Suatu ketika di perpustakaan, anak-anak “merengek” sembari terus membolak-balik buku yang tersedia. “Ibu, kapan kita memiliki buku macam ini?” ujar mereka sembari menunjukkan buku bersampul tebal yang isinya berwarna-warni. “Sabar ya, kita doakan semoga bulan ini kita mendapatkan kiriman buku”
Latar ini secara fisik memang tidak begitu mengharukan seperti latar lainnya. Namun ada kehausan ilmu yang teramat sangat di sini. Buku juga tidak sepenuhnya tersedia. Dalam kondisi itu, satu hal yang menghadirkan sebuah semangat yaitu kemauan mereka untuk membaca buku. Anak-anak memiliki kecenderungan menyukai buku bergambar dan berwarna. Terkadang mereka saling berebut buku. Tak jarang juga saling ‘membentak’ teman karena terlalu lama mengembalikan buku yang juga ingin dipinjamnya. Aku hafal betul air muka mereka saat mengucapkan kata-kata kepada temannya.
“Esok engkau kembalikan bukunya e. Aku nak minjam,” itu bukan ucapan baru di telingaku.
“Ibu, dia lama mengembalikan bukunya. Aku nak minjam juga,” mereka merayu padaku.
“Iya sabar. Esok dia kembalikan. Siap itu baru pinjam ya,” ucapku meredakan.
Kegelisahanku adalah ketika mereka senantiasa merindukan buku, menginginkan sebuah pembaharuan, namun rasanya belum berhasil mengabulkan semuanya. Kebahagiaanku adalah saat mereka begitu bersemangat dengan buku, termotivasi untuk membaca, walaupun ketersediaan buku yang mereka inginkan sangat terbatas. Keinginan mereka untuk dapat kubaca, saat mereka yang mengingatkanku bahwa jadwal mereka mengembalikan buku telah tiba. Terkadang aku sampai kewalahan ‘melayani’ mereka saat meminjam dan mengembalikan buku, karena saling berebut. Namun di balik rasa kewalahan itu, ada tersimpan rasa senang. Seringkali, aku menatapi mereka yang saling bercanda, berteka-teki lewat gambar-gambar yang berdiam di lembaran-lembaran bisu itu. Saling berebut untuk meminjam buku yang begitu mereka gemari.
Membayangkan toko buku hanyalah sebuah khayalan di sini. Untuk mendapat dan menemukan buku-buku baru itu bak nelayan yang harus mengarungi lautan untuk mendapatkan ikan. Mungkin di seberang sana banyak buku-buku. Namun, butuh proses dan waktu untuk membawanya pulang. Sebab, kita tidak hanya akan (harus) berdamai dengan diri, melainkan juga dengan musim, dengan lautan yang kapan saja bisa memuntahkan gelombangnya.
Membangun kegelisahan, rasanya sama seperti membangun kelupaan diri. Kegelisahan membuat kita lupa. Kegelisahan membuat kita lupa bahwa sebenarnya kita pun sedang dalam situasi memerlukan. Kita lupa bahwa kita juga sedang membutuhkan bantuan. Kegelisahan itu membuat lupa akan semua kondisi itu.
Ada kiprah yang harus dibangun dan terus dilanjutkan. Ada rencana yang harus diupayakan untuk direalisasikan. Mungkin saat ini, masih dalam proses membangun pondasi. Perlahan, semoga semuanya terealisasi