Beberapa pekan terakhir nusantara disesaki dengan berbagai macam narasi-narasi politik. Perbincangan mengenai agenda pesta domokrasi yang dilaksanakan 5 tahun sekali menjadi Trending Topic di mana-mana tanpa batasan profesi dan usia, mulai dari kalangan elit politik yang memang sehari-hari berkutat dengan persoalan tersebut, sampai ibu penjual kue keliling langganan yang setiap pagi datang menjajakkan jajanannya di tempat kami bermukim. Tidak jarang dari mereka yang kujumpai mempertanyakan pilihan satu jari atau dua jari, namun jawabku biarlah proses sistematis yang berjalan yang menentukan. Yang terpenting NKRI tetap harga mati.
Berita tentang pesta demokrasi untuk menentukan pemimpin dalam rentang 5 tahun kedepan menyesaki ruang-ruang keluarga, pos-pos ronda, bahkan sampai pasar-pasar tradisional seakan terlalu nyaring hingga membiaskan rintih perih pertiwi di ujung negeri. Betapa tidak media informasi yang kita tatap setiap harinya memiliki kecenderungan hanya mengekspos berita-berita mengenai pesta demokrasi dan hanya menyisakan sedikit durasi tayang untuk menyebarluaskan informasi mengenai pendidikan tanah air. Jangankan mengenai realitas pendidikan di pelosok negeri, berita mengenai upaya pemerataan pendidikan dan segala fasilitas penyokong kemajuan pendidikan pun luput dari fokus berita yang disiarkan.
Kecenderungan untuk menentukan pilihan memang sebuah fitrah yang Tuhan titipkan pada setiap bayi yang baru saja paham bagaimana cara menangis. Mulai dari menentukan bayi tersebut akan lebih akrab pada sosok seorang ayah atau kecenderungan lebih kepada sosok malaikat yang Tuhan kirimkan ke dunia yang kita kenal sebagai ibu. Tidak dipungkiri bahwa perkara tersebut merupakan cikal bakal kecenderungan untuk menetapkan pilihan dan mula terciptanya arogansi untuk mempertahankan sebuah pilihan.
***
Tahun 2015 silam sempat kutundukkan kepala bukti kagum dan penghargaanku kepada saudara-saudara alumni PPG SM-3T yang memilih untuk meninggalkan segala gemerlap warna-warni perkotaan menuju kepelosok negeri sebagai Guru Garis Depan (GGD). Lebih kurang 700 orang yang menjalani pilihan karena nurani kemanusiaannya memastikan putra-putri bangsa di penjuru Indonesia tercukupi kebutuhan pendidikannya. Mereka hidup di lingkungan serba terbatas baik dari segi akses transportasi, maupun sarana komunikasi. Bahkan tak jarang dari mereka yang harus mengikhlaskan diri bertaruh nyawa melintasi lautan dengan kapal kayu berukuran kecil demi menyalurkan dedikasi terbaik yang mampu mereka berikan atas nama cinta pada negeri.
Bukan hanya GGD tahap 1, pada penerimaan GGD tahap ke-2 jumlah mereka lebih masif lagi dan sedikitpun semangat maju bersama mencerdaskan indonesia tidak pernah luntur dari sanubari mereka. Bagiku mereka adalah pahlawan yang sesungguhnya dalam upaya mewujudkan cita-cita bangsa menciptakan generasi emas indonesia. Aku pun sangat ingin seperti mereka.
Dalam Lembaga Swadaya Masyarakat yang merupakan rintisan dari para alumni SM-3T sebagai upaya aktualisasi diri dalam memberikan sebaik-baik pengabdian dan menebar maslahat terutama dalam partisipasi kemanusiaan dan kepedulian terhadap pendidikan daerah tertinggal. Saya sempat diberikan beberapa kali kesempatan untuk mengikuti kegiatan bermaslahat Mengedukasi Anak Negeri (MeAN) di beberapa daerah dan tentunya saya sama sekali tidak ingin menyia-nyiakan peluang merasakan atmosfer semangat dedikasi orang-orang yang kujadikan panutan.
***
MeAN Kabupaten Jeneponto Provinsi Sulawesi Selatan merupakan kesempatan pertama saya diterjunkan langsung ke lokasi sebagai salah satu anggota tim dokumenter untuk mengabadikan serangkaian aktivitas para alumni SM-3T selama beberapa hari di daerah pedalaman yang cukup menantang. Di lokasi tersebut kusaksikan dan kuabadikan segala bentuk kegiatan yang terlaksana, mulai dari kegiatan literasi bagi peserta didik, pelatihan kecakapan hidup, permainan edukasi, bahkan pelatihan keterampilan bagi ibu-ibu di kampung tersebut yang sekiranya dapat mereka manfaatkan untuk beroleh tambahan pundi-pundi penghasilan untuk menjamin keberlangsungan kepulan asap di dapur-dapur mereka.
Satu hal yang kuketahui bahwa frekuesnsi kebermaslahatan bukan hanya terpancar dari GGD Kabupaten Jeneponto, di berbagai daerah di negara tercinta ini juga meluap frekuensi sefasa yang menimbulkan interferensi konstruktif untuk saling menjaga semangat juang para alumni SM-3T. Tujuannya tiada lain selain membuktikan cinta pada pertiwi melalui pengabdian.
***
Lokasi yang ditempuh menggunakan moda transportasi laut dari Manado Sulawesi Utara dengan durasi perjalanan lebih kurang 18 jam untuk sampai di Pelabuhan Beo, kemudian dilanjutkan dengan moda transportasi darat sekitar 4 jam untuk sampai ke lokasi pelaksanaan kegiatan MeAN ke-2 yang kuikuti, tepatnya di SD Inpres Gemeh Kecamatan Gemeh Kabupaten Kepulauan Talaud Sulawesi Utara pada September 2018 silam.
Tidak banyak yang dapat kuceritakan tentang kegiatan di lokasi pertama dari tiga lokasi yang disasar dalam rangkaian MeAN di Kepulauan Talaud. Semua itu bukan karena perbendaharaan kataku yang tak cukup untuk membahasakannya, melainkan karena aku ditugaskan belakangan sebagai tenaga tambahan untuk membantu tim dokumenter yang terlebih dulu diterjunkan. Namun dari pengalaman di dua lokasi selanjutnya memberikanku penjelasan tambahan melalui kinerja nyata para senior dan panutanku tentang semangat pengabdian, totalitas sebagai tenaga pendidik, dan keikhlasan dalam melakoni inktiar baik.
Bagiku idealnya seorang tenaga pendidik semestinya memang penunjukkan dedikasi maksimal yang mereka mampu seperti yang kusaksikan dalam rentang waktu yang cukup singkat itu. Bukan hanya aku yang beranggapan demikian, beberapa warga masyarakat bahkan pemerentah kampung setempatpun memberikan apresiasi dan pengakuan mengenai kebermanfaatan kegiatan yang terlaksana di daerah mereka. Terlebih mereka menyaksikan secara langsung bagaimana satuan tugas MeAN bekerja sejak terbit fajar hingga fajar berikurnya tiba.
***
Pedalaman Sulawesi Selatan, ujung utara Pulau Sulawesi dan baru saja di bulan Maret lalu aku dimampukan menjadi saksi bukti bakti alumni SM-3T di Kabupaten Sorong Selatan Papua Barat. Untuk ke-3 kalinya perkenan Tuhan membersamaiku turut dalam Lalu lintas hilir mudik perjalanan melintasi tapak pijak dedikasi memanusiakan manusia dengan jalan yang manusiawi. Bersama dengan para pejuang pendidikan yang kuceritakan di awal, dalam perahu yang sama merasakan adrenalin yang memuncak ketika badan kapal tanpa henti ditampar-tampar gelombang laut yang terkenal sebagai gelombang ganas tak kenal musim, bahkan menjadi momok bagi masyarakat setempat karena telah banyak jiwa yang terbenam karenanya. Meski demikian, itu adalah satu-satunya jalur akses yang selalu mereka tempuh untuk menunaikan pengabdian, namun sekali lagi mereka menunjukkan kapasitasnya yang tak pernah gentar dengan rintangan tersebut.
Jika kaum milenial di zaman ini banyak menggunakan kalimat “untukmu sayang matipun aku rela” untuk meraih simpati dari seseorang yang mereka anggap sebagai kekasih, tidak demikian dengan mereka yang berulang kali kusebut pahlawan. Dari kesungguhan dan semangat mereka pada jalan yang mereka pilih, kutafsirkan bahwa dalam hati kecil mereka tersurat “Padamu negeri kami berjanji, Padamu negeri kami berbakti, Padamu negeri kami mengabdi, Bagimu negeri jiwa raga kami”. Bahkan bagiku dan kuyakini mereka pun demikian, carut marutnya perpolitikan tanah air beberapa pekan belakangan ini, tentang siapa yang beroleh amanah dari rakyat untuk menahkodai negara ini bukanlah hal yang menjadi permasalahan. Yang terpenting adalah bagaimana kami tetap meluangkan ikhtiar dalam mengedukasi anak negeri.
Pilihan hidup yang mereka lakoni bukanlah tentang menang dan kalah atau penerimaan dan penolakan, melainkan pendidikan mental yang semakin mendewasakan dalam menyikapi ketetapan yang berlaku, karena segala kenyataan hanya akan berlaku atas izin dan kehendak yg maha bijaksana dalam mengatur tatanan semesta dengan segala kompleksitasnya.
***
Puji dan rasa syukurku kepada Tuhan, berkat hobi mengotak-atik video yang kutekuni sejak tahun 2008 silam dapat menjadi salah satu kecakapan yang mengantarkanku pada kesempatan merasakan pilihan hidup orang-orang pilihan. Segenap kisah dan pengalaman mereka menjalani lika-liku, pasang-surut, suka dan duka perjalanan dedikasi mereka kujadikan sebagai motivasi untuk senantiasa menjalani kehidupan dengan berlomba mengerahkan kemampuan terbaik dalam menggugah tuhan menyiapkan tempat terbaik di sisi-Nya.
Jika Tuhan hanya memberiku kesempatan berdoa yang makbul untuk dunia di sisi-Nya hanya satu kalimat, maka tidak akan kuminta dunia dan seisinya, aku hanya akan meminta Tuhan merestui semesta senantiasa berkonspirasi mendukung setiap ikhtiar baik yang kulakukan demi menebar sebaik-baik kebaikan yang mampi kubagi. Namun satu hal yang kuyakini bahwa Tuhan tidak pernah membatasi mahluknya dalam meminta, sehingga kalimat pintaku padanya akan senantiasa berulang-ulang dalam keagungan dan kemurahan-Nya, bahkan sampai di penghujung takdir-Nya atas kenyataanku di dunia ini, selebihnya kuserahkan pada ketetapan-Nya.