Pagi kami masih ditemani mendung dan rintik hujan ketika jam pelajaran pertama saat itu adalah matematika. Meskipun demikian semangat murid-murid untuk belajar masih tinggi. Bahkan sepertinya lebih tinggi dariku yang tergopoh-gopoh memasuki pelataran sekolah yang dipenuhi genangan air dengan menggendong tas, membawa payung, dan menenteng plastik berisi sepatu. Hari itu aku memakai sandal jepit.
Murid-murid SDN 001 Payung-Payung mayoritas sudah memasuki kelas masing-masing. Sebagian masih berjalan di halaman, sebagian lagi belum terlihat di sekolah. Lima menit setelahnya lonceng dibunyikan. Murid-murid bersiap di depan kelas untuk berbaris sebelum masuk kelas. Aku menuju kelas IV. Barisan sudah rapi dan siap memasuki ruangan. Aku memandangi beberapa murid yang menggerakkan kakinya karena sepatu mereka basah oleh hujan.
“Selamat pagi Anak-anak!” Kalimat pertama yang selalu kuucapkan setelah salam dan doa. Lalu setelahnya kutanyai kabar dan kondisi mereka. Ternyata muridku tetap antusias menyambut pelajaran. Kudekati salah satu dari mereka yang memakai jaket seraya memintanya untuk melepas jika tidak sedang sakit.
Pelajaran dimulai. Materinya masih sama, KPK dan FPB. Tetiba seorang murid menghampiriku dan berbisik “Bu, saya nanti izin lepas sepatu ya. Sepatu saya basah sekali.” Kulempar senyum padanya sambil memberi anggukan tanda setuju.
Tak lama kutagih PR minggu kemarin. PR kelompok. Mereka antusias untuk membahasnya dan menunjukkan jawaban terbaiknya di muka kelas, terkecuali Reza, murid yang selama ini kuanggap rajin dan cerdas.
Beberapa siswa kutunjuk untuk maju ke muka kelas menuliskan jawaban kelompok masing-masing. Pun kelompok Reza yang tersisa dua murid karena teman kelompok lainnya tidak hadir hari itu.
Empat soal sudah tertulis di papan tulis. Giliran kelompok Reza untuk menuliskan jawaban. Reza menuliskannya di papan tulis. Namun Reza terlihat tidak seperti biasanya, ia tampak lesu. Sorot matanya sayu. Badannya lunglai. Ia berjalan pelan menuju papan tulis, menulis, dan kembali ke bangkunya.
Aku pun berdiri untuk membahas jawaban murid-muridku. Semua fokus memperhatikan. Jawaban salah dikoreksi, jawaban betul kulempari pujian dan tepukan tangan. Tiba di jawaban yang ditulis Reza, ada beberapa kekeliruan. Mendadak Reza murung, tak lama ia menangis sambil menundukkan kepala di meja.
“Bu, Reza menangis,” salah seorang murid melapor padaku. Aku tak bergeming dan terus membahas jawaban kelompok Reza. Ia pun tetap menangis di posisi yang sama.
Setelah pembahasan selesai, kuberi mereka penjelasan tentang arti belajar dan kesalahan. Bahwa belajar adalah proses dari yang belum baik menjadi baik, yang belum bisa menjadi bisa. Bukan masalah jika ada kesalahan di dalamnya. Begitulah sebuah proses.
“Salahmu bukan masalah, Nak” tutupku memberi penguatan.
Murid-murid memperhatikan dengan seksama. Pun Reza yang pelan-pelan menegakkan posisi duduknya. Aku bersyukur murid-murid mau mengerti apa yang kusampaikan, sekaligus terharu dengan respon yang diberikan Reza. Di sekolah tempatku mengabdi, ternyata masih ada murid yang memiliki semangat seperti Reza. Tak ingin salah. Tak mau nilai kurang.
Banyak hikmah yang kuambil dari peristiwa di hari itu. Salah satunya adalah bukan hanya murid yang terfasilitasi saja yang mampu berprestasi dan bersemangat tinggi. Reza membuktikannya. Seorang murid kelas IV SD di salah satu sekolah yang berada di ujung negeri, Pulau Maratua, Kalimantan Timur. Reza mempunyai semangat yang tinggi untuk bisa mengerjakan soal-soal. Reza adalah anak yang cerdas, banyak hal diketahuinya. Nilainya pun selalu sempurna. Namun manusia ialah makhluk tidak sempurna. Kealpaan selalu ada pada diri. Seperti yang terjadi pada Reza hari itu.