Akhir pekan tiba dan waktu yang terbaik untuk berlibur. Sedikit mengambil jarak dari kesibukan adalah membuat rileks saraf-saraf tubuh dengan menikmati perjalanan ke tempat yang belum pernah dituju sebelumnya. Begitupun rekan-rekan SM-3T di Jayawijaya mengambil liburan bersama di akhir pekan. Teman-teman SM-3T Jayawijaya biasanya setiap akhir bulan selalu berkumpul bersama untuk berlibur. Sebelumnya mereka telah berlibur di beberapa tempat di antaranya, seperti; Taman Nasional Lorentz. Taman Nasional tersebut merupakan kawasan perlindungan alam terluas se-Asia Pasific dan memiliki ekosistem terlengkap dari tropis hingga sub-alpin. Di tempat itu juga terdapat sebuah danau. Danau Habema namanya Sekilas tidak ada spesial dari danau tersebut. Sama seperti danau-danau lainnya. Danau ini berada di ketinggian 3.225 m dpl dan termasuk dalam danau tertinggi di Indonesia. Nama Habema sendiri diambil dari seorang perwira Belanda, Letnan Habema yang bertugas mengawal Ekspedisi Lorentz pada tahun 1909 dibawah pimpinan Dr. H.A Lorentz. Dari Danau Habema ini jika cuaca cerah dapat melihat langsung puncak Gunung Trikora yang memiliki tinggi 4.784 m dpl. Adalah liburan berkesan bagi teman-teman SM-3T Jayawijaya kala berlibur di Lorentz sebab mereka kesana ditemani oleh Bupati Jayawijaya, bapak Wempi Wetipo. Pak Bupati bersedia mengantar mereka dengan menempuh perjalanan kurang lebih 3 jam dari Kota Wamena menuju TN Lorentz dengan medan yang berat dan bebatuan membuat perjalanan semakin seru dan memacu adrenaline.
Selain itu, teman-teman SM-3T Jayawijaya juga berplesiran melihat langsung mumi. Selama ini mereka hanya melihat mumi tersebut di gambar buku Atlas Indonesia. Awetan tubuh manusia yang sudah mati ini dapat dikunjungi di Lembah Baliem tepatnya di Desa Jiwika, Distrik Kurulu yang dapat ditempuh sekitar 30 menit dengan mobil dari kota Wamena. Sosok tubuh kering tersebut dipercaya adalah seorang panglima perang Suku Dani yang sudah menjadi mumi berusia ±370 tahun. Dari perjalan tersebut teman-teman SM-3T Jayawijaya mendapat pengalaman berarti.
Kali ini tujuan perjalanan mereka adalah Air Terjun yang berada di Kampung Air Garam, Distrik Asotipo. Lokasi tersebut merupakan rekomendasi Rianda sendiri di mana letaknya tak jauh dari tempatnya bertugas. “Untuk dapat mencapai lokasi air terjun diperlukan usaha lebih dengan berjalan kaki selama 90 menit dengan medan menanjak dan hal tersebut akan menjadi tantangan bagi rekan-rekan yang memiliki berat badan lebih,” goda Rianda kepada teman-teman, khususnya Reri dan Rina. Sebelum berangkat terlebih dahulu mereka berdo’a memohon keselamatan dalam perjalanan. Bismillah.
Dalam perjalanan tersebut tampak sesekali mereka istirahat sejenak mengatur nafas yang sedikit sesak. Merenggangkan kaki dan sesekali memijat-mijat pada bagian betis. Ada yang sudah terbiasa berjalan terus saja melangkahkan kaki ke depan mencapai lokasi tujuan dan sesekali juga menunggu yang tertinggal di belakang. Dalam perjalanan tersebut lelah akan hilang dengan obrolan sepanjang jalan dilalui, dan akan menjadi lebih lagi jika yang mengobrol tersebut adalah pasangan yang sama-sama jatuh cinta. Tak bisa dipungkiri cinta lokasi tercipta saat momen SM-3T, bahkan momen lainpun bisa terjadi asal berada pada lingkar relung yang sama. Begitupun Rianda dan Ratna yang saling bertukar cerita di sepanjang jalan. Hanya mereka berdua yang tahu kisah apa yang diperbincangkan sepanjang perjalanan.
Lelah terasa terbayar tatkala sudah sampai di lokasi yang dituju. Gemuruh suara air terdengar keras. Batuan alam berukuran besar tampak ditutupi lumut-lumut. “Jalan menjadi licin dan mesti berpijak yang benar jika tidak ingin jatuh,” pesan Rianda mengingatkan kepada teman yang lain. Air yang jernih lagi menyegarkan kini ada di hadapan mereka semua.
Masing-masing mengambil posisi di Air Terjun tersebut. Membasahi tubuh dengan berendam di badan air salah satunya. Sebagian yang lain mengambil peran menjadi koki menyiapkan makanan dengan membakar ayam dan ikan yang telah dibawa dari Kota Wamena sebelumnya. Kenikmatan tersendiri memasak di alam dan memasak di alam terbuka adalah suatu barang mewah tentunya bagi masyarakat urban di luar sana.
Rianda dan Ratna kali ini lebih memilih bertugas sebagai koki. Sedang asik membalik-balik bagian daging ayam yang terbakar di atas bara api, Rianda mengajukan pertanyaan pada Ratna.
“Ratna, apa yang menyebabkan air terjun jatuhnya bebas ke dasar (bawah)?” tanya Rianda. “Gravitasi,” jawab Ratna yang dingin. Sebenarnya Ratna enggan menjawab pertanyaan Rianda tersebut karena jawabannya telah diketahui secara umum bahwa yang menyebabkan air tersebut jatuh karena adanya gaya tarik bumi atau disebut gravitasi.
Jangan sebut Rianda jika tidak mampu membuat Ratna tersenyum manis. Maka kali ini Rianda kembali bertanya dan sebelum mengajukan pertanyaan, ia katakan bahwa kali ini Ratna tak akan mampu menjawab tanya yang diberikan. “Ratna, kamu tahu kenapa aku jatuh bebas ke dasar hatimu?” Mendapat tanya seperti itu Ratna kelihatan salah tingkah. Desir darah yang kuat membuat sirkulasi darah Ratna terasa kencang dan berpusat pada bagian pipi yang mengakibatkan sekitar sisi wajahnya berwarna kemerah-merahan. Ratna sungguh tak bisa menjawab karena memang tak ada jawaban untuk kasus seperti ini.
“Aku jatuh karena ada gaya tarik hati yang disebut cinta,” jawab Rianda mendapati Ratna di depannya. Mata bertemu mata. Adakah hal seperti ini bisa kita katakan romantis?
“Gravitasi cinta nii yeeee, gravitasi cinta” teriak teman-teman berulang kali yang memang berada di sekitaran mereka berdua. Alhasil Rianda dan Ratna menjadi bahan olok-olokan siang itu.
Layaknya air yang jatuh ke dasar; begitupan hati Rianda yang turut jatuh ke hati Ratna.
Waktu tak terasa telah memerahkan langit biru menjadi senja menandakan liburan SM-3T Jayawijaya di Air Terun Air Garam telah usai dan mereka mesti beranjak kembali ke tempat tugas masing-masing. Sebab esok tugas suci telah menanti. Maju Bersama Mencerdaskan Indonesia.
Pekanbaru, 27 Januari 2019