Alhamdulillah di ramadhan tahun ini kita masih bisa menghirup untuk hidup, masih bisa berusaha menahan emosi, berujar benci, melenyapkan dengki, mensucikan hati agar kembali fitri. Walau nanti dosa-dosa pasti akan kembali datang menghampiri. Bagaimana puasamu kali ini kawan? Sudah tidak lagi sedih jauh dari rumah? Sudah tidak lagi sepi karena harus melewatinya sendiri? Rindu akan menjalani ramadhan di rumah sudah kita tebus kembali, tapi apakah kalian masih ingat ramadhan dua tahun sebelumnya? Satu tahun ramadhan di tanah rantau dengan keterbatasan, dan satu tahun pula ramadhan di tengah kebhinekaan. Walaupun kini aku di rumah, nyaman, aku tetap rindu ramadhan yang lalu. Aku ingin menjemput kenangan dan pelajaran yang diberikan Tuhan dalam melalui ramadhan pada tahun-tahun yang lalu. Kalian bagaimana?
Ramadhan 2015
Apa kabar Pulau Banyak pada Ramadhan kali ini? Masihkah panas membara di siang hari? Pulau kecil di tengah samudera itu memiliki matahari yang begitu benderang dan memberikan sensasi serasa di panggang, sehingga banyak yang memilih mendekam dalam rumah sebagai antisipasi bertahan dari haus dan lapar yang menjadi godaan. Rumah kecil semi permanen yang terletak di depan mesjid besar Pulau Balai menjadi saksi bagaimana beberapa orang guru SM-3T saling menguatkan, agar rindu berat akan nuansa berpuasa di tengah keluarga bisa sedikit terlupakan.
Puasa di negeri orang. Tidak pernah terbayangkan sebelumnya harus melewati ramadhan jauh dari rumah dan keluarga serta fasilitas yang memanjakan. Jauh dari pasar-pasar yang menjual takjil yang memikat selera. Yang ada hanya tentang bagaimana harus berjuang untuk sahur dan berbuka sendirian, semua harus mandiri! Tenang, keluarga SM-3T tidak pernah membiarkanmu merasa sendiri. Di antara mereka yang memilih pulang ke kampung halaman, beberapa di antaranya memilih untuk tinggal, tidak tega meninggalkan mereka yang rantaunya lebih jauh.
Cuaca di atas 33°C, ngabuburit melihat kapal Ferry berlabuh sembari menunggu sunset, dibangunkan dengan lagu sahur yang didendangkan oleh seorang bapak yang iramanya tidak biasa, mewarnai hari-hari ramadhan kami di 2015 silam. Namun ramadhan 2015 meninggalkan kesan mendalam ketika kami memilih untuk merayakan puasa pertama di Kota Serambi Mekah, Banda Aceh. Bisa menjadi salah satu barisan imam shalat tarawih malam itu di Mesjid Baiturrahman memberikan kesan tersendiri akan kehendak dan kekuasaan Tuhan. Bagaimana bangunan ini masih bisa berdiri dengan kokoh ketika seisi kota porak-poranda dilanda dahsyatnya bencana tsunami. Bagaimana masyarakat Aceh sanggup untuk bangkit kembali walaupun dihantui kenangan buruk masa lalu.
“Nak, bagaimana puasamu?”, Suara ibu sedikit bergetar ketika aku meminta maaf tanpa bisa mencium tangan dan kedua pipinya. Ibu risau, bagaimana anaknya melewati ramadhan di daerah 3T. Rumah dan seisinya memang tempat ternyaman, tetapi ramadhan di Pulau Banyak memberikan berbagai kenangan dan pelajaran. Salah satu dari sekian banyak pelajaran adalah the power of take and give.
Suatu ketika kami memasak kalio ayam, makanan khas Minang, dan memberikan beberapa potong untuk nenek tetangga, Nek Daia namanya. Keesokan harinya nenek mengembalikan piring kami dengan isi kolak ubi. Tidak hanya itu, lusa, nenek kembali datang. Mengetuk pintu rumah, menyuguhkan tiga ekor ikan segar hasil tangkapan suaminya. Padahal hidup nenek cukup susah. Jika ikan yang ia berikan bisa dijual, pasti akan sangat membantu mencukupi kebutuhan hidup keluarganya sehari-hari. Tapi nenek dan kakek tetap mau berbagi. Ramadhan 2015 aku belajar, inilah sesungguhnya kiat hidup merantau, berani untuk berbagi, dengan demikian akan bertambah banyak sanak famili.
Ramadhan 2016
Berbeda dengan tahun sebelumnya, yang harus menyiasati sahur dan berbuka dengan kemandirian, karena kali ini semua sudah disediakan. Namun persamaannya masih di tanah rantau, rantau yang berbeda. Ramadhan 2016 memberikan kenangan dan kesan yang luar biasa, ramadhan ala anak asrama. Setiap berbuka dan sahur mesti bolak-balik lantai lima dan lantai satu. Belum lagi menu yang sangat berbeda untuk lidah orang Minang membuat puasa dan sahur tidak begitu memikat. Apalagi melihat teman-teman yang bisa pulang ke rumah untuk berbuka bersama keluarga, membuat selera makan hilang entah kemana. Menimbulkan rasa haru, rindu masakan ibu.
Asrama PPG UNY adalah miniaturnya Indonesia, multikultural. Walaupun sama-sama memeluk agama Islam, namun latarbelakang kebudayaan yang berbeda juga menimbulkan perbedaan-perbedaan kecil dalam praktek keagamaan. Seusai shalat tarawih grup WA asrama akan berdenting-denting membicarakan imam yang barusan membawakan shalat tarawih. “Enak loh yang ini, pake doa kayak di daerah ku”, “eh yang tadi jadi imam kok cepet amat ya bacaannya”, beragam respons. Ramadhan di asrama mengajarkan di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung dalam menghargai keberagaman. Mengenyampingkan ego salah satunya.
Kenanganlain ramadhan di asrama dengan teman yang berbeda iman adalah ketika setiap siang sepulang dari perkuliahan seorang teman laki-laki akan bilang “kawan-kawan perempuanku siapa yang lagi dapat bonus, ayok temani aku makan”. Sebagai bentuk sikap menghargai yang berpuasa mereka sepakat untuk tidak disediakan makan pagi dan siang oleh asrama. Sementara untuk makan malam mereka ikut berbuka bersama. Indahnya hidup ketika kita bisa saling mengerti, mengisi, memahami dan mencintai sesama makhluk di muka bumi.
Ibadah tidak saja berupa hubungan timbal balik manusia dengan Tuhannya, namun ibadah juga irisan kebaikan-kebaikan yang dibersamai dibersamai manusia untuk mencapai keridhaan Nya. Habluminannas dan Habluminallah.
Menjelang Ramadhan 2011
Harusnya pemuda yang telah menempuh pendidikan tinggi bisa menjadi manusia yang berbeda, berguna bagi sesama, karena hubungan dengan Tuhan berbanding lurus dengan hubungan sesama makhluk. Habluminannas”(Makassar, 2011 di atas taxi dari Pantai Losari menuju Unismuh).
Seandainya bisa berjumpa kembali dengan bapak sopir taxi itu, aku ingin menjabat tangannya seraya mengucapkan terimakasih untuk kalimat sakti yang sampai sekarang masih melekat dalam diri. Pengamalannya membuat semua orang seperti saudara sendiri, membuat setiap sudut Indonesia serasa rumah sendiri. Si Bapak yang berbadan gempal, murah menebar senyum, dan suka bercerita. Asli Makassar, bukan orang rantau yang berekspansi dengan latarbelakang ekonomi. Begitu tahu dua penumpangnya adalah mahasiswa yang berasal dari daratan Sumatera, bapak tersebut langsung mengutarakan keresahannya terhadap aksi mahasiswa Makassar yang “nyentrik” dalam menyampaikan aspirasi. Beliau bercerita panjang lebar. Namun salah satu kalimatnya yang membekas bagiku hingga sekarang adalah Habluminannas dan Habluminallah. Satu hal yang selalu kupegang teguh hingga sekarang, kubawa kemanapun biduk dikayuh. Kutemukan dan sangat berkesan mantra sakti tersebut di ramadhan 2015 dan ramadhan 2016.