Waktu beredar terus. Hari dijumlah menjadi minggu. Minggu dikumpulkan menjadi bulan. Bulan bertambah-tambah menjadi tahun. Jika ditilik kehadian ibu guru Ratna di SD Niniki belumlah mencapai satu tahun. Tiga bulan benar agaknya ibu guru Ratna hadir dan membuat warna baru di Kampung Niniki. Tiga bulan itu juga ia memilki banyak cerita dan pengalaman dalam catatannya sebagai seorang guru juga anggota masyarakat.
Sebagai guru, ibu Ratna juga tidak lepas perannya sebagai anggota masyarakat di Kampung Niniki; Distrik Piramid. Ia ingat betul pesan dan petuah orang tuanya bahwa hidup di rantau mesti pandai menempatkan dan mematutkan diri.
“dimana bumi dipijak; disitu langit dijunjung”
“masuk kandang kambing mengembek; masuk kandang harimau mengaum”
“bicara hendaknya merendah-rendah”
Pesan dan petuah tersebut selalu diingat baik ibu Ratna dan barang pasti hal itu juga yang membuat ibu Ratna tampak disenangi; disayangi oleh warga kampung. Tidak hanya diingat, namun pesan dan petuah tampak dilaksanakan baik bagi ibu Ratna dalam berkehidupan bersama warga. Jika ada perayaan adat maupun agama, ibu Ratna tidak sungkan untuk membantu. Misalnya membaur bersama mama-mama di bagian dapur menyiapkan bumbu untuk memasak. Menari bersama-sama warga. Mencuci pakaian di Kali bersama mama-mama. Justru saat di kali menjadi tempat favorit ibu Ratna untuk mencairkan suasana kekeluargaan. Tidak ada kesan asing bagi ibu Ratna bila sudah turun bersama warga.
Tuhan memberikan keseimbangan pada seluruh ciptaanya. Termasuk penciptaan manusia. Manusia diberikan rasa berani juga diberikan rasa takut. Ibu Ratna sadar akan keterbatasannya. Waktu menunjukan pukul 22:00 WIT. Malam itu ketakutan menyelimuti jiwa ibu Ratna. Di luar rumah nyaring suara letusan terdengar. Letupan-letupan senapan terus mengirama tak beraturan. Saling berbalas.
“DAAARRR; DEEERRR; DOOORRR”
“DAAARRR; DEEERRR; DOOORRR”
“DAAARRR; DEEERRR; DOOORRR”
Mendengar suara tersebut ibu Ratna lantas tiarap ke bawah menyatu dengan lantai rumah seraya kemudian melafazkan do’a keselamatan kepada Tuhan agar diberikan pertolongan keselamatan.
“DAAARRR; DEEERRR; DOOORRR”
“DAAARRR; DEEERRR; DOOORRR”
“DAAARRR; DEEERRR; DOOORRR”
Suara tembakan masih belum juga berhenti. Kejadian ini tentulah pertama kalinya dirasakan Ibu Ratna. Ibu Ratna masih dalam keadaan tiarap. Dalam keadaan khawatir ibu Ratna sejurus kemudian ingat pesan orang tuanya dahulu bahwa daerah Papua yang dipilihnya sebagai tempat pengabdian rawan akan konflik bersenjata. Barulah ia sadar akan pesan orang tuanya dahulu dan kini ia tepat sedang berada di tengah konflik senjata yang berlangsung.
Lama posisi ibu Ratna tiarap kemudian tak terdengar lagi suara letusan senjata. “Apakah konflik sudah usai?” pikir ibu Ratna. Sebentar kemudian dari arah luar terdengar suara memanggil. “Ibu guru…Ibu guru ko ada di dalam kah?” teriak seseorang dari luar.
Ibu Ratna mendengar suara tersebut. “Ko kah itu Isak Wenda?” tanya Ibu Ratna.
“Iyo ibu guru. Ini Sa. Keluar sudah. Sa dan Bapa ada mo jemput kau,” balas Isak Wenda.
“Betul ibu guru. Sa dan Isak mau jemput ko kasih aman ke kami pu honai. Malam ini kacau sekali ibu guru,” tambah Isak pu Bapak meyakinkan.
“Sebentar Bapak Martinus Wenda. Sa segera keluar,” jawab Ibu Ratna.
Tergesa-gesa ibu Ratna segera keluar rumah dan menuju rumah keluarga Bapak Martinus Wenda. Ibu Ratna hanya membawa selimut untuk menahan dingin. Tak ada kepikiran ibu Ratna untuk membawa benda-benda penting lainnya sebab situasi yang begitu panik dan mencekam.
Dalam honai keluarga Bapak Martinus Wenda tampak ada banyak masyarakat berkumpul. Ibu Ratna mencoba mengamati di sekelilingnya. Kelihatan di sana ada beberapa siswa ibu Ratna juga. Thomas Meaga, Asmina Kogoya, Isak Wenda, Charles Lengka, dan Pilemon Wetipo. Warga yang berada di dalam honai senyum-senyum melihat ibu Ratna. Masih dalam keadaan panik ibu Ratna diberitahukan oleh Bapak Martinus Wenda bahwa keadaan di dalam honai lebih aman bersama warga. Warga segenap hati melindungi ibu Ratna. Peran Bapak Martinus Wenda sebagai kepala suku di kampung Niniki berperan besar untuk melindungi warganya dari kekacauan yang terjadi pada malam itu.
“Ibu guru,” kata Bapak Martinus Wenda sambil menghisap rokok dan mengunyah-ngunyah pinang di bibirnya “di sini suara tembak seperti itu su biasa di sini. Ibu guru tenang saja,” sambung olehnya mengingatkan ibu Ratna untuk akrab dengan suara tembakan seperti yang barusan terjadi.
Terang saja mendengar penjelasan Bapak Martinus Wenda tadi Ibu Ratna sadar akan pilihannya memilih tanah Papua sebagai daerah pengabdiannya. Secara bijak ia mencoba kuat seraya mengakrabi konflik yang bila saja mungkin akan terjadi lagi. Lantas ia kembali mengingat petuah dari orang tuanya.
“Sekali masuk gelanggang; pantang berbalik pulang”
“Sekali layar terkembang; pantang berbalik ke belakang”
sumber gambar: http://journalkinchan.blogspot.co.id