Dari Sabang sampai Merauke berjajar pulau-pulau/ Sambung-menyambung menjadi satu itulah Indonesia. Penggalan lirik lagu nasional tadi ada dua bisa kita ambil penekanannya. Pertama adalah wilayah. Batas teritorial Indonesia di sebelah barat bagian ujung adalah Sabang dan bagian ujung timurnya Merauke. Hal tersebut menujukkan batas wilayah Indonesia. Nilai kedua kepada proses/to do. Sambung-menyambung menjadi satu merupakan usaha/proses/daya dalam menciptakan satu/kesatuan pada akhirnya mewujud menjadi/to be Indonesia.
Agak berlebihan saya menuliskan tentang Indonesia jika ditilik dari latar belakang saya yang sebenarnya banyak kekurangan. Saya harap anda sebagai pembaca bisa nerimo dan senyum-senyum membacanya. Kali ini izinkan saya mengurai nilai ke dua, yaitu proses/to do sampai akhirnya menjadi/to be Indonesia.
Saya awali dengan pertanyaan. Kenapa kita bisa satu? Apa dan siapa sebenarnya yang menyatukan? Sebagian dari anda menjawab Pancasila. Apakah benar Pancasila? Sejarah memang menjawab pancasila tapi kebudayaan punya jawaban berbeda. Adalah kebudayaan yang membidani lahirnya pancasila. Pancasila lahir dari nilai-nilai luhur masyarakat yang dinamakan Gotong Royong. Gotong royong merupakan budaya yang telah tumbuh dan berkembang dalam kehidupan sosial masyarakat sebagai warisan yang telah eksis secara turun temurun. Suatu bentuk kerja-sama kelompok masyarakat untuk mencapai suatu hasil positif dari tujuan ingin dicapai secara mufakat dan musyawarah bersama serta lahir atas dasar keinsyafan, kesadaran dan semangat untuk mengerjakan tanpa mengutamakan bagi kepentingan diri sendiri/golongan/kelompok. Maka tak salah Putra Sang Fajar katakan tepat 1 Juni 1945 bahwa Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong royong. Tuah gotong royong menyatukan Indonesia; menyatukan masyarakat, suku, dan agama.
Dewasa ini kita sulit menemukan nilai gotong royong hidup di dalam kehidupan bermasyarakat. Serasa ada tapi sesungguhnya tiada. Saat membersihkan lingkungan sekitar entah itu fasilitas umum/rumah ibadah/jalan di akhir pekan mestinya gotong royong hadir di tengah masyarakat, tapi kenyataannya selalu absen. Kemana gotong royong tersebut saat ini? Kemana? Adakah ia berondok dari kehidupan kita semua? Sekali waktu saya berjumpa dengan gotong royong sedang duduk di bawah pohon randu. Keadaannya rapuh ketika itu. Saya beranikan diri bertanya “kamu kemana selama ini? Warga rindu sama kehadiran kamu.” Gotong royong mendapat tanya seperti itu menjawab dengan galak “saya ini sengaja menepi dari hingar bingar ke-individualitas-an yang kalian ciptakan dan tanamakan dalam diri kalian. Akibatnya semakin lama sifat individual tersebut membesar bahkan semakin membesar sehingga aku ndak dapat tempat lagi di hati kalian.”
Kita akui kekinian hidup lebih individualis terlebih di masyarakat urban. Lambat laun individualis menjangkiti kehidupan di desa-desa, dan pada akhirnya kita akan mewarisi kebudayaan individualis pada generasi milenial (sedang terjadi).
Dimana kita bisa menemukan gotong royong kembali? Saya akan bawa anda menuju Merauke dimana nilai gotong royong ada dikandung tapi tidak pada manusia tetapi pada seekor rayap.
Bila kita dapat menapaki Kota Merauke yang berada di timur Indonesia kita akan melihat pemandangan gundukan pasir berwarna kuning kecokelatan yang menjulang tinggi ke atas. Tingginya mampu mencapi ± 5 meter. Gundukan pasir tersebut disebut masyarakat asli Merauke dengan nama “Musamus”. Jika dilihat lebih dekat gundukan pasir berongga dan di dalamnya terdapat dua kehidupan. Hidup pertama adalah kehidupan organisme rayap yang memiliki nama ilmiah Macrotermes sp. Hidup kedua adalah kehidupan nilai bekerja buat kepentingan bersama (Holopis kuntul baris).
Musamus adalah rumah/sarang bagi organisme rayap. Ukuran rayap yang kecil mampu memiliki rumah yang besar dan menjulang tinggi. Tingginya mampu mencapai 5 meter dan diameter ± 2meter (ukurannya bervariasi di atas permukaan tanah). Rayap yang membangun musamus merupakan jenis rayap mandiri; mampu membangun rumah mereka sendiri tanpa merusak pemukiman manusia (jenis rayap tertentu merusak/memakan kayu). Musamus terbentuk dari bahan atas dasar rumput kering, tanah, dan air liur rayap pembuatnya. Rayap-rayap bekerja sama bahu-membahu membangun istana mereka dengan sangat kokoh dan kuat. Jutaan rayap membangun musamus dan menjadikannya sebagai tempat tinggal bagi koloni mereka. Tempat berlindung, mencari makan, dan menjalankan aktivitas kerja (rayap pekerja dan rayap prajurit) sesuai dengan peranannya masing-masing menciptakan kestabilan dalam tatanan ekosistem rayap.
Mencermati prinsip kerja sang rayap hingga akhir terciptanya musamus (master piece) jelas terkandung dan melekat nilai gotong royong di dalamnya. Kita belajar tak hanya dari buku, akan tetapi juga dari alam. Kita kembali menggali nilai-nilai gotong royong pada kelompok rayap.
Apa yang perlu dilakukan ke depan?
Perubahan bisa terjadi secara tiba-tiba dan tidak terduga. Pada banyak kasus memang sulit untuk bertahan mempertahankan, apalagi mengembangkan nilai-nilai luhur gotong royong. Menghadapi gelombang perubahan nilai kehidupan akibat berbagai faktor (eksternal dan internal) dapat dimulai dari diri sendiri. Formulanya anda yang kembangkan bagaimana dan seperti apa merealisasikannya di lapangan anda yang menentukan (tentu dengan niat).
Terakhir gotong royong memberikan wejangan kepada saya tentang nilai luhur semangat gotong royong yang terjaga. “Nilai semangat gotong royongku masih ada tersimpan dan bersemayam di beberapa jiwa masyarakat Indonesia, salah satunya ada di jiwa pengabdi MeAN. Temuilah aku di sana dan akan ku suguhkan nikmatnya kebersamaan SEMUA BUAT SEMUA.”
Pekanbaru, 13 Februari 2019