Kegiatan
-
Agustinus Babtista Tanggur mengirim sebuah pembaruan 6 tahun, 6 bulan lalu
Etika dan estetika dalam beda pendapat.
Akhir-akhir ini kita di suguhkan dengan berbagai macam berita dan isu. Pihak koalisi selaku pemerintah kerap mendapat kritikan dari pihak oposisi. Kritikan yg bersifat menjatuhkan lebih banyak disuarakan ketimbang kritikan yang bersifat membangun. kritikan yang penuh dengan perasaan emosional, kebencian, caci maki, dan hoax.
Yang tidak masuk diakal lagi para wakil rakyat dalam hal ini legislatif sebagai rekan kerja pemerintah kerap berbeda pandangan/bersebelahan dan suaranya jauh dari tugas dan fungsinya sebagai wakil rakyat.
Kita sebagai negara demokratis tentunya segala bentuk kritikan harus berdasarkan etika keindonesiaan kita. demokrasi sopan santun rupanya tidak berlaku bagi sebagian orang yang haus akan kekuasaan, berbagai macam cara dengan dalil penuh retorika meyakinkan masyarakat “kampung” untuk berafiliasi dengan apa yang menjadi tujuannya.
Ujaran kebencian yang kian masif merupakan ajakan sekaligus ajaran sesat dari orang-orang atau kelompok yang haus akan kekuasaan. Seolah-olah negara tidak berpihak kepada negara kita tercinta ini. Isu SARA menjadi masih laku dalam demokrasi dan menjadi pembenaran bagi pihak-pihak yang lain.
Apa yang sebenarnya terjadi? Kegaduhan terjadi akibat dari tujuan dan masing-masing punya kepentingan. Andaikan orientasi sama-sama untuk kemaslahatan umat bangsa tentunya kita tidak disibukkan dengan berbagai macam ulasan yang penuh dengan dalil.
Kita sudah tidak memegang lagi nilai-nilai terutama etika dan estetika dalam berkomunikasi. Kita lupa bahwa dalam organisasi ada aturan dan norma yang harus diikuti. Kalau kita masih ingat akan nilai-nilai itu, segala bentuk hujatan, cacian, dan perilaku yang mencerminkan konflik dan kebencian tentunya tetap harus dikemas sedemikian rupa sehingga cara penampilannya pun dapat diterima etika dan estetika.