SM-3T dan Sepenggal Kisah yang Berakhir Pilu


Kala itu 5 september 2016, keberangkatanku menuju lokasi pengabdian diiringi oleh keluarga dan orang-orang terdekat yang sedari subuh telah menantikan kehadiranku di bandara. Rasa haru tentu saja mewarnai bandara subuh itu, seorang anak gadis akan segera pergi meninggalkan tanah kelahiran demi sebuah impian yang sudah sejak lama diidam-idamkannya. Sebuah impian yang mengharuskanku meninggalkan zona nyaman menuju zona yang nyatanya tak kalah nyaman.

Tatapan lekat subuh itu masih saja teringat hingga kini. Tatapan penuh arti dari sorot mata orang yang cukup berpengaruh bagiku. Aku tahu pasti yang bersemayam dalam pikirannya. Jelas, ada banyak kekhawatiran dalam benaknya. Seorang gadis yang setahuku begitu dicintainya memilih mengejar mimpi ketimbang mendampingi setiap langkahnya. Gadis itu memilih melangkah menuju daerah tanpa sinyal yang pastinya akan menjadi sumber masalah baginya. Gadis itu memilih melangkah menuju daerah dengan resiko cukup besar yang menghantui keselamatannya. Bagiku tidak ada yang tidak bisa kulakukan, jika itu untuk mimpi bertemu mutiara-mutiara negeri yang terpendam dalam anak sungai di tengah hutan belantara.

Waktu keberangkatan tiba, kusanggupkan mengucap pamit kepada orang tuaku dan salam perpisahan pada mata yang perlahan mulai berbinar. Mata dengan tatapan lekat seolah tak ingin melepasku dari pandangannya. Tatapan yang tentu saja kubalas dengan sorot mataku yang berusaha menyirat keyakinan, meski sesungguhnya ada butiran-butiran air mata yang sedari tadi mendesak ingin keluar. Langkah kaki yang semakin jauh membuat mata binar itu benar-benar terisak, seketika ada yang berkecamuk namun masih berhasil kubendung.

8 September 2016 adalah kali pertama kaki kupijakkan di tanah Matalibaq. Tempat yang akan menjadi rumahku setahun belakangan. Benar saja, di sana tak ada sinyal yang tumpah ruah, namun untungnya ada beberapa titik sinyal yang membuatku bisa sedikit berlega hati, setidaknya ada khawatir yang bisa kuredam. Tak ada jalan raya ber aspal, tak ada bangunan yang menjulang tinggi, entah apa yang ada ditempat itu, pikirku.

Hari-hariku dipenuhi kesibukan. Memenuhi kewajiban sebagai utusan pemerintah mengajar dan mendidik anak di pelosok melalui program SM-3T nyatanya mengubah beberapa pola pikirku. Bagiku kala itu, prioritas pertama adalah anak-anak, kedua adalah anak-anak, ketiga adalah anak-anak, keempat adalah masyarakat sekitar dan barulah yang terakhir si dia pemilik mata binar. Pagi siang dan sore kuhabiskan untuk memikirkan bagaimana memunculkan harapan dan mimpi dalam diri anak-anak. Bagaimana keberadaanku bukan hanya dirasakan saat raga berada di sana, namun tetap terkenang ketika masa tugas telah berakhir.

Pernah suatu ketika, harapan-harapan yang kutanamkan pada mereka seakan lenyap hingga ke titik paling bawah. Matahari belum sepenuhnya menampakkan diri kala itu. Aku baru saja tiba di ruang guru. Terdengar suara langkah kaki berkejaran yang semakin lama semakin mendekat ke arahku. Teriakan samar-samar terdengar semakin jelas. Suara gaduh dari balik pintu yang digedor-gedor dengan keras tiada henti. Setelah pintu kubuka seorang siswa dengan lihainya mulai bercerita perihal yang terjadi. Perasaan berkecamuk membuatku tak berpikir panjang. Kutinggalkan ruang guru menuju tempat yang diceritakan anak tadi. 3 orang siswa yang selama ini menjadi pusat perhatianku melanggar kesepakatan yang telah kami buat bersama. Mereka yang entah sengaja atau tidak mengkhianati harapan yang telah kami ukir bersama. Seakan berada di jalan buntu, tubuh mematung menatap mereka dengan kekecewaan. Mereka hanya menatapku dengan wajah tertunduk, mungkin menyesali perbuatannya atau hanya sekadar mencari-cari alasan untuk mengelak. Peristiwa hari itu menjadi pelajaran berharga bagi mereka. Teguran keras dilayangkan oleh kepala sekolah, tak selang beberapa hari kemudian mereka menghampiriku memohon maaf atas kecewa yang hadir dan berjanji akan kembali mengukir mimpi. Kusambut mereka dengan senyum hangat pertanda kesepakatan kembali dibuat.

Hari berganti hari, kesibukan pun semakin menjadi-jadi. Membuatku lupa bahwa ada mimpi orang lain yang kubawa pergi bersamaku. Lupa bahwa mata binar itu mungkin saja sedang menanti kabar dariku. Waktu perlahan membuat rasa kian memudar. Bak kasih yang terbawa arus, kenangan yang menguap di tengah hutan, aku berubah menjadi sosok yang tak lagi peduli bahkan jauh lebih kejam. Hingga tanpa berpikir panjang kisah itu kuakhiri begitu saja melalui pesan singkat.

2 bulan kemudian, setelah pesan singkat itu kukirim tak lagi terdengar kabar darinya. Malam itu adalah malam puncak penyerahan hadiah hasil perlombaan PASKAH. Aku ditugaskan memandu jalannya acara. Sepert biasa HP kutinggalkan di titik sinyal yang letaknya di jendela dapur. Sebelum acara malam itu dimulai, kusempatkan diri membaca pesan singkat dari nomor baru yang tertera di layar HPku. “Imha, Acci doakan semoga amal ibadahnya diterima di sisinya”. Aku hanya menduga-duga yang sedang terjadi. Mana mungkin si mata binar yang dimaksud dalam pesan tadi, pikirku. Perasaan tidak tenang mendorongku segera menghubungi nomor yang mengirim pesan itu. Penjelasan singkat dari ujung telepon sungguh tidak bisa kupercaya. Pikiran yang tak percaya justru ditolak oleh tubuh yang seketika lunglai. Ada banyak pertanyaan yang bersemayam. Dengan perasaan tidak karuan kutinggalkan handphone, kemudian menyelesaikan tugasku.

Acara malam itu selesai sekitar pukul 11.00. Aku menjadi semakin gusar. Berita yang kudapat dari pesan singkat itu membuatku kembali tidak tenang. Kuhubungi sahabatku dan yang kudapati adalah omelan sarat makna. Kabar itu adalah sebenar-benarnya kabar duka dari si mata binar. Tangisku tumpah memecah keheningan malam yang semakin larut. Pandanganku tertuju pada sungai dan hutan yang turut terlihat kelam. Bayangan itu tiba-tiba saja hadir, tatapan kala itu kembali terasa seakan menghampiri hanya untuk mengucap selamat tinggal. Kudapati diriku penuh sesal. Andai saja aku tidak berubah menjadi wanita yang keras hatinya.

Seminggu belakangan kemurungan menghiasi wajah yang biasanya penuh semangat. aku tenggelam dalam perasaan yang kacau hingga jatuh pada titik terpuruk. Rasa bersalah atas maaf yang tak sempat terucap seolah menghantui hari-hari setelah kepergiannya. Pertanyaan-pertanyaan mulai datang menghampiri. “Ibu guru kenapa? Ibu guru sakit? Ibu guru kami ada salahkah?” Perlahan-lahan mereka menjadi satu-satunya alasan senyum yang kembali terukir. Bersama rasa yang bercampur aduk kuhadirkan kembali semangat, kembali kurajut puing-puing harapan yang sempat kubawah jatuh bersamaku. Kembali kurangkai mimpi bagi mereka anak-anak yang butuh untuk terus dibimbing.

1 tahun ternyata bukan waktu yang panjang, tiba masanya waktu memaksaku segara lenyap dari pandangan mereka. Perpisahan pertama berhasil menukar senyum menjadi tangis. Kata-kata pengharapan yang kusampaikan menambah riuh tangisan serentak yang kembali memecah hening di tengah ruang pertemuan dengan pemutaran video bersoundtrack balada pengabdian. Kembali perpisahan kedua masih saja dengan suasana yang sama. Tepat di hari kemerdekaan Republik Indonesia, kepergianku diumumkan di depan seluruh warga Kampung. Isak tangis kembali terdengar di telinga. Kali ini tangisku juga tak mampu lagi kubendung. Perpisahan benar-benar hanya hitungan jam. Bumi Matalibaq seperti sama tak ikhlasnya denganku, hari itu hujan lebat mengguyur kampung, banjir datang dan kepergianku tertunda sehari lebih lama.

SM-3T dan segala kisah yang terajut pada masanya telah memberikan pelajaran berharga. Semua orang punya mimpi, tapi jangan biarkan mimpimu membuatmu berubah kejam pada sisi kehidupanmu yang lain. Ingatlah bahwa dalam proses perwujudan sebuah mimpi selalu ada rintangan yang berjalan bersamanya. Wahai para pejuang tapal batas, mari bergerak bersama mewujudkan mimpi pendidikan yang lebih maju di masa depan.

(Dikunjungi : 60 Kali)

.

Apa Reaksi Anda?

Terganggu Terganggu
0
Terganggu
Terhibur Terhibur
0
Terhibur
Terinspirasi Terinspirasi
1
Terinspirasi
Tidak Peduli Tidak Peduli
0
Tidak Peduli
Sangat Suka Sangat Suka
5
Sangat Suka

Komentar Anda

Share