggu
0
Terganggu
Terhibur Terhibur
0
Terhibur
Terinspirasi Terinspirasi
0
Terinspirasi
Tidak Peduli Tidak Peduli
0
Tidak Peduli
Sangat Suka Sangat Suka
0
Sangat Suka

Komentar Anda

Share