Kususun kenang untuk mulai mengurai tentangmu dengan tenang. Kusediakan sebuah tempat di ingatanku yang sedang pasang, agar kau betah menjadi teman pada jalanku yang masih panjang.
Sepenuh sadarku, ‘menjadi kamu’ adalah hal yang tak pernah kuinginkan. Namun aku juga tidak membencimu untuk satu atau dua alasan. Sebab bagiku, kau terlihat sebagai masalah yang dicari-cari orang. Aku tak habis pikir kenapa orang-orang harus berpayah-payah menjadi susah, pergi jauh dari rumah, setahun kemudian pulang, sudah. Lalu dimana istimewanya? Kau terlihat tidak menarik, begitu pula barangkali kau menganggapku. Aku acuh, aku tidak peduli bahkan tidak pernah bertanya untuk apa kau ada. Namun kemudian ada yang menuntunku menuju sesuatu yang kini kusebut ‘kamu’. Kita bertemu dan aku menjalani hari-hariku yang melebur menjadi ‘kamu’. Ternyata aku menemukan kepuasan, kau membawaku pada ruang yang lebih lapang. Kau mengenalkanku pada anak-anak yang lugu dan butuh ilmu. Kau memintaku untuk terus belajar, sebab mereka selalu ingin tahu. Kau mengingatkanku untuk tidak salah langkah, sebab mereka meniruku. Kau katakan bahwa aku harus sungguh-sungguh, sebab mereka adalah amanah yang tidak boleh keruh. Kau ajarkan aku menghadapi sulit, sebab katamu manis hidup akan terasa bila pernah mengecap pahit. Kau rupanya adalah caraku untuk mencintai tanah yang telah membesarkanku hingga sekuat ini. Lalu terhadap tanya-tanya yang dulu entah kuberikan pada siapa, akhirnya aku sendiri yang menjawabnya. Aku kemudian merasa terjebak pada semua pengabaianku di masa lalu. Jika saja aku menyadarinya dari dulu, tentu aku akan ‘hidup’ semenjak betul-betul mengenalmu.
Namun seperti yang pernah kukatakan, aku menikmati semua keterlambatanku, sebab aku bukan manusia euforia, yang hanya senang seketika kemudian hilang begitu saja. Aku menyenangimu setelah aku menyadari bahwa kau menutupi sisi hidupku yang kosong. ‘Menjadi kamu’ adalah sebuah metamorfosa yang meski tidak akan pernah sempurna, namun mengajarkan tentang hidup yang semestinya. Kau ajari aku ketulusan (meski aku tidak tahu sejauh mana tulus itu bisa diurus), keikhlasan (meski pernah kusebut), juga mandiri (sekalipun aku tak akan pernah bisa hidup sendiri). Kini, ketika aku tak lagi ‘menjadi kamu’, kurasa aku ingin kembali ke masa itu. Masa dimana aku tidak pernah membayangkan bahwa hari ini ‘menjadi kamu’ kusadari sebagai candu.