Setumpuk perihal yang bertengger pantas untuk disyukuri. Masih dalam kondisi membangun kegelisahan bermanfaat pada berbagai situasi yang silih berganti. Entah mengapa kini rasanya aku lebih nyaman saat kegelihsahan terus mengikuti. Kegelisahan yang meminta hati dan pikiranku untuk berdamai, berkolaborasi. Kegelisahan yang memaksa untuk berfokus pada jangkauan yang belum terealisasi.
Di tengah tendensi pada pengerjaan hak yang masih terus bergulir, aku lebih memilih tenggelam dalam keheningan. Mengikhtiarkan dalam ruang lingkup kapasitas yang memungkiri. Hening dalam denyut dan renungan yang terus memutar balik pikiran. Entah mengapa, aku mulai berkenan dengan durasi tidur yang berkurang. Ada interlokusi yang belum menemukan muaranya. “Ibu, kapan buat taman bacanya? Lah (sudah) dari kemarin kita tunggu-tunggu e,” satu titik kegelisahan yang belum rampung olehku. Sampai suatu ketika rekanku berucap “kalau tidur itu ya tidur saja, jangan semua dipikirkan dalam tidur,” ujarnya saat kuberitahu bahwa tidurku tidak nyenyak.
Aku bersyukur, saat di prolog hingga median malam masih bisa memikirkan tentang apa yang kuajarkan esok harinya. Sementara di belahan negeri lainnya, rekan-rekanku sedang melawan gejolak kondisi berbeda. Salutnya, aku tak mendengar rintih mereka. Walau dalam kondisi itu sebenarnya mereka memiliki kesempatan untuk menyerah, namun nyatanya tidak. Kekhawatiran atas diri mereka sendiri lantas menguap begitu saja dengan ‘ditenggelamkannya” mereka dalam amanah yang peruntukannya justru bukan untuk diri mereka semata.
“Anda tidak bisa menyepelekan kerja keras untuk sampai di pintu kesuksesan. Mesti ada lelah dan luka dari jauhnya perjalanan, mesti ada tangis dan kantuk yang ditahan. Keajaiban-keajaiban adalah ujung dari usaha yang maksimal” (Wamdi Jihadi).
Aku masih memaknai petuah ini dengan makna yang sebelumnya “Sabar berproses dan terus berikhtiar”. Analoginya, beras takkan berubah menjadi nasi, jika tidak dimasak. Dan untuk menjadi nasi, harus berproses.