Pseudo-Literasi


Seberapa sering kita membicarakan literasi? Acap kali kita membicarakan tentang literasi tanpa tahu makna dan memahami apa itu literasi; bagaimana bentuk literasi; dan manfaat literasi. Kita semua latah untuk sepakat bahwa literasi penting untuk diimplementasikan. Apakah karena kekalahan Indonesia di dalam literasi membuat kita reaktif membicarakannya? Sebagaimana hasil survei yang dilaporkan lembaga asing memojokkkan Indonesia berada pada level terbawah literasi (Organisation for Economic Co-Operation and Develompent, 2015; Central Connecticut State University, 2016).

Berangkat dari kekalahan tersebut membuat literasi yang beberapa tahun ini sering menjadi bagian dari percakapan berbagai pemangku kepentingan. Respons pemerintah pun beragam dan untuk meningkatkan mutu (peringkat) ke-literasi-an kita, maka dimunculkanlah pelbagai program literasi. Pelbagai program paket literasi dimasak di dalam dapur kebijakan dan siap untuk diedarkan. Ada paket berbentuk seminar, lokakarya, pelatihan (lengkap dengan modul dan instrumen penilaian) dll.  Tidak sampai di sana, penunjukkan seorang public figure sebagai duta literasi pun dianggap bisa mengaktivasi virus (influencer) literasi kepada publik tanpa tahu latar belakang public figure tersebut apakah memang penyuka literasi (bisa saja tidak).

Kita patut mengapresiasi langkah pemerintah di dalam kepeduliannya terhadap kondisi literasi saat ini. Namun sudah banyak program, tapi apakah praktik program tersebut berjalan sedari awal diprogramkan? Sesudah mendapatkan seminar, lokakarya, dan pelatihan tadi apakah seseorang tersebut menjalankan apa yang sudah diterimanya? Jika tidak semua itu hanyalah pseudo-literasi belaka. Mengapa saya katakan pseudo-literasi? Kita banyak terpaku melihat kegiatan hanya dari nama di permukaan, tetapi perencanaan dan prosesnya dijalankan belum sesuai dengan prinsip pengembangan literasi.

Ketika gaung program membaca di sekolah dilakukan, yakni sebelum dimulainya jam belajar siswa diminta untuk membaca sekitar 15 menit yang tak lain tujuannya untuk mendorong peserta didik gemar membaca (Permendikbud Nomor 23 Tahun 2015). Sasarannya adalah peserta didik gemar membaca sebagai penguat akar literasi (akar literasi dimulai dari membaca-menulis). Dalam hal ini saya sangat sepakat, namun gemar membaca juga harus sejalan dengan pengembangan literasi peserta didik itu sendiri, yakni sangat tergantung pada tingkat perkembangan dan kemampuan siswa. Tapi dalam praktik, seringkali kemampuan mengenali perkembangan dan kemampuan tersebut luput.

Sebagai contoh, dahulu saya pernah bekerja sebagai pelayan toko buku di Kota Pekanbaru dan mendapati pembeli yang masih mengenakan pakaian seragam sekolah tingkat dasar. Dalam kasus ini kita sebut saja si pembeli namanya Budi. Budi berbelanja tidak hanya sendiri, ia juga ditemani ibunya. Sang ibu meminta saya mencarikan buku bergenre novel. Saya mengarahkan Budi dan ibunya berjalan menuju rak buku bergenre novel sesuai permintaan awal, dan di sana saya membantu menawarkan judul buku apa yang akan dicari. Ibu Budi lantas bertanya kepada anaknya “buku apa yang disuruh ibu guru beli tadi nak?” Budi yang bingung hanya menjawab “kata Ibu guru beli buku novel saja, ndak ada sebut judul.” Merasa sedikit bingung lantas saya bertanya untuk apa buku tersebut kepada si Budi. “Sebelum dimulai pelajaran, kami diminta bu guru membaca selama 15 menit,” jawab Budi yang masih bingung. Ibu Budi pun sama bingungnya dan meminta saran kepada saya judul buku apa yang cocok untuk anaknya. “Anak ibu kelas berapa sekolahnya?” tanya saya sebelum memilih buku yang sesuai untuk Budi.

Pengalaman di atas merupakan bukti kurangnya program dengan prinsip pengembangan literasi kita. Kesepakatan cita tidak menjamin setiap dan semua anak mencapainya. Ibu guru kita tadi hendaknya bisa mengenal perkembangan peserta didiknya berdasarkan usia tertentu dan mengarahkan mereka untuk mendapati jenis buku yang sesuai dengan usia mereka. Jika tidak diarahkan, bisa saja kita menebak sang anak akan mendapati buku yang tidak sesuai. Peluang anak mendapati bacaaan tidak sesuai sangat besar jika ditambah orang tua mereka pun tak mengenal jenis bacaan yang cocok bagi anaknya. Seperti kasus Budi di atas tadi, Ibu Budi pun tak tahu harus memilih judul buku untuk anaknya.

Banyak kemampuan sederhana yang sebenarnya sangat memengaruhi efektivitas cara kita (baik orang tua maupun guru) untuk menjalankan program literasi misalnya, memilih bahan bacaan bagi anak yang masuk usia remaja. Naskah dan genre harus sesuai topik yang akan dipelajari, tetapi tingkat kesulitannya juga sesuai dengan tingkat penalarannya sehingga tidak terlalu mudah tetapi juga tidak terlalu sulit bagi sang anak.

Terakhir, jika hanya sekadar mengerjakan mandat dari sebuah aturan tanpa tahu makna sama halnya seperti jauh panggang dari api. Semua program muaranya baik, tapi cara mendesainnyalah yang akan membedakan manfaat yang didapat.

Kok tulisan sampeyan temanya tentang literasi terus? Sampeyan pengen jadi duta literasi? Emoh aku, moso mbambung gini jadi duta literasi. Gak marketable, heuheuheu.

Pekanbaru, 03 Agustus 2019

Sumber gambar: unsplash.com

(Dikunjungi : 235 Kali)

.

Apa Reaksi Anda?

Terganggu Terganggu
0
Terganggu
Terhibur Terhibur
0
Terhibur
Terinspirasi Terinspirasi
0
Terinspirasi
Tidak Peduli Tidak Peduli
0
Tidak Peduli
Sangat Suka Sangat Suka
0
Sangat Suka

Komentar Anda

Share