Setahun menjadi guru SM-3T, justru dalam sepanjang tahun itu pula aku menjadi siswa. Iya, aku banyak belajar dan ‘diajari’. Saat aku memotivasi mereka untuk bermimpi, mereka justru memotivasiku untuk berkarya dan mandiri. Sebut saja noken, tas khas Papua. Anak-anak seusia sekolah dasar (SD) sudah begitu mahir untuk membuat tasnya sendiri. Benang-benang yang dirajut pun tidak selalu (yang) utuh. Helai demi helai benang yang tersisa, berakhir menjadi tas yang sempurna. Dan itu akan mereka pakai ke sekolah, menyematnya di atas kepala.
Pertama kali aku belajar dan ‘diajari’ untuk merajut noken, di bulan September 2017. Aku sangat ingat betul. Pada pergantian pagi, siang dan petang, saat itu pula aku belajar dan ‘diajari’ hal-hal baru oleh anak-anak. Ongger, rumput yang biasa digunakan untuk atap rumah khas Papua, Honai. “Ini namanya Ongger Ibu Guru,” ujar mereka siang itu. Hingga detik ini, aku hafal bahwa untuk atap honai yang sehari-hari kutemui saat itu ternyata dibuat dari tanaman ilalang yang disusun sedemikian rapi dan sempurna, hingga air hujan pun tak menembusnya. Alam betul-betul dimanfaatkan sebagai penyedia benih kehidupan. “Kita pegang daunnya Ibu Guru. Kita lilitkan ke tangan, baru kita cabut,” jelas Yeskiel mengajariku di suatu petang. Dia memeragakan layaknya seorang guru terhadap muridnya.
Romanku yang serupa orang kebingungan saat mendengar anak-anak berbicara dengan bahasa daerah, kembali menagihku untuk menjadi siswa mereka. Tuturan harian pun diperkenalkan sesuai dengan apa yang kutanyakan. Dengan senyuman dan kesabaran mereka mengajarkan. Saat sepotong kata sahaja yang mereka ajarkan itu berhasil aku ucapkan, mereka kegirangan dan melemparkan pujian. Ah, Kalah aku!
Beragam hal mereka ajarkan padaku. Mengakrabkanku dengan alam, menenggelamkanku dalam renungan di setiap malam. Aku tidak ingin kembali ke masa itu. Hanya saja, aku ingin semangat mereka terus menyandingiku untuk masa selanjutnya.
- Juniar Sinaga_SM3T Angkatan III, Penempatan Lanny Jaya, Papua-