Cerita Lainnya dari Tanah Paranean, Landak


Perkenalkan kami dari SMP Negeri 8 Ngabang, salah satu sekolah yang berada di pedalaman Kabupaten Landak Provinsi Kalimantan Barat. Aku sebagai guru SM-3T dan mereka sebagai siswa-siswaku. Ketika di luar sekolah aku memposisikan diri sebagai teman untuk mereka. ”Hei teman, apa kabarmu sekarang?” pasti sudah ke sekolah ke tingkat yang lebih tinggi, ataupun paling tidak kalian telah bertanggung jawab terhadap hidup yang kalian jalani saat ini.

Dari pertemananku dengan beberapa akun facebook mereka, kudapati mereka dengan seragam SMAnya dan itu membuatku senang.

Kembali ke kenyataan waktu itu adalah hal yang menyenangkan bisa belajar hal baru dan hidup di budaya baru bersama orang yang baru dikenal. Tanah Paranean mengambil tempat istimewa di hidup ini. Di sana di samping mengajar di sekolah, aku juga hidup di budaya dan lingkungan baru. Mereka menceritakan dan membuat hidup di sana dalam kenyataan.

Masyarakat di sana masih bergantung pada alamnya yang begitu luas. Ini aku lihat dari mereka bercocok tanam, berburu, dan aku mengambil posisiku sebagai guru yang bertangung jawab terhadap kelansungan pendidikan di daerah itu.

Menjadi guru, anak-anak muda yang terpanggil, tertantang kembali ke pelosok, kami juga tidak akan berkoar-koar di media sosial, tapi takut hilangnya jaringan handphone, kemudian berdiri di garda paling belakang ketika menjadi bagian menjadi Indonesia itu terpanggil.

Aku bagian dari 41 Laskar Muda Aceh yang mengambil tempat di pelosok negeri tanah mereka, mengambil tanggung jawab sebagai guru muda di daerah pedalaman tentu saja bukan hal yang mudah, mengingat tantangan akan dihadapi, namun kami siap memposisikan terpanggil, bertanggung jawab terhadap Indonesia ini yang butuh pemerataan. Berikan, berikanlah yang kita punya, tentu akan menjadi hal berguna jika kita memposisikan diri 10 atau 20 tahun yang akan datang.

Esensi pemerataan sendiri jauh dari yang kita bayangkan, pedalaman benar bahwa Indonesia ini ada sebagian daerah yang belum terjangkau, seperti berada di negeri lainnya. Salahkan pemerintah? Tentu sudah menjadi cerita klasik, kalau ada yang patut kita salahkan lansung larinya ke pemerintah. Namun jika kita berdiri dari perspektif lainnya, bukankah mengatur hidup orang banyak itu sangat kompleks permasalahannya. Hingga masih ada negeri yang belum terjangkau. Begitu juga dengan tanah Paranean. Pelosok nun jauh di dataran Kalimantan Barat, menyimpan cerita itu.

Tanah Paranean atau tanah Suku Dayak, umumnya mayarakat di sana masih asli garis keturunannya dari Suku Dayak, di samping itu ada juga Suku Melayu, hidup berdampingan. Layaknya kakak beradik. Suku Dayak mengambil tempat di pedalaman, sedangkan Suku Melayu mengambil tempat yang berdekatan dengan air (sungai). Ada juga pendatang, mereka dari tanah jawa untuk mengadu nasib di tanah paranean. Hingga menjadi penduduk setempat.

Tersebutlah Kabupaten Landak, pemekaran Kabupaten Mempawah, jangan salah Kabupaten Landak ini namanya tidak berhubungan dengan nama bintang Landak. Tapi lebih ke para penulis di zaman belanda menulis bentuk “Dyak” dan “Land” sebagai “tanah” dalam makna “Tanah Dayak”. Kemudian disesuaikan menjadi Landak yang beribukota Ngabang.

Dari segi bahasa, Kabupaten Landak umumnya menggunakan bahasa daerah Dayak Kanayant, namun jangan salah lagi. Jika berpikir cuma itu bahasa daerahnya. Kudengar di pelosok negeri tanah Dayak memiliki sekitar 300 bahasa daerah, ini aku dengar dari tetua tempat pengabdianku di pelosok sana. Aku sendiri sering mendengar mereka menggunakan bahasa Dayak Benyadu, Bengahe, dan Bahanana. Satu desa, menggunakan 3 bahasa daerah, amazing bukan. Bahkan sesama orang Dayak pun tidak mengerti bahasa daerah di pelosok lainnya di landak tersebut, ini juga ku dengar dari tetua tempat pengabdianku.

Cerita ke cerita, bahwa semenjak Kabupaten Landak pisah dari Kabupaten Mempawah, Kabupaten Landak mengalami kemajuan pesat, dulu kata tetua kampung pengabdianku lagi, mereka sulit untuk memasarkan hasil panen mereka di kebun untuk di bawa ke kota, sekarang syukurlah sudah ada jalan aspal, iya aspal kuning. Mereka berjalan dari hutan ke hutan selama 3 atau 4 hari menuju ke kota. Namun sekarang dengan jalan aspal kuning mereka bisa dalam waktu dua jam ke kota.

“Kurang baik apa pemerintah. Hahaha” pikirku kala itu. Kenapa juga selalu disalahkan oleh sebagian orang lainnya.

Dari tetua kampung pengadianku, banyak cerita-cerita menarik yang kudapatkan. Dia adalah penduduk asli tanah dayak, mau berpikir maju. Bahkan sebagai pemerhati pendidikan di daerah itu.

Setahun di sana, menginspirasi, mengubah cara pandangku tentang pendidikan di pelosok negeri, ini adalah tanggung jawab kita bersama, bukan cuma pemerintah, kita pun terus melakukan apa yang bisa kita lakukan. Demi pemerataan pendidikan, bahasa rendahnya. Kalau bahasa pemerintah itu demi tercapainya generasi emas Indonesia.

Adil Ka’ Talino, Bacuramin Ka’saruga, Basengat Ka’ Jubata.
(Adil dan jujur terhadap sesama manusia, mengedepankan perbuatan baik seperti di surga, berdasarkan Ketuhanan Yang Masa Esa)

(Dikunjungi : 270 Kali)

.

Apa Reaksi Anda?

Terganggu Terganggu
0
Terganggu
Terhibur Terhibur
0
Terhibur
Terinspirasi Terinspirasi
3
Terinspirasi
Tidak Peduli Tidak Peduli
0
Tidak Peduli
Sangat Suka Sangat Suka
4
Sangat Suka

Komentar Anda

Share