Dalam sebuah diskusi di kelas baru saya pagi ini, saya mendapati seorang anak yang kuat mentalnya, terlatih jiwanya. Seakan dia lebih dewasa daripada saya dari sudut pandang hidup yang satu ini. Setelah akhirnya saya berbicara agak banyak dengannya, saya mengerti kenapa kemudian akhirnya ia bisa menjadi seperti itu.
“Kamu semalam siang makan di warung nasi depan SMP ya?”
“Iya, Bu.”
“Sering?”
“Sering, Bu.”
Setelahnya, pertanyaan berentet pun mengalir dari otak saya yang penuh tanda tanya. Ia pun menceritakan sebabnya.
Sepulang sekolah, ia selalu mampir ke warung makan di depan SMP untuk makan siang. Sendiri. Alasannya adalah karena di rumah sering tidak ada lauk. Saat saya coba membandingkan harga sepiring nasi yang ia makan dengan jika memasak di rumah yang bisa lebih murah dan dapat banyak, ia hanya mengatakan bahwa jika di rumah tidak ada lauk maka ia akan makan di warung nasi itu. Mengapa sampai di rumah tidak ada lauk? Karena di rumah tidak ada yang memasak untuknya. Kemana ibunya? Kemana ayahnya?
Saya akan mulai ceritakan dari ayahnya terlebih dahulu. Ayahnya ada. Ayahnya lah yang membayar uang makan siang di warung itu. Entah per minggu ataukah per bulan. Yang jelas, anak ini tinggal lapor ke pemilik rumah makan dan kemudian mendapati makan siangnya. Ayahnya adalah salah seorang pegawai negeri yang kantornya tidak jauh dari rumah makan tersebut. Saya paham mengapa ia makan di warung nasi tersebut.
Lalu, kalian pasti bertanya kemana ibunya, kan? Sama seperti yang ada di benak saya. Awalnya saya enggan untuk bertanya lebih jauh. Tapi ini penting bagi saya sebagai gurunya dan berhubung tidak ada sumber lain yang saat ini bisa saya percayai selain dirinya.
“Ibu lari, Bu.”
Saya coba pahami kalimat anak ini. Apakah ia memahami kalimat yang barusan diucapkannya. Ataukah ia salah menggunakan kalimat? Inilah rumitnya menjadi orang dewasa. Terlalu banyak prasangka padahal hanya sebuah kalimat.
“Ibu lari meninggalkan saya ketika saya masih berumur dua tahun. Ibu lari kembali ke kampungnya di Jawa. Sejak saat itu, saya tidak pernah bertemu dengan ibu lagi. Ibu pernah mencoba menghubungi kami. Tapi ayah tak pernah mengizinkannya berlama-lama. Sejak saat itu pula, komunikasi kami terputus. Ibu tak pernah sekadar bertanya kabar lagi kepada saya dan apalagi memberi hadiah.”
Saya menelan ludah mendengarnya. Ia bercerita mengalir tanpa beban sebagaimana ia biasa bercerita tentang kisah-kisah fiksi yang ada di dalam bahan bacaan literasi pembelajaran tematik. Ia bahkan bisa menceritakan dengan runut menggunakan bahasanya sendiri. Kali ini ia bercerita tentang kisah hidupnya sebagai seorang anak yang ditinggal oleh sang ibu.
“Sekarang saya punya ibu dan saudara tiri. Tapi tak terlalu dekat, Bu.”
Ia tak berbicara banyak tentang hal ini. Saya pun tak bertanya banyak. Saya cukup paham untuk menahan lisan ini dari banyak tanda tanya. Cukuplah jawaban yang saya lihat bahwa ayahnya masih sangat telaten mengantar dan menjemputnya ke sekolah. Meski saya belum memiliki waktu yang tepat untuk berbincang lebih dalam tentang perkembangan anaknya. Mudah-mudahan ada kesempatan.
Bagi saya, anak ini termasuk yang terselamatkan. Di tengah kondisi keluarga yang tidak sempurna, ia masih bisa bertahan. Dilihat dari perkembangan akademiknya, ia tidak terlalu menonjol. Bahkan bisa dikatakan lambat. Tapi Allah jaga dia. Hatinya masih mudah menerima kebaikan. Saat harus mengeluarkan pendapat, ia masih berani dan tidak takut kehilangan percaya diri. Saat harus bercerita, ia bisa mengkisahkannya dengan baik. Meski tak terlalu baik dalam pemahaman, ia termasuk yang jiwanya bersih. Ia hapal doa-doa dan tahu caranya berterimakasih kepada sang pencipta melalui ibadah. Seakan hidayah itu ada di pihaknya. Hanya saja, perlu pertahanan yang lebih kuat dengan lingkungan yang kuat pula.
Anak ini adalah seorang lelaki. Mungkin itu pula yang menyebabkan ia harus tetap bertahan. Bukan bermaksud jika ia seorang perempuan, maka ia tak mampu bertahan pula. Keadaan ini menuntutnya untuk menjadi anak lelaki yang sesungguhnya. Ia juga bukanlah satu-satunya anak yang memiliki keadaan sedemikian adanya. Masih banyak anak-anak lain yang keadaannya mirip bahkan lebih parah. Ketahanan dan mewujud perilaku mereka saja yang berbeda. Ada yang akhinya menjadi keras. Ada pula yang akhirnya menjadi lembut. Dia? Dia berada selayaknya anak lelaki yang terlahir dalam keluarga normal.
Di sini, saya tidak memiliki hak untuk menghakimi keadaan yang tengah mereka jalani. Saya hanya menjalankan tugas sebagai pendidik. Bukankah jika kita berjalan sejauh ini kita semakin sadar pentingnya pendidikan? Bahkan pendidikan itu bukan sekadar mendudukkan anak ke bangku sekolah formal bergengsi dan menyerahkan seluruh tanggungjawabnya kepada guru?
Tanjungbatu, Karimun, 05 Agustus 2019