Menjelang terbenamnya senja merupakan waktu yang terbaik untuk menikmati keindahan Lembah Baliem di Bukit Maima. Dari ketinggian tersebut tampak deretan bukit lainnya dan berlapis-lapis gunung yang menyelimuti tanah Baliem. Ada sungai-sungai besar yang panjang dan berlekuk-lekuk. Menikmati senja kemerahan tanpa kemarahan. “Lembah Baliem adalah surga tersembunyi,” gumam Ratna yang berada di puncak bukit bersama siswa-siswanya. Senja akhirnya gugur digantikan pekat malam dan Ratna mesti turun kembali menuju rumahnya.
Besok ada perayaan pesta pernikahan dari keluarga Bapa Kogoya. Anaknya menikah dan akan diadakan syukuran bersama warga di Kampung Niniki. Ibu Ratna diberitahukan oleh siswanya yang bernama Isak Wenda saat mereka di atas bukit tadi sore. Isak menyampaikan pesan dari Bapa Kogoya bahwa Ibu Ratna harus datang ke pesta pernikahan tersebut dan merayakannya secara bersama-sama dengan warga. Pesan dari siswanya tersebut menjadi pengantar sebelum Ratna merebahkan diri di atas tilam yang tak empuk.
Fajar menyingsing dan selalu setia pada ketentuan Tuhan bahwa ia wajib memancarkan cahaya istimewa untuk menjadi penyemangat setiap makhluk hidup di bumi. Kira-kira sepenggalah, Ibu Ratna sudah dijemput oleh siswa-siswanya di depan rumah. “Ibu guru, oooo. Ibu guru, ko su siapkah?” teriak Isak memanggil-manggil di luar. “Iyo sabanta,” balas Ratna dari dalam rumah.
Jarak rumah ibu Ratna dengan lokasi pesta tidaklah jauh. Cukup berjalan kaki selama 10 menit rombongan Ibu Ratna bersama siswanya yang setia sudah tiba di lokasi pesta. Tepatnya di sebuah gereja. Gereja Advent Niniki menjadi tempat dilangsungkannya pemberkatan pesta antara kedua mempelai. Ini tentunya bukan hal pertama Ibu Ratna memasuki sebuah gereja tatkala berada di tanah Baliem. Semua masyarakat tahu bahwa Ibu Ratna seorang muslim. Tetapi ia tak sungkan untuk ikut bersama masyarakat dalam kegiatan perayaan agama di suatu gereja.
Warga yang datang telah memenuhi setiap bangku di dalam gereja. Ibu Ratna duduk di bagian belakang bersama siswa-siswanya. Di bagian depan ada kedua mempelai berdiri di depan membelakangi warga dan menghadap kepada seorang pendeta. Pendeta Bahasa memimpin acara pemberkatan kedua mempelai dan setelahnya kedua mempelai saling berciuman. Usai dari gereja seluruh masyarakat tumpah ke lapangan untuk bersama-sama mempersiapkan makan bersama.
Di tengah lapangan, babi-babi ditambatkan pada sepotong kayu di tanah. Setelah itu, satu-satu dibunuh dengan cara dipanah dari jarak dekat. Bagi orang Baliem, cara itu dianggap sebagai cara paling tepat untuk mematikan babi. Ibu Ratna menghitung ada empat belas babi dipanah. “Kenapa banyak sekali babi yang dipanah Isak?” bertanya Ibu Ratna pada siswanya. “Ah itu masih sedikit Ibu. Dulu ada yang sampai 30 babi dipanah untuk satu kali pesta begini juga,” ucap Isak menjawab pertanyaan gurunya. “Eeeyeeehhh,” Ibu Ratna sedikit terperangah mendapati jawaban Isak. Lanjut Isak mencoba menjelaskan kali ini sedikit panjang “jika ada pernikahan, seorang lelaki wajib menyerahkan babi kepada si perempuan yang akan menjadi istrtinya sebagai mas kawin. Semakin banyak babi yang diserahkan maka si lelaki tadi memiliki nilai sosial yang tinggi oleh masyarakat kampung.”
Ibu Ratna tentu tak pernah membayangkan jika babi tersebut menjadi mas kawin dalam perkawinan orang Baliem. Tak hanya sebagai mas kawin, babi juga menjadi alat perdamaian antar suku yang berperang. Dulu Ibu Ratna pernah menjumpai peperangan antar suku di Kampung Air Garam tempat Rianda bertugas dan menjadi damai setelah ada ganti kepala (tanda damai berakhirnya perang suku) dari suku Wetipo kepada suku Asso. Babi menjadi alat diplomasi dan begitu penting di pegunungan tengah Papua. Bahkan nama kota WAMENA diambil dari kata “WAM” yang artinya “babi” dan “ENA” adalah “jinak”.
Sejumlah laki-laki menyiapkan lubang besar yang tidak dalam. “Ini untuk tungku Ibu,” tunjuk Isak memberitahu gurunya. “Tungku alam,” tambah Bapa Kogoya yang punya hajatan memberitahu Ibu Ratna. Ibu Ratna senyum mendapati Bapa Kogoya berada disampingnya. Kemudian yang lain sibuk membuat api. Api ditaruh di kayu bakar yang sudah disiapkan. Batu-batu dipanaskan di atasnya.
Setelah panas, batu-batu jadi berwarna keputih-putihan. Lalu batu dipindahkan ke tungku dengan menggunakan dahan pohon yang ditengahnya dibelah dan menjadi alat penjepit. Selanjutnya potongan daging babi ditumbuk di atas batu panas. Lalu ditutup daun pisang. Lalu dipalang dengan beberapa kayu pohon. Lalu di atasnya diletakkan hipere. Di atas hipere, diletakkan daun pisang lagi, dan batu panas lagi. Lalu berbagai jenis sayuran hijau dan batu panas lagi. Juga kayu-kayu palang lagi untuk memisahkan antara makanan satu dan lainnya. Kini tungku alam tadi menjadi gunung. Gunung masakan. Yang terlihat paling atas adalah batu. Maka mereka menyebutnya bakar batu.
Masyarakat dari kampung, ibu-ibu dan bapak-bapak, serta anak-anak semua tumpah berdatangan ke lapangan. Sambil menunggu masakan matang, ada sebagian yang menyanyi bersama-sama. Sebagian lainnya ada yang duduk jongkok mengelilingi tungku sambil menghisap rokok dan mengunyah pinang.
Pesta selesai digelar. Adapun yang tersisa adalah kebahagian. Bahagia kedua mempelai. Bahagia masyarakat kampung. Bahagia Ibu Ratna merasakan nilai-nilai kearifan orang-orang Baliem.
*Asal ada babi untuk dipanggang,
asal ada ubi untuk dimakan,
aku cukup senang, dan
aku pun tenang.
Pekanbaru, 14 Januari 2019
*SLANK- Lirik lagu Lembah Baliem