Setelah melakukan penyerahan salah satu Kotak Suara Keliling (KSK) dari hasil berkeliling mencari warga Indonesia di ladang-ladang sawit Tawau ke PPLN Tawau-Malaysia, saya bertemu dengan Bang Juned, guru CLC yang juga petugas KSK. Perbincangan kami akhirnya menyebut satu nama; Audrey. Kasus yang dialami Audrey ternyata telah viral di berbagai media sosial. Saya sendiri baru mendapatkan informasinya tadi malam sebab tiga hari belakangan diberi tugas menjadi salah satu tim KSK untuk melayani WNI dalam menyalurkan hak pilihnya pada pemilu 2019.
Kamis malam, petisi #Justiceforaudrey telah ditandatangani oleh 3,7 juta orang. Orang-orang terkenal pun bahkan ikut angkat bicara. Bukan hanya di dalam negeri tetapi juga di luar negeri.
Hebohnya tagar justiceforaudrey dilatarbelakangi oleh kasus perundungan yang dialami Audrey oleh selusin siswi SMA di kota Pontianak. Kasus tersebut bahkan sampai pada kekerasan fisik yang telah benar-benar keterlaluan.
Tak sedikit yang mengecam orangtua pelaku. Tidak sedikit pula yang mengalamatkan sindiran kepada para pendidik. Bahwa yang bertanggung jawab atas karakter anak-anak di usia belajar, pengaruh kedua golongan tersebut memang tak bisa dinafikan. Hanya saja, barangkali semua kita pun secara tidak langsung ikut memberi andil pada sejauh mana tingkat kesadaran generasi muda.
Seperti yang kita ketahui bersama, anak usia sekolah saat ini tak lagi asing terhadap media sosial. Sebab, jangankan yang sudah pandai baca tulis, bahkan anak yang baru belajar berdiri pun sudah memiliki akun medsos. Lalu apa hubungannya dengan kasus Audry?
Perkembangan anak selalu saja tak pernah lepas dari pengaruh beberapa faktor antara lain lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat sekitar. Namun, tak keliru juga bila kita menyertakan dunia maya sebagai tambahan lingkungan yang memiliki andil begitu besar pada pengembangan karakter anak-anak kita. Perihal tersebut menjadi sangat mungkin sebab masyarakat kita, terlebih anak-anak, lebih banyak menggunakan waktunya di dunia maya dibanding berinteraksi dengan dunia nyata.
Sosial media akhir-akhir ini semakin terasa panasnya oleh semakin dekatnya pemilihan umum. Tiap kali anda membuka beranda, story, dan atau kolom komentar, tak jarang ditemukan kalimat-kalimat hujatan. Malah saling berbalas-balasan. Dari kesemuanya itu, kita bisa mengambil kesimpulan betapa kita yang telah dewasa di umur ini begitu mudah terprovokasi. Lantas bagaimana dengan anak-anak yang notabene masih usia sekolah? Mungkin hal yang perlu kita sadari bersama bahwa semua tulisan bernada negatif tersebut sangat besar kemungkinannya dibaca oleh anak-anak kita. Dan, jelas berpeluang untuk mereka tiru dalam pergaulannya.
Bahwa pelaku harus dihukum sesuai dengan hukum yang berlaku, saya pun sepakat. Agar hal itu menjadi pembelajaran bagi para generasi. Memberi peringatan kepada pihak orangtua, pihak sekolah dan lingkungan sekitarnya pun saya rasa itu perlu dilakukan. Tapi semoga kita tidak lupa pula memperingatkan diri sendiri dalam menggunakan sosial media. Demi menjaga anak-anak kita semua. Demi menjaga keluarga kita semua. Agar kasus Audrey tak lagi terulang kembali.