Setiap kawasan yang menjadi persinggahan, memiliki beragam gradasi. Pun segala rasa yang dicicipi, berbeda-beda. Untuk menemukan sebuah kenyamanan dalam setiap kawasan tersebut juga tak sama. Peng-adaptasi-an hanyalah salah satu langkah awal dari sedemikian tahap yang dapat dilakukan guna mengenali berbagai sisi di tempat yang akan menjadi ‘sarang’ dalam jangka yang cukup panjang. Dan tentang waktu, pasti tak sama, sebab setiap rupa yang menyinggahi sangat jelas berbeda.
Menjadi seorang ‘petani’ adalah sebuah ketetapan yang baru beberapa waktu disahkan. Selarik pengalaman telah dijalani masih terus meminta untuk berbenah diri. Diri ini adalah kecambah yang terus mengikuti proses demi proses untuk lebih dewasa. Cerita di awal kedatangan yang hanya bertema tentang latar dan keadaan diri, perlahan bertukar. Dalam medio waktu, seiring kesibukan jarum jam mengelilingi angka-angka bisu dan setia, saat itu tema berganti. Perlahan, tidak lagi sekadar bercerita tentang diri, tentang latar dengan segala kekurangan dan kelemahan yang dimiliki, lupa dengan keadaan itu. Setiap momen terangkum menjadi cerita dan menghadirkan cinta.
Saling mengenal nama dan rupa, bertegur sapa, hingga sampai pada tahap untuk berusaha memahami karakter dan muncullah sebuah kedekatan hati. Di siang itu, di ruangan bergincu biru dengan hiasan merah putih dan hijau kuning yang baru beberapa waktu lalu dimulai, mereka melempariku dengan tanya.
“Ibu, tempat Ibu kemarin dari mana?” tanya pembuka yang begitu klise.
“Pekanbaru,” jawabku tanpa basa-basi.
“Ibu nanti ada rencana mau pulang?” pandangan mereka beralih padaku.
“Iya nanti ibu pulang. Setelah itu tidak balik lagi,” jawabku dengan nada yang romantis.
“Kok tak balik lagi Bu? Ibu mengajar di sini berapa lama?” aku bak narasumber dadakan yang diserang reporter dadakan juga.
“10 tahun, kalau tak ada perubahan,” sahutku dengan nada optimis.
Siswa yang biasa kupanggil Tio tiba-tiba menyahut dengan melankolis serempak dialek Melayunya yang lekat.
“Ibu, janganlah pulang dulu. Selesai Ibu mengajar kami dulu baru pulang”, ujarnya.
“Tak apalah,” responsku.
“Eh, tapi Bu, Ibu tak boleh pulang. Kan Ibu belum ada mengajar kita setahun,” ujarnya dengan girang, seakan dia menang .
“Jangankan setahun, hitungan bulan saja belum rampung,” hati merisik.
Bak potongan drama singkat tatkala proses belajar sedang berlangsung. Namun, potongan itu yang menumbuhkan benih-benih cinta di hati seorang ‘petani’. ‘Petani’ peradaban yang semoga Allah restui dan berkahi untuk turut membersamai mereka menanam mimpi di ‘ladang’ ini. Bersama-sama menyiram, merawat dan menggemburkannya agar mimpi itu tumbuh subur. Hingga nanti mimpi itu dapat disemai sesuai hasil yang Allah ridhoi.
Ketika ‘petani’ jatuh cinta, maka cerita saban hari berganti tentang mereka. Tentang tawa, tentang jenaka yang singkat namun memberi makna.
Candi, Kepulauan Anambas, Oktober 2017
Wa ila rabbika farghob
Keep tawadhu