Biar saja judulnya rancu. Membuatmu bingung dan bertanya-tanya adalah salah satu cara agar tulisan ini dibaca, dibenarkan dan pada akhirnya diterima dengan sebuah pemahaman. Setidaknya akan ada tiga spekulasi dari judul ini. Aggapan pertama, yang melakukan penggerebakan terhadap trashbag berisi surat suara tercoblos di Malaysia adalah guru Indonesia. Kedua, yang menjadi pelaku pencoblosan surat suara tercoblos di Malaysia adalah guru Indonesia. Ketiga, dengan tercoblosnya surat suara di Malaysia, guru Indonesia semakin jaya. Ketiganya sama-sama berpeluang untuk benar jika hanya dibaca pada paragraf pertama dan tentu saja bingung jika hanya membaca judulnya.
Sebetulnya aku tidak akan bicara soal surat suara tercoblos di Bandar Bangi. Malaysia itu juga luas, sama seperti Indonesia. Kasus surat suara tercoblos terjadi di Semenanjung, Malaysia bagian barat. Sementara aku dan koloniku berada di Malaysia bagian Timur. Barat dan Timur adalah dua arah mata angin yang walaupun saling berhadapan, tapi tidak bisa saling berpandangan. Maka atas alasan geografis itulah aku tidak akan bicara lagi tentang kasus yang terjadi di seberang, jauh, terlalu ‘LDR’ jika harus kubahas. Lewat tulisan ini, aku hanya ingin mengabadikan apa yang telah teman-temanku sebut sebagai sebuah perjuangan. Kenapa aku tidak ikut berjuang? Karena secara prinsip, apa yang kulakukan telah menuntunku untuk menjalankan ‘perjuangan demokrasi’ dengan caraku sendiri.
Pemilihan umum di luar negeri berbeda dengan pemilu di rumah, maksudku bukan di rumah sendiri, apalagi rumah mertua, tapi rumah kita bersama, Indonesia. Selain TPS, banyaknya WNI yang menjadi buruh migran di sektor perkebunan sawit, telah menjadikan lahirnya 433 Kotak Suara Keliling (KSK) untuk wilayah Kota Kinabalu. Namanya yang ‘keliling’, membuatnya memang harus berkeliling-keliling agar bisa berfungsi dengan baik. Sehingga ia memerlukan waku yang lebih lama dibanding kotak suara yang duduk, diam di tempat. Maka pencoblosan surat suara yang akan dimasukkan ke kotak yang berkeliling harus dilakukan lebih dulu agar bisa dihitung secara bersamaan, maka dilakukanlah pencoblosan untuk KSK pada tanggal 8-10 April kemarin. Pertanyaannya, apakah 433 kotak tersebut bisa berkeliling sendiri? Tentu tidak. Lalu siapa yang membawanya? Fungsi inilah yang kemudian dilaksanakan oleh guru-guru Indonesia yang dikirimkan oleh Kemendikbud lewat pesawat udara yang tiketnya dibayarkan negara, kalaupun bayar dulu, nanti pasti diganti. Selain untuk misi edukasi, tentu saja pada pemilu guru-guru juga mengemban misi demokrasi. Mereka menjadi penyambung tangan konsulat dalam menjadi petugas pemilu, menjemput suara rakyat.
Mayoritas WNI yang ada di Sabah, bekerja di sektor perkebunan sawit, karena guru-guru CLC juga bertugas di ladang-ladang sawit, maka secara harfiah mereka telah berjodoh. Guru-guru Indonesialah yang melakukan pendataan pemilih, mengedarkan C6, membawa logistik pemilu ke lokasi pemukiman warga. Naik turun bukit, melewati luasnya perkebunan sawit, bertemu buaya yang sedang mandi di sungai, bertemu gajah, tidak jarang pula mereka harus jatuh hingga ‘terpuruk’ ke dalam got karena beban terlalu berat, adalah suka duka yang dilewati dalam proses ini. Belum lagi mereka harus menjelaskan berkali-kali tentang bagaimana cara memilih kepada para pemilih yang notabenenya banyak yang sudah lupa dan datang terlambat karena baru pulang bekerja. Mereka juga direpotkan dengan ‘serangan’ Buruh Migran Indonesia yang datang secara nurani, padahal tidak terdaftar di DPT. Proses pemilihan di ladang dilakukan dengan cara sederhana, ada yang di dewan, di teras rumah, juga di atas tanah. Kini, surat suara yang telah tercoblos itu telah dihitung di KJRI dan mereka? Tentu saja masih bekerja. Guru-guru telah menjadi aktor penting di balik tercoblosnya (secara sah) beribu surat suara di Malaysia. Jayalah guru Indonesia!