Roza adalah namanya. Nama lengkapnya Roza Prastiyo. Putera pertama dari pasangan Mat Rodi dan Rohimah ini biasanya dipanggil udo[1] oleh teman-teman sepermainannya. Udo juga untuk dua orang adik perempuannya Resti dan Rosda. Hanya seorang anak laki-laki biasa berumur sepuluh tahun, biasa bagi orang-orang di sekitarnya, tapi begitu luar biasa bagiku. Kenapa bisa begitu?
Kisahnya berawal dari classmetting yang kuberikan pada mereka untuk mengisi kekosongan jam setelah ujian semester satu diadakan. Classmetting pada hari ini kubuka dengan cerita tentang Presiden Amerika Serikat yang pernah ditertawakan teman sekelasnya karena bercita-cita ingin jadi seorang presiden. Setelah cerita selesai satu persatu muridku pun maju ke depan kelas untuk menceritakan tentang dirinya dan apa yang akan menjadi cita-citanya di kemudian hari. Tibalah sekarang giliran Roza “saya ingin jadi petani” begitu katanya. Suasana pun hening seketika hanya terdengar bunyi jangkrik saat itu jika saja aku boleh berbiak-biak[2] seperti yang sering diucapkan temanku yang berasal dari Solok. Ya, memang tidak sehening itu tapi cukup menyita perhatianku. Di saat teman-temannya bercerita ingin jadi guru, dokter, polisi, tentara, pembalap, bahkan aktris seperti senandung. Roza hanya punya satu cita-cita yaitu ingin jadi petani. Tak salah memang tapi itu cukup menyentil nuraniku. Teringat aku ketika dulu aku disuruh maju ke depan kelas untuk bercerita tentang cita-cita, aku dengan pede begitu tinggi akan langsung maju dan bercerita ingin jadi guru seperti guruku supaya aku bisa mengajar orang-orang yang tak tahu baca tulis dan tak pandai berhitung menjadi lancar membaca dan pintar berhitung. Dan di sinilah aku sekarang menjadi guru juga walaupun mungkin takkan bisa sama seperti guruku terdahulu setidaknya aku bisa mengikuti jejaknya dan melanjutkan perjuangannya untuk mencerdaskan anak bangsa. Kembali lagi ke masa ini, Roza menurutku contoh dari sekian banyak anak zaman sekarang yang tak mau muluk-muluk akan cita-citanya. Dia sadar anak yatim yang hanya punya tamong[3] dan kajong[4] takkan mungkin bisa jadi dokter atau apapun kecuali petani, karena memang hanya kebun sepetak dan seekor sapi yang sering diangonnya[5] lah yang ia dan kedua adiknya yang masih kelas satu itu miliki. Setelah bercerita sedikit dengan si empunya pemilik cita-cita itu Roza pamit pulang dulu setelah sebelumnya teman-temannya yang lain sudah terlebih dahulu pulang meninggalkan kami berdua karena memang pada hari ini Roza yang bertugas sebagai petugas piket harus menyelesaikan piketnya terlebih dahulu baru kemudian boleh pulang, sambil menyelesaikan pekerjaannya memunguti sampah dan menyapu kelas aku bertanya sedikit alasan mengapa cita-citanya menjadi petani dan akupun memberinya sedikit suntikan semangat, “Pokoknya harus jadi petani yang sukses ya nak” ucapku.
Pulang sekolah bukan berarti pekerjaanku selesai, itu pertanda pekerjaan lainnya menunggu untuk dikerjakan. Rutinitas setelah mengganti baju dinasku dengan baju biasapun dimulai dengan perlengkapan perang yang telah tersedia, bukan perlengkapan perang seperti senapan atau bambu runcing tapi satu buah ember dan satu buah dirigen telah menantiku siap untuk diisi. Ya, sekarang aku bukan lagi di rumah yang kalau mau berwudhu’ tinggal putar kran lalu mengalirlah air, aku di sini sekarang di kabupaten termuda provinsi Lampung. Kabupaten Pesisir Barat, yang sebelumnya merupakan hasil pemekaran kabupaten Lampung Barat. Kabupaten ini baru berumur lima tahun. Jika ditinjau dari luas daerahnya kabupaten ini cukup luas yakni 2.953,48 km² dengan pembagian 11 kecamatan. Salah satu kecamatannya yakni kecamatan Bangkunat Belimbing. Aku bukan berada di ibu kota kecamatanya, aku tepatnya berada di pekon[6] Way Tias. Sebuah pekon yang masih sangat asri tak terjamah oleh kemajuan teknologi yang begitu menyibukkan kita. Alih-alih mengharapkan kran air, untuk jambannya saja hanya beberapa warga yang memilikinya. Mereka lebih memilih pergi ke siring[7] untuk melampiaskan hasrat ingin buang air besar. Jadi untuk keperluan memasak ataupun berwudhu’ aku akan pergi ke sumur warga untuk mengambil airnya, tentu saja terlebih dahulu dengan meminta izinnya. Setelah beberapa kali bolak balik mengambil air aku berisitirahat sebentar di depan kedai uwo[8] sang pemilik sumur. Berada empat bulan di sini membuatku seakan menemukan lagi keluargaku yang telah lama hilang. Begitu juga dengan uwo dia adalah kakak kandungku di sini. Belum lama kami berbincang-bincang, lewatlah Roza dengan Epril yang mau ngengon sapinya. “haga dipa niku?” [9] ucapku “jak Suka Jaya buk” [10] ucap mereka. Akupun mengakhiri percakapan dengan mereka dengan menyampaikan pesan hati-hati di jalan, dan jangan kesorean pulangnya.
Akhirnya rutinitas mengambil airpun selesai sambil merenggangkan tubuhku, aku sedikit terpikir oleh cerita uwo tadi sewaktu Roza melewati kedai kami. Uwo bercerita dulu sebulan setelah ayah Roza dimakamkan ibunya menikah lagi. Menurutku wajar saja jika ibunya roza menikah lagi karena usia ibunya saja cuma dua tahun di atasku, yang berarti usianya masih kepala dua. Bukan masalah ibunya yang menikah lagi itu yang kupikirkan, tapi ekspresi Roza yang menangis terisak dan ucapannya itu yang membuatku terenyuh dan malu. “Dang[11] nikah lagi yo mak, kasian bapak, kalo mengan[12] Roza wes mampu nyariin” ucapnya. Roza yang ketika itu masih duduk di kelas dua saja mampu mengucapkan itu pada ibunya. Sedangkan aku, usiaku cukup matang ketika papa meninggalkan kami. Cuma adikku saja yang masih kecil, itupun duduk di bangku sekolah menengah atas tiga kali lipat jauhnya perbedaan usia jika dibandingkan Roza, sedangkan aku sudah menginjak semester tiga. Aku masih saja tidak terima ditinggalkan begitu cepat, karena menurutku itu tak adil karena aku belum selesai kuliah dan belum dinikahkan oleh papa seperti halnya kakakku. Roza, kamu begitu kuat dan tegar.
Pagi ini aktivitas kami seperti hari-hari biasanya, bedanya hanya Roza yang sedikit membuat moodku jelek, dia bertengkar lagi dengan temannya. Ya, bukan hanya sekali atau dua kali dia bertengkar, tapi setiap sekali seminggu pasti keluhan tentang Roza akan kudengar dari guru mata pelajaran lainnya. Entah di pelajaran SBK, PAI, ataupun Bahasa Lampung. Anehnya setiap aku yang masuk kelas Roza tampak baik-baik saja. Entah karena aku wali kelasnya, karena itu dia segan, atau ada hal lainnya, akupun tak tahu. Yang pasti keluhan dari guru lain merupakan PR bagiku untuk membuat Roza setidaknya bisa mengikuti pelajaran mereka dengan baik. Benar kata orang, menjadi wali kelas itu gampang-gampang susah. Kemudahannya kalau anaknya nurut, dan kalau susahnya banyak guru yang protes kalau anak kita bikin onar. Awalnya aku juga tak menyangka akan dipercaya oleh kepala sekolah untuk menjadi wali kelas di sini, kupikir aku cuma akan menjadi guru pembantu, alias guru yang membantu wali kelas. Tapi karena memang adanya keterbatasan guru mata pelajaran olahraga, jadi guru yang awalnya menjadi wali kelas tiga diganti menjadi guru olahraga, dan aku menjadi wali kelas tiga. Kelas tiga memiliki tiga belas orang murid. Delapan orang murid laki-laki, dan lima orang murid perempuan. Mungkin dibandingkan di daerahku, jumlahnya kalah jauh. Tapi percayalah sobat, jumlah kelas tiga ini paling banyak di antara lima kelas lainnya, yang rata-ratanya hanya berisi enam atau sampai delapan orang dalam satu kelas.
Pergantian lonceng pelajaran pun dibunyikan, akhirnya sekarang giliranku untuk masuk ke dalam kelas ajaibku pun dimulai. Setelah meminta Roza untuk meminta maaf pada temannya tadi selesai, pelajaran matematika pun berlangsung. Sambil menunggu jawaban para muridku, aku berkeliling kelas untuk melihat kondisi murid-muridku. Kebiasaanku memang kalau sedang menunggu jawaban mereka, aku akan berkeliling melihat satu persatu muridku. Lebih tepatnya melihat kuku tangan dan kuku kaki mereka, maklumlah murid-muridku kebanyakan lebih memilih memakai sendal daripada sepatu. Bukan karena tidak ada sepatu, tapi karena kondisi cuaca sekarang yang kurang bersahabat membuat jalanan begitu lecek terlebih karena kami berada di daerah jalur pegunungan Bukit Barisan dan Samudera Hindia Pesisir Barat iklim di daerah kami ini sedikit basah pada hari-hari biasanya, apalagi kalau cuacanya sedang dilanda hujan yang berkepanjangan seperti tahun ini.
Belum usai ku mengecek keadaan mereka, isak tangis mulai terdengar di barisan paling kananku. Otakku langsung merespons, jangan-jangan Roza lagi yang bikin ulah. Ternyata dugaanku salah, Efrian yang duduk terisak di sampingnya, menangis menahan sakit akibat kakinya yang bengkak mulai berdarah lagi. Bengkak akibat tertimpa bambu, begitulah anak di sini semua anak laki-laki akan ikut ke kebun untuk menolong ayah dan ibunya, sedangkan anak perempuan akan tinggal di rumah untuk membereskan rumah dan menyiapkan makanan, anak-anak yang hebat. Akupun langsung mengambil kapas dan betadine. Ketika masuk ke kelas rupanya Roza sedang menyiram kaki temannya yang berdarah tadi pakai air yang diambilnya di siring dekat sekolah kami. Aku saja sebagai orang dewasa lupa kalau aku juga harus mengambil air bersih untuk membersihkan luka sebelum mengoleskan betadine ini. Tapi kamu telah cepat tanggap nak, sebagai ketua kelas rasanya kamu tak menyia-nyiakan apa yang menjadi tanggung jawabmu. Sebelum aku berada di sini, Roza bukanlah ketua kelas. Semenjak kelas satu sampai kelas tiga biasanya hanya Efrian yang dipercaya guru-guru untuk menjabat sebagai ketua kelas. Efrian sang juara kelas dan pintar di setiap pelajaran apapun. Bukannya aku tak percaya pada kemampuan Efrian, tapi aku perlu memberi sedikit keyakinan pada semua murid-muridku, bahwa siapapun bisa menjadi ketua kelas. Jadi setiap satu bulan sekali kami akan melakukan rolling perangkat kelas. Setelah pemilihan perangkat kelas usai, aku akan selalu memberi wacana siapapun ketua kelasnya, semua warga kelas harus patuh pada perintah sang ketua kelas. Selain itu ketua kelas harus bertanggung jawab terhadap semua warga kelasnya termasuk kebersihan kelasnya.
Siang berganti malam, bulanpun telah berganti tahun. Awal semester ini merupakan awal yang baru bagi semuanya, baik murid-muridku ataupun aku. Pagi itu di awal bulan Februari dia kembali lagi bersekolah seperti biasanya. Memang semenjak bulan Januari Roza tak pernah datang lagi ke sekolah, kupikir dia akan ikut dengan ibunya ke Ngambur karena tamong pernah bercerita bahwa ibunya bersikeras membawa anak-anaknya lagi untuk ikut bersamanya. Tapi sorot mata itu adalah sorot mata yang dahulu. Mata yang sendu, tak mau lagi menatapku. Jika mataku sedang berpapasan dengan matanya, dia akan menghindar, menunduk lesu. Tak bersemangat, walaupun dia tak pernah cerita apapun padaku, ku yakini bahwa dia sedang tidak baik-baik saja. Setelah menelisik lebih lanjut rupanya yang menjadi masalahnya adalah dia tidak mau ikut bersama ibunya untuk tinggal bersama-sama dengan bapak tirinya di Ngambur. Bukan hanya itu Roza juga tidak ingin berpisah dengan adik-adiknya. Selama beberapa bulan keluhan mengenai Roza semakin menjadi-jadi. Berbagai sebab dan alasan menjadi pemicunya. Jika aku mendengar dia bertengkar dengan murid kelas satu dan dua, itu berarti dia sedang berusaha membela adik-adiknya. Jika dia bertengkar dengan kakak kelasnya, itu berarti dia sedang membela harga diri ibu dan ayahnya. Walaupun dia sangat membenci ibunya, tapi dia tidak mau satu orangpun yang membicarakan tentang ibunya. Dulu ketika hari ibu, pernah kutugaskan murid-muridku untuk menulis surat untuk ibunya. Tapi Roza dengan wajah merah menahan marah berkata dia tidak mau menulis surat untuk ibunya, karena dia sangat membenci ibunya. Miris memang anak sekecil itu sudah menyimpan benci yang begitu dalam apalagi untuk ibunya. Setelah bertanya siapa yang melahirkannya dan membesarkannya hatinya sedikit melunak.
“Ibu akan pulang ke Padang” kataku menakuti-menakuti mereka. Suasana hening seketika hanya terdengar isak tangis dibarisan kananku sedangkan murid-muridku yang lainnya hanya diam dengan kepala tertunduk. Tanpa melihat kusudah tahu isak tangis siapa itu. Roza dan Eprian merekalah pemilik isak tangis tadi murid lelakiku yang hatinya begitu rapuh. “Eprian janji mawek[13] nakal buk” kata Eprian sambil terisak. Aku hanya diam sambil mengelus kepalanya. Sedangkan temannya yang kuharap akan berjanji seperti Eprian hanya isak tangis yag terdengar tanpa sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya.
Akupun keluar kelas setelah murid-muridku selesai berdoa dan memberi salam. Kukira mereka akan pulang secepatnya seperti hari-hari biasanya. Akupun masuk ke perpustakaan karena memang di perpustakaan inilah aku dan dua orang temanku yang sama-sama guru SM-3T tinggal untuk sekadar melepas lelah. Belum sempat aku merebahkan punggungku di kasur santai kami, terdengar ketukan pintu. Mungkin anak-anak pikirku akupun langsung keluar menuju pintu. Di depan pintu ada Yola, Yora, Olivia, dan beberapa muridku yang lain memberikanku sepucuk surat berisi permintaan maaf mereka atas kelakuan nakal mereka dan berharap aku tetap mengajar mereka, tapi di antara murid-muridku yang tadi sosok Roza tak kutemukan. Tak mengapa, mungkin dia malu, pikirku. Selepas maghrib terdengar lagi ketukan pintu, kubuka dan di sana berdiri sosok anak lelaki yang kurindukan senyum riangnya, Roza dia datang membawa plastik yang berisi kemunduk[14]. “Ini buat tabo[15] ibu tamong kasih” katanya. “Makasih sampaikan buat tamong ya roza” kataku. Setelah menutup pintu, rupanya di dalam plastik bukan hanya berisi kemunduk, tapi juga ada sepucuk surat yang tulisannya sangat kukenal. Roza adalah sang pemilik tulisan itu, di dalam surat itu berisi permintaan maafnya yang begitu sarat akan coretan sana sini dan harapannya supaya aku bisa tetap mengajar di kelasnya serta janjinya agar tidak bertengkar lagi.
Kicauan jangkrik dan kokokan ayam membangunkanku pertanda rutinitas baru siap dimulai. Hari ini kembali lagi seperti hari-hari sebelumnya dengan canda tawa mereka, serta kenakalan yang khas, tetapi sesuai dengan umur mereka. Cuma yang tampak tak biasa hanya senyum malu-malu dari barisan sebelah kananku. Tak pernah bercerita tapi berkata lewat mata, itulah Roza sang ketua kelasku. Semoga engkau akan selalu tegar dan menjadi udo yang baik untuk adik-adikmu, nak.
[1] Kakak laki-laki
[2] Mengada-ngada
[3] Nenek
[4] Kakek
[5] Menggembala
[6] Desa
[7] Sungai kecil
[8] Kakak Perempuan
[9] Mau kemana kamu?
[10] Mau pergi ke Suka Jaya
[11] Jangan
[12] Makan
[13] tidak
[14] Nangka Muda
[15] Gulai