Upacara Menyambut Hari Penuh Rindu


Kisahku menghabiskan masa-masa indah selama menjadi peserta SM-3T tak luput dari sosok seorang anak laki-laki kecil bertubuh mungil, tak sepantaran dengan teman seusianya yang kala itu masih duduk di bangku SD kelas 6. Aku bukan wali kelasnya. Tapi aku, bisa jadi disebut orang tua walinya saat di luar sekolah. Dia bukan siswa spesial yang menarik perhatianku saat pertama menginjakkan kakiku di daerah tempatnya bermukim, Dusun Panabali tepatnya. Dusun yang berada di sebuah pulau kecil yang terpisah dari desa dan kota kecamatan. Butuh waktu 8 jam perjalanan dari kota kabupaten melalui jalur laut. Daerah tanpa listrik. Tanpa jaringan. Tanpa air bersih, hanya mengambil air bersih dari pulau sebelah menggunakan pipa bawah laut. Hatiku meringis saat pertama kali berkunjung, belum menetap. Ditambah cerita warga luar Panabali tentang cerita mistis daerah itu. Hingga akhirnya aku dan seorang teman yang sama-sama ditempatkan di dusun itu mulai menanamkan dalam hati, berniat, siap untuk mengabdikan diri disana semampu kami.

Setelah melewati berbagai problematika hati ketika akan memulai eksplorasiku atas segala apa yang ada di sana, anak kecil bernama Rifan yang kerap kali disapa Eca di daerahnya, ia datang bagai malaikat kecil. Ia datang penuh dengan kasih sayang padaku. “Bu, tidak usah angkat air, biar saya jo” katanya dengan tulus. Setiap pagi 8 buah jerigen kosong berisi air yang ditimba dari sumur yang berjarak 100 meter dari rumah. Tidak hanya sekali 8 jerigen, tapi kadang 2 sampai 3 kali 8 jerigen ia angkat, sebelum berangkat ke sekolah. Itu hanya pagi hari, belum sore hari. Betapa kuatnya tubuh mungil itu. Sepulang sekolah kadang aku memarahinya karena jarang berada di rumah (memasuki bulan ketiga aku menetap di Panabali, ia mulai tinggal bersamaku di rumah yang aku tempati selama kurang lebih 10 bulan). Marahku bukan tak beralasan, tapi aku ingin dia tidak hanya belajar di sekolah tapi juga di rumah dengan memanfaatkan keberadaanku saat itu. Tapi kala itu aku salah. Aku marah pada seorang anak kecil yang merasa bertanggung jawab padaku. Siang hari, panas terik menusuk pori-pori, membakar lapisan kulit. Ia pergi mencari ikan untuk kami jadikan lauk karena aku kadang mengeluh jika hanya makan mie dan telur jika tak ada yang menjual ikan. Aku tinggal dengan empat orang lainnya saat itu. Aku, seorang teman sesama peserta SM-3T, Eca, dan Hilda. Hilda juga sama dengan Eca, siswa kelas 6 yang ikut tinggal bersamaku. Bukannya Hilda tak berkesan bagiku, tapi kali ini aku memang ingin bernostalgia tentang Eca.

Batinku kembali terenyuh ketika mengingat Eca. Bagaimana tidak, pertama kali aku mengalami musibah (sakit), ia orang pertama yang melihatku dan meneteskan air matanya. Mencari bantuan ke warga. Ia sungguh menyayangiku. Setiap aku pergi ke kota kabupaten, Ampana, ia selalu ikut mengantarku ke pulau sebelah untuk menunggu kapal, begitu pun saat aku pulang ke pulau, ia menungguku, di sebuah dermaga. Di balik jendela kapal aku selalu melihat lambaian tangannya mengantarkan aku disertai lari kecilnya saat menanti kedatanganku. Jika hari Minggu tiba, kadang ia membantu keluarganya berjualan di pulau yang lain, Wakai tepatnya. Ia berjualan minuman dingin, nasi ikan, nasi daging, dan lalampa (makanan khas Tojo Una-Una semacam lemper).

Kurang lebih 10 bulan, meninggalkan zona nyaman, yang kemudian aku salah duga bahwa ternyata di penempatanku pun juga sama nyamannya meskipun serba terbatas. Aku mendapat banyak sekali pelajaran hidup. Aku dengan sombongnya datang membawa ilmu lebih seperti yang kuanggap, daripada orang-orang di penempatanku, ternyata aku yang belajar lebih banyak dari mereka.

Tiba saatnya aku harus meninggalkan pulau kecilku, rumah kecilku, malaikat kecilku. Tepat setahun, aku harus benar-benar mengangkatkan kakiku dari Tojo Una-Una, kembali ke zona yang kini aku anggap asing. Aku ingin kembali. Hatiku memberontak. Potret wajah Eca, rumah, sekolah, siswa-siswa membuatku ingin sekali lagi ke sana. Tuhan menjawab doaku. Festival wisata Tojo Una-Una menjadi alasan aku kembali ke sana. Aku berangkat dari Makassar menuju kota Poso melalui jalur darat selama 28 jam, dari kota Poso menuju Ampana menggunakan sepeda motor bersama seorang teman yang aku kenal selama berada di sana. Setiba di Ampana, keesokan harinya aku melanjutkan perjalananku, saat itu menuju pulau selama 4 jam menggunakan kapal KM. Puspita Sari. Seperti biasa aku tidur di matras penumpang. Aku terbangun saat kapal bersandar. Aku mencari-cari seseorang dan tak kunjung menemukannya. 2 hari berada di Wakai menyaksikan festival wisata membuatku benar-benar merindukan pulau Panabali dan seisinya, tapi sayangnya tak bisa kujangkau meskipun tempatku berada saat itu hanya kurang lebih 4 jam perjalanan untuk bisa tiba di sana. Akhirnya, tiba saatnya aku bertolak pulang ke Ampana. Hari itu aku harusnya menggunakan speed boat, tapi kuurungkan dan menuju ke kapal KM. Puspita Sari, kapan lagi bisa menikmati suasana laut yang indah berlama-lama, pikirku. Karena jika menggunakan speed boat tidak membutuhkan waktu yang cukup lama untuk tiba di Ampana. Menunggu kapal berangkat, aku berbaring di matras, belum larut dalam imajinasiku yang bermain-main seraya mengantarku untuk tidur, seseorang menghampiriku, memanggilku. “Bu Putri?” katanya dengan ragu. Aku terbangun. Seperti biasa, penampilannya memakai kemeja kesukaannya dengan setelan bawah jeans panjang membawa jualan. Aku terbangun dan hanya diam. Aku menatapnya datar. Dia menatapku datar, namun seperti malu-malu padaku, padahal baru dua bulan perpisahan itu. Aku sontak memeluknya, memeluk erat malaikat kecilku, Eca. Dia menangis, menangis tersedu-sedu membasahi bajuku beserta peluh keringatnya setelah berlari mencari-cariku katanya setelah diberi tahu oleh seseorang bahwa aku ada di kapal. Aku tak melepaskan pelukanku padanya, membiarkan dia tetap menangis, merasakan aroma tubuhnya, aroma khasnya karena matahari. Sebenarnya sambil menunggu diriku sendiri berhenti menangis

Tangisan kami menjadi tontonan beberapa orang yang aku kenal juga. Salah satunya ABK kapal yang akrab denganku, Pak Ambang namanya. Beliau hanya tersenyum dan tak menghampiriku seperti biasanya, seolah paham aku dan Eca butuh waktu untuk berdua saja saat itu. Kami pun berbincang-bincang, mengabadikan pertemuan yang entah itu terakhir atau bukan dengan kamera action cam ku. Aku tak lupa memberikannya pesan-pesan moral layaknya guru saat menutup pembelajaran. Pesanku yang paling aku tekankan, aku ingin melihat dia sukses, lebih sukses dariku. Dia mengangguk. Kuizinkan dia turun dari kapal karena ‘telolet’ kapal sudah berbunyi yang ketiga kalinya tanda akan berangkat. Kapal berangkat, di haluan kapal aku melihatnya berdiri di dermaga, di bawah terik matahari, aku menyuruhnya berteduh, ia tak mau,. Ah aku biarkan saja, asal dia senang. Kembali lambaian tangan dan air matanya mengantarkan aku bertolak dari Wakai. Ia tak meninggalkan dermaga itu, tetap memandangiku sampai kapal tak terlihat lagi di pelupuk matanya. Aku pun kembali kehilangan sosoknya. Sosok malaikat kecilku.

Mengenal Eca dan seluruh warga di dusun Panabali mengajarkanku banyak hal. Salah satunya, jangan pernah takut jika harus pergi ke tempat terjauh sekalipun, karena akan selalu ada yang merindukanmu, siap meneteskan air matanya untukmu. Dan saat kau meninggalkan tempat itu, air mata orang yang ditinggalkan menjadi bukti bahwa kita bermakna di hati mereka. Kita ada di dalam hati mereka. Memang benar, perpisahan adalah upacara menyambut hari-hari penuh rindu. Karena sekarang aku sedang rindu, setelah perpisahan yang memang sudah terencanakan sebelum pertemuan.

(Andi Putri Faadillah R, S. Pd, LPTK UNM, Kabupaten Tojo Una-Una, Angkatan VI)

(Dikunjungi : 119 Kali)

.

Apa Reaksi Anda?

Terganggu Terganggu
0
Terganggu
Terhibur Terhibur
0
Terhibur
Terinspirasi Terinspirasi
1
Terinspirasi
Tidak Peduli Tidak Peduli
0
Tidak Peduli
Sangat Suka Sangat Suka
4
Sangat Suka

Komentar Anda

Share