Kali kedua kupijakkan kaki di tanah Borneo, namun bukan lagi bumi Batiwakkal (Kabupaten Berau) di Bumi Mulawarman Kalimantan Timur yang menjadi destinasinya, melainkan Bumi Tambun Bungai (bahasa Sangen yang berarti pantang mundur) Kalimantan tengah, tepatnya di Kota Cantik Palangkaraya. Kalau kedatanganku sebelumnya untuk menjalankan amanah mencerdaskan anak bangsa di daerah tertinggal, maka kedatangan kali ini hanya dengan niat yang sama namun realitas berbeda. Hal itu bukan berarti bahwa saya adalah pribadi yang mudah teralih fokusnya.
Tiga tahun silam kala pertama kali kuucapkan salam perjumpaan pada Borneo, saat mendaratkan kaki pertama kali di pulau Kalimantan, semangat pengabdian begitu kokoh dan kental melekat padaku, menyanggupi menggudangkan rindu hingga batasan waktu memantaskannya meluap dan tumpah ruah kembali. Kurestui jarak dan waktu merintangi komunikasi dengan orang-orang terkasih demi mereka, putra-putri pertiwi yang terabai karena lebatnya selubung dekap belantara menghijau. Cukup karena satu alasan, bukan karena hubungan darah, emosional, maupun kesamaan suku bangsa, melainkan karena kita semua adalah putra dan putri Indonesia yang berhak menikmati pemerataan pendidikan dan tugas itu diamanahkan di pundakku kala itu.
Kini kisah itu telah tersimpan rapi dalam pita kenangan setahunku di pedalaman yang tiada pernah usai untuk dikenang. Kini inginku melanjutkan kisah yang pernah namun dengan jalan berbeda. Puji dan syukurku kepada Tuhan karena ditahun ini terbuka lebar peluang bagiku untuk kembali merangkul masa depan bangsa jauh lebih dekat seperti pesan salah satu tokoh yang kuidolakan yaitu Bapak Anis Baswedan pada pidato dalam rangka memperingati Hari Pendidikan Nasional 2015 kala beliau masih menjabat menteri pendidikan. Namun peluang emas itu nampaknya kusia-siakan karena kelalaianku dalam memantaskan persiapanku memenuhi persyaratan dari sayembara cinta yang ibu pertiwi layangkan. Dalam hal ini mungkin aku pantas menyesalinya atau aku memang benar-benar menyesali, mengintrospeksi diri, bangkit kembali, dan memastikan diri pantas membalas cinta pada rahim nusantara.
Jika 3 tahun silam cintaku pada pertiwi bersambut dan berbuah manis hingga beroleh kepuasan batin karena mampu memberi arti bagi muda mudi dekade mendatang, serta disempatkan menikmati segala keindahan panorama yang disajikan pencipta di tubuh Bumi Batiwakkal, kini niatku melamar kembali amanah tersebut harus beroleh sesal pada diri sendiri karena kepantasan tidak melekat sebagai atributku dalam meminangnya, dan eloknya paras Bumi Tambun Bungai serta Kota Cantik hanya hadir sebagai penghibur sesal cinta tak bersambut.
Menyaksikan keindahan demi keindahan yang tersaji tidak menjadikan sesalku kian sirna, tetapi justru mentransformasikannya menjadi hasrat yang membuncah untuk memenuhi segala syarat yang disodorkan demi menggugah cinta agar bersambut di tanah Borneo.
“Ketika seseorang telah meneguk air dari tubuh Borneo, sejauh apapun ia pergi maka hatinya akan selalu merindukan Borneo, seperti halnya dalam kehidupan, manusia tidak mungkin bisa bebas dari candu meneguk air”. Memang itu merupakan mitos yang sempat diperdengarkan padaku beberapa tahun lalu. Namun kini rasanya itu bukan sekedar mitos yang diyakini masyarakat Dayak pada umumnya, melainkan mitos yang boleh jadi kini kujiwai, dan Borneo benar-benar menjadi jawaban bagiku tentang tanya yang sekian lama bercokol di kepalaku “dimana alamat rindu?”. Kini tanya itu dengan mantap akan kujawab bahwa Borneo adalah tanah yang kurindukan dulu, kini, dan nanti.
Dan selebihnya semoga Tuhan menyanggupkanku melampaui keterbatasan hingga aku lantas pantas beroleh cinta dan berbagi cinta dengan masa depan bangsa di tanah Borneo.
Palangkaraya, 19 November 2018