Di Tanah Monondok, Kami Bersaudara


Selama 1 tahun saya mengabdi di pelosok Indonesia, banyak hal yang tak terduga yang bisa saya pelajari. Terutama mengenai adat istiadat, norma, budaya dan juga agama. Berbagai cerita yang menarik yang patut saya tuangkan menjadi tulisan yang bernilai pembelajaran bagi kita. Menjadi guru adalah profesi yang telah saya lakoni selama 2 tahun terakhir. Setelah lulus kuliah di jurusan Pendidikan Khusus di salah satu perguruan tinggi negeri di Jakarta.

Jiwa muda saya yang masih panas dan haus akan pengalaman, memberikan dorongan yang tinggi kepada saya untuk menjadi bagian dari program pemerintah melalui Sarjana Mendidik 3T (Tertinggal, Terluar dan Terdepan). Melalui beberapa tahap seleksi, alhamdulilah saya diberikan kesempatan untuk menjadi guru yang tersebar di pelosok negeri bersama 3.000 peserta seluruh Indonesia.

Bukan perkara mudah menjadi seorang guru dipelosok, ada beban tersendiri yang saya rasakan sebagai peserta SM-3T. Termasuk dalam mengenal wilayah tempat saya mengabdi. Bukan saja mengenai makan dan tinggal saja, tapi ada rasa beban dalam pundak ketika saya memantapkan diri jauh di kenyamanan yang 22 tahun saya rasakan. Sebenarnya ada satu pertanyaan yang selalu menghantui saya bahkan menjadi bahan renungan saya “Apa yang akan saya telah lakukan untuk mereka yang jauh di sana? apakah kehadiran saya akan memberikan perubahan bagi pendidikan mereka?

Tepat pada tanggal 1 September 2016 saya menginjakkan kaki di tanah Sulawesi. Untuk pertama kalinya saya bisa melihat lazuardi biru langit secara dekat dengan pesawat yang gagah. Melihat sisi lain Indonesia ketika merasakan 3 jam penerbangan melalui Bandara Soekarna-Hatta Jakarta-Makassar dan Makassar-Luwuk. Tentu perasaan berbeda itu tidak saya rasakan sendiri, ada 46 peserta lainnya yang menyertai saya untuk mengabdi bersama satu tahun di tanah Monondok (bagus). Saya bagaikan orang yang buta, tidak tahu arah, tidak tahu kondisi alam bahkan lokasi tempat mendidik nanti. Usaha saya dalam mengetahui tempat mengabdi hanya satu melalui mbah google saja, dengan mengetik keyword Kabupaten Banggai Kepulauan.

Dalam usaha saya mencari nama Kabupaten Banggai Kepulauan dalam internet pada waktu itu tidak banyak yang saya dapatkan, selain Ibu Kota Kabupaten yang bernama Salakan dan beberapa desa yang bagi saya terasa asing untuk diucapkan. Modal Bismillah dan niat tulus saya untuk mengabdi dalam mengarungi perjalanan di Kabupaten Banggai Kepulauan yang kini saya ketahui biasa disingkat dengan BangKep.

Saya harus melalui beberapa perjalanan yang tidak akan terlupakan untuk saya ceritakan pada anak, cucu dan cicit. Rombongan guru SM-3T dijemput di Bandara Kota Luwuk dengan taksi berplat hitam seperti mobil pribadi. Saya dulu mengira Kota Luwuk adalah BangKep, ternyata saya salah besar. Kota Luwuk adalah Ibu kota dari Kabupaten Banggai, dulu saya sedikit bingung antara Banggai, BangKep dan Banggai Laut. Tiga kabupaten dengan nama yang sama, dan akhirnya saya mengetahui bahwa tiga kabupaten tersebut dulu adalah satu kabupaten yang dinamakan Banggai sebelum adanya pemakaran wilayah.

Tidak lebih dari 14 jam saya merasakan udara Kota Luwuk, Kabupaten Banggai. Di sela-sela waktu tersebut, rasa penasaran saya untuk mencari informasi pada masyarakat yang diwakili sopir taksi mengenai Kabupaten BangKep sedikit memberi kelegaan tersendiri. Dengan penjelasan singkat sang sopir, dia menujukkan pada saya bahwa Kabupaten BangKep berada di seberang Kota Luwuk, melalui jendela kaca mobil saya mempertajam penglihatan saya ke arah seberang Kota Luwuk, saat itu yang saya lihat hanya titi-titik cahaya yang sedikit.

Jembatan tempat bersandarnya kapal terbuat dari kayu yang celah-celahnya besar mengangga dua kepalan tangan memperlihatkan air laut yang riak bersuara kecil. Kapal itu memuat kami 47 guru SM-3T dan ratusan penumpang lainnya. Riuhnya suara penumpang dan pedangang asongan untuk mencari rezkinya menambah ketidakmampuan mata untuk terpejam. Bahkan lelahnya seperti terbayar dengan pemandangan malam dan angin laut yang mengibaskan jilbab saya dengan lembut.

Udara dingin Kota Salakan menusuk hingga ketulang, mata yang masih berat dipaksa untuk segara sadar terutama untuk berhati-hati turun dari Kapal Fungka. Buruh angkut barang dengan semangat menawarkan jasanya, hanya menggeleng yang bisa saya berikan pada mereka. Setelah turun dari Kapal, saya bisa leluasa untuk melihat besarnya kapal yang telah membawa ratusan penumpang dengan selamat. Bendera Merah Putih yang melambai-lambai memberi isyarat “Selamat Berjuang pada 47 guru SM-3T”. Setelah masing-masing kami bertanggung jawab atas barangnya, kami pun diarahkan menuju penginapan terdekat. Suara gesekan roda koper dengan jalanan aspal menimbulkan kebisingan malam pukul 01.30 WITA.

Perjalanan di atas hanya mengisahkan cerita malam panjang yang mengesankan dan tak akan terlupakan. Wajah ketegangan guru SM-3T tergurat harus berpisah menjalankan tugas yang seharusnya. Mendidik siswa dan membantu masyarakat untuk memahami betapa luasnya kehidupan di luar pulau mereka.

Bersambung….

(Dikunjungi : 95 Kali)

.

Apa Reaksi Anda?

Terganggu Terganggu
0
Terganggu
Terhibur Terhibur
0
Terhibur
Terinspirasi Terinspirasi
0
Terinspirasi
Tidak Peduli Tidak Peduli
0
Tidak Peduli
Sangat Suka Sangat Suka
3
Sangat Suka

Komentar Anda

Share