Siapa yang tidak kenal dengan sosok Khalil Gibran? Seorang seniman kata-kata yang mampu membuat banyak hati menjadi ambyar. Ya, di balik para pemujanya dari seantero jagat raya, tentu ada pula yang menganggap Khalil Gibran sebagai sosok yang pesimis, baperan, dan melankolis berlebihan alias menye-menye.
“Lagi baca buku apa?” tanya seorang teman yang terkenal dengan kegiatan-kegiatan organisasinya di kampus. Melakukan kegiatan demontrasi dengan suara lantang sudah menjadi jalan ninjanya. Sebut saja namanya Bambang.
“Sayap-sayap patah.” jawabku dengan enteng.
Bambang tertawa-tawa, “Ah, karya yang terlalu pesimistis. Tidak hidup!
Tidak bersemangat!”
Kemudian Bambang memberi saran, barangkali saya akan mau mengganti referensi bacaan, “Lebih baik baca tulisan W.S Rendra dan Widji Thukul!”
“Penuh semangat,”
“Bergelora!”
Tidak hanya mengkritik tentang karya dan sosok Khalil Gibran, dia juga habis-habisan mengkritik pribadiku, “Lihat dirimu, kawan,”
“Kau jadi tampak begitu lemah,”
“Mudah terbawa perasaan, menjaga jarak, dan suka mengasingkan diri.”
Saya merespons kritikannya dengan senyuman kecil. Tidak ada sakit hati. Toh, yang dia katakan benar adanya. Bedanya hanya soal sudut pandang. Baginya, hal itu termasuk sisi negatif. Bagiku, hal itu termasuk sisi positif.
Ya, harus kuakui, tetap saja ada saja sisi negatif yang timbul karena hal itu. Contoh kecilnya adalah suatu waktu seorang dosen menuduhku goblok, kemudian saya meratapi diri di kamar sepanjang hari; tidak makan, tidak minum, dan tidak mandi.
Saya sibuk mencari tahu latar belakang, rumusan masalah, isi, kesimpulan, dan daftar pustaka dari tuduhan seorang dosen yang telah menyebut saya goblok.
Mengapa saya goblok, ya Tuhan!
Berbeda hal-nya dengan Bambang, ketika digertak dosen dengan sebutan goblok, Bambang langsung bermanuver saat itu juga.
Alih-alih minta maaf atas kegoblokan yang telah dituduhkan padanya, kemudian mengiyakan semua nasihat-nasihat klise yang biasa disampaikan seorang dosen kepada mahasiswanya. Bambang malah mengutip larik-larik puisi karya W.S Rendra.
Bambang berujar dengan semangat berapi-api, lengkap dengan intonasi khas pujangga kawakan.
Kita melihat kabur pribadi orang,
Karena tidak diajarkan kebatinan dan ilmu jiwa
Dasar pendidikan kita adalah kepatuhan,
Bukan pertukaran pikiran.
Saya yang berada di kelas yang sama dengannya, hanya bisa menahan nafas. Sementara itu, Bambang bersikap santai seperti di pantai, persis seperti manusia yang sudah kehilangan rasa takut pada siapapun. Nasibnya tentu bisa ditebak dengan mudah. Nilai mata kuliah Bambang jeblok, harus mengulang semester depan.
***
Saya sebagai pengagum Khalil Gibran tentu dapat menerima segala pro dan kontra terhadap karya-karya beliau. Namun, saya masih tetap pada pilihan referensi sastrawan favorit seperti sosok Khalil Gibran dan Sapardi Djoko Damono. Tentu Bambang juga masih tetap pada pilihan referensi sastrawan favoritnya seperti sosok W.S Rendra dan Widji Thukul.
Bambang dengan sisi menggebu. Saya dengan sisi tenang. Semua punya jalan ninja masing-masing. Tidak perlu saling menjatuhkan.
Wabah virus Covid-19 membuat masyarakat di dunia, khususnya masyarakat Indonesia melakukan sosial distancing. Walaupun begitu, kita masih bisa menikmati sastra untuk kontemplasi, introspeksi diri, atau bahkan hanya untuk sekadar hiburan bagi jiwa-jiwa yang ambyar karena tidak bisa bepergian ke mana-mana.
Mari menikmati sastra. Siapapun orangnya. Berikut saya kutip larik puisi dari Khalil Gibran, sesuai dengan kondisi saat ini, yaitu wabah virus Covid-19 yang membuat masyarakat harus menjaga jarak. Semoga bermanfaat.
Hidup adalah sebuah pulau dalam samudra pengasingan dan kesunyian.
Hidup adalah sebuah pulau; batu- batu karang adalah hasrat-hasratnya, pepohonan adalah impiannya, bunga adalah kesendiriannya, dan hidup berada diantara samudra pengasingan dan kesunyian.
Hidupmu, temanku, adalah suatu pulau yang terpisah dari semua pulau dan benua lain.
Tak peduli berapapun banyaknya perahu yang kau kirim ke pantai lain, atau berapa banyak kapal yang datang ke pantaimu,
Engkau sendiri adalah suatu pulau yang terpisah oleh kepedihannya sendiri,
Terpencil dalam kebahagiaannya dan terpisah jauh dalam keharuan.