… Di tanah ini masyarakat Tau Lumbis lahir dan dibesarkan. Dari tanah ini pula masyarakat bisa bertahan hidup dan kelak ketika harus meninggal dunia pun tanah ini pula yang membumikan jasad mereka. (Perbatasan: Sebuah Kata yang Menyakitkan, Nurul Arham).
Jika ada sebuah survei yang mengungkap ‘apakah menjadi pengajar SM-3T adalah salah satu fase terbaik mempelajari kehidupan?’ saya yakin dari ribuan responden yang pernah berangkat menjadi guru SM-3T akan menyatakan ‘Ya’—termasuk Anda, bukan?
Kalimat pembuka dari tulisan ini adalah cuplikan dari sebuah catatan inspiratif yang melibatkan pengalaman indra seorang guru SM-3T yang ditempatkan di Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara. Sebuah catatan yang diperoleh secara langsung oleh hati, nurani, dan kepekaan diri sebagai manusia yang telah terbiasa hidup di tengah ingar-bingar keramaian, kemudian secara empiris nyemplung di kumpulan orang-orang perbatasan yang setia pada negerinya.
Bagaimana dengan rekan-rekan yang ditempatkan di ujung Aceh, Sumatera, Kalimantan, Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku, atau Papua? Bagaimana dengan rekan-rekan yang ditempatkan di pedalaman hutan, di seberang pulau kecil, di pelataran pantai dengan debur ombak yang menantang, di padang tandus tanpa air, di pelosok negeri yang entah—bahkan kita tak pernah menemukan di dalam mimpi kita sebelumnya. Sekian ratus hari di penempatan adalah sekolah kehidupan sesungguhnya bagi kita.
Lantas, setelah masa tugas kita usai, kita ‘dipaksa’—meskipun tak sedikit pula yang berbahagia, untuk pulang ke rumah masing-masing dengan membawa sejuta kisah dan rasa. Kita menangisi perpisahan, anak-anak menangisi kepergian, begitu pula orang-orang yang berinteraksi layaknya saudara di perantauan. Kemudian apakah kehidupan mereka secara tiba-tiba menjadi lebih baik? Tidak, jika kita pulang hanya sekadar pulang tanpa mengabadi.
PPG SM-3T Universitas Negeri Malang mencoba mengabadi. Misi coba-cobanya adalah agar kenangan tidak mati, sementara yang utama adalah menginspirasi—mengetuk nurani. Kita telah memulai untuk berproses merampungkan satu buah buku selama berbulan-bulan, dan Januari 2019 kita berpuas diri dengan buku berjudul JuangKrik Indonesia. Buku ini adalah cara baru mencicipi tepi Indonesia, yang merupakan kumpulan cerpen, puisi, future, dan esai Guru SM-3T selama masa juangnya di penempatan saat masa tugas.
Mochammad Nasrullah, salah satu kontributor buku ini sekaligus pemenang ke-3 Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2018 membuka buku ini dengan kalimat yang satir. Indonesia dengan kekayaan alam dan keragaman budaya, semua sudah tahu itu. Bagaimana dengan kehidupan dari sisi lain masyarakat yang tidak terjamah oleh peradaban modern? Di tanah tempatnya bertugas, Boalemo (Gorontalo), ia menemukan orang-orang terpinggirkan, orang-orang yang berjuang. Mengapa harus berjuang? Kita pun nampaknya sepakat, Karena rela itu kurang (Krik).
Sebanyak 25 orang berkontribusi membagi rasanya. Tentu saja masing-masing memiliki gaya penyampaian yang berbeda. Para penulis ini kaya pengalaman. Hal ini pula yang membuat buku JuangKrik Indonesia menjadi kaya. 10 cerpen mengawali petualangan pembaca, diikuti 18 puisi, 10 kisah inspiratif, dan 4 esai.
Buku JuangKrik Indonesia bukan sebagai wujud narsisme penulis semata, bahkan sebisa mungkin kita menghindarinya. Kita juga tidak melulu berbicara tentang pendidikan saja, pembaca akan mudah bosan. Buku ini bertugas untuk menguraikan kehidupan masyarakat 3T yang terbatas, namun ada gairah kehidupan untuk hidup di dalamnya. Entah gairah sosial, ekonomi, budaya, religi, mistik, atau rasa subjektif lakon utamanya, para guru SM-3T.
Kita menemukan keteladanan dari balik pagar dan tembok sekolah misalnya melalui judul-judul Berlarilah Zina, Pak Guru: untuk digugu dan ditiru, Sepenggal Kata-kata untuk Puisi, Habu, Harga Sebuah Rindu, dan Pulang yang terangkum dalam kumpulan cerpen (cerpen). Bisa juga mencicipi kerinduan di dalam puisi Dekap Malam di Dermaga, Aku Setitik Hujan, Senja di Pagi Buta, Merindu Dogiyai: Aku bisa apa? Termasuk kisah-kisah berwarna kearifan lokal seperti Gadis Kuasi, Kepiting Mata Merah, Tamu Utama sebuah Ritual. Masih ada judul-judul lain yang kesemuanya hasil olah rasa dan imajinasi.
“Sebab Indonesia tidak melulu itu-itu saja
Tidak hanya yang begitu-begitu saja
Ada ribuan jendela
Ada sisi lain yang jarang terjamah
Untuk mereka
Buku ini ada”
Sebanyak 290 halaman akan menemani petualangan seru pembaca jika pembaca tertarik mencicipi rasa tepi Indonesia. Tim penulis menggandeng penerbit Aglitera (Phoenix Publisher) untuk bisa menyajikan tampilan buku ini menjadi lebih menarik. Pada Januari 2019, cetakan pertama telah berhasil ludes terjual. Berbagai apresiasi muncul, salah satunya dalam wujud permintaan untuk dan pemesanan. Saat ini tim penulis tengah mengusahakan pemenuhan hasrat pembaca untuk melakukan cetakan berikutnya. Semoga Allah SWT membantu jalan kebaikan, berjuang lewat pena. Aamiin Yaa Robbal Alamin.
Ditulis oleh: Triwibowo Probo Sukarno, S.Pd., Gr.
SM-3T Kabupaten Boalemo, Provinsi Gorontalo
PPG Bimbingan dan Konseling
Universitas Negeri Malang