“Pencuri sepatu,” teriak banyak orang di beranda depan Masjid Agung Darul Falah Pacitan. Pencuri sepatu itu terkepung. Orang-orang menangkapnya. “Djancuk, iki maling,” riuh rendah suara hujatan menghujan di sana. Ramai orang memberinya pukulan sambil sesekali ada pula yang turut kasihan. “Sudah, hentikan jangan diteruskan.” Siapa yang peduli? Banyak tangan memukulinya. Puluhan kaki menginjaknya. Pencuri sepatu itu menderita. Padahal mencuri itu sendiri merupakan luka bagi jiwanya. Jikapun berhasil mencuri sepatu itu, hatinya tentu tak tenang mendapat makan hasil curian. Tapi pencuri sepatu itu kini lebih luka lagi. Selain jiwanya koyak moyak, badannya pun turut menerima. Betapa sengsaranya si pencuri sepatu itu.
Jumat yang pilu. Hatiku mengharu biru ketika tahu itu si pencuri sepatu itu rupanya adalah guruku semasa sekolah dulu. Pak Firman.
Pak Firman mencuri karena apa? Ketika ia membawa sepasang sepatu pergi dari masjid apakah ia membawa karena terpaksa? Karena buntu ekonominya? Malangnya Pak Firman guruku ya Allah. Usia senja ia terpaksa mencuri. Apakah sepatu curian itu akan dijual untuk makan? Menyambung hidup? Membayar hutang? Membayar sekolah anaknya? Atau apa ya Allah? Aku tahu bagaimana pak Firman itu ya Allah. Tak kunjung mendapat pengakuan dari pemerintah ia setia dengan status honor sekolah selama berpuluh-puluh tahun hidupnya. Roda zaman bergerak membuat ia ketelingsut dalam pusaran ekonomi yang kejam.
Aku ditemani pak polisi memapah tubuh Pak Firman ke ruangan rumah sakit. Lihatlah kini wajahnya. Tubuhnya. Tentu banyak tulang yang patah. Aku baringkan ia di ranjang. Sesekali ia mengerang. “Budi, maafkan bapakmu.”
Hatiku memekik-mekik ternyata ia masih ingat dengan siswanya. Bagaimana jiwa dan hari depannya ya Allah? Maafkanlah pak Firman dan ampunilah ia ya Allah.
“Urusan agama lain soal dengan hukum,” kata Pak Polisi yang mendengar doaku.
Pekanbaru, 01 Juni 2019